Ditulis oleh: Unknown Tuesday, August 2, 2011

Satria berlari sekencang mungkin. Rambutnya yang halus tertiup angin dan menutupi keningnya yang basah karena keringat. Tali sepatunya mulai kendor. Kaosnya basah, punggungnya berkeringat. Ayam-ayam berlompatan saat kakinya mulai berayun cepat membelah jalan setapak, sebelum berbelok ke gang lainnya. Orang-orang di dekat situ berteriak, mengumpat. Pasar di pinggir kota itu seketika menjadi riuh dan ramai karena sekelompok orang berkejaran ini.

Napas Satria makin cepat. Nyaris tertahan ludah di tenggorokannya, ia masih berlari. Pandangannya mulai kabur. Dilambai-lambaikan tangan kirinya kepada sekerumunan orang di depannya yang nampak kaget dan berteriak, mereka lalu menyingkir.

“Mingggiiirr….!” Satria berteriak serak.

Ia tersandung, hampir jatuh, tapi berhasil menyeimbangkan tubuh lalu berlari lagi. Nampak cahaya lebih terang di depan, jalan besar dengan lalu lintas padat di pagi jam kerja ini. Persiapan Waisak di Kota Denpasar memang selalu ramai. Pejalan kaki pun mulai mengisi bahu-bahu jalan. Mereka nampak tersenyum, menikmati hangatnya matahari April yang hangat, ketika tiba-tiba beberapa di antara mereka terkejut ketika punggungnya didorong dari belakang. Satria berlari membelah kerumunan orang, dengan tergopoh-gopoh, berlari ke arah utara menyusuri ubin-ubin trotoar berwarna merah itu. Lengan kanannya masih merapat di tubuhnya memeluk komputer lipat yang sedari tadi terus ia jaga.

Sementara itu, di tengah gang di belakangnya, di kerumunan pasar empat orang dengan jaket kulit cokelat dan setelan jins berbalut sepatu kulit warna gelap mengejar dengan garang. Mereka melompati kotak-kotak es tempat penyimpanan ikan yang sebagian sudah tumpah. Jalanan berbatu itu menjadi licin, salah seorang di antara keempat orang itu terjatuh saat kakinya menginjak ikan tongkol besar yang menggelepar di atas jalan. Dipukulilah ia oleh seorang ibu pembeli di situ, sebelum berhasil meloloskan diri lalu kembali berlari. Tak senyum sedikitpun.

Satria berlari memotong jalan aspal yang padat itu. Ia tiba-tiba menahan laju larinya saat sebuah BMW hampir saja menabraknya. Ternyata Ardi yang mengendarai BMW itu.

“Ayo cepat naik!” seru Ardi.

Satria pun melihat ke arah gang dekat pasar. Dua orang sudah berlari keluar dari sana, melihatnya.

Satria lalu melompat masuk ke BMW berwarna biru tua itu. Lalu ckiiiitt….! Mobil itu melaju pergi, membelah keramaian lalu lintas, menerobos lampu merah.

Sirene berbunyi. Satuan lalu lintas Denpasar yang persis bersiaga di perempatan itu segera menyalakan mobilnya. Pengejaran yang sesungguhnya akhirnya dimulai.

“Laptopnya?” Ardi bertanya ke Satria yang berusaha mengatur napas di sampingnya.

“Ini. Masih ada.” Satria membalas, nafasnya terdengar berat. Ia menelan ludah.

Ardi lalu menyadari kejaran mobil polantas di belakangnya. Sesaat ia bisa melihat biru-merah lampu mobil highway patrol itu dari cermin kecil tepat di depan kepalanya.

“Jalan mana yang mengarah ke pelabuhan?” tanya Ardi saat tangannya sibuk mengendalikan mobil itu. Suara klakson kendaraan bersahutan di luar sana. Lalu lintas Hari Senin pagi memang terlalu padat bagi mereka untuk memaksakan berlama-lama dalam pengejaran ini.

“Mana aku tahu!” Keluar saja dulu dari sini. Cari persembunyian.” Satria berteriak. Ia kehabisan akal, kehabisan tenaga.

“God, I don’t like Monday that much!” Ardi mengumpat pada dirinya sendiri.

Lalu BMW itu berbelok ke kiri, lalu menerobos sebuah gang kecil yang menanjak. Seekor kucing menjerit lalu melompat tak karuan. Debu beterbangan.



(Silakan baca lanjutan cerita ini di Kompasiana.)

1 Komentar
Tweet
Komentar FB

1 komentar | Baca dan Tambahkan komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -