- Beranda »
- CERITA PENDEK »
- Cerita Djarwono
Ditulis oleh: Unknown
Saturday, March 10, 2012
Teriakan itu sebetulnya sapaan yang berupa pertanyaan. Menjadi mengejutkan karena terdengar lebih mirip teguran yang artinya sudah jelas: melarang.
"Mau ngapain, Pak?" Suara itu terdengar dari beberapa meter di belakang.
Djarwono menurunkan tangannya sejenak. Kamera genggam itu kembali ke mode standby selang beberapa detik ketika laki-laki paruh baya itu membalik badan dan menyambut jabat tangan petugas berseragam yang mendekat tanpa senyuman. Sambutan hangat ternyata betul bisa meredakan emosi orang-orang yang datang dengan rasa hormat yang minim.
"Oh, saya mohon maaf kalau mengganggu. Saya cuma mau memotret baliho itu, Pak."
Petugas itu mendongak sehingga pandangannya tertuju ke salah satu sudut atas papan iklan bergambar permukaan air dan dua atlet yang meluncur di atasnya.
Baliho itu termasuk besar. Sampai-sampai petugas keamanan itu harus memaju-mundurkan kepala agar bisa membaca tulisan yang tertera di barisan paling atas.
WATER SKY.
Merasa tak menemukan apa-apa, petugas itu lalu memberi peringatan kepada orang yang mengusik integritasnya sebagai petugas jaga perhelatan SEA GAMES itu. Setelah menjabat tangan Djarwono untuk kedua kalinya, petugas itu merapatkan topinya lalu mengangguk permisi.
"Eh, sebentar, Pak. Kalau boleh saya tanya. Di mana ruangan bagian Humas ya?"
"Humas apa ya, Pak? INASOC?"
"Iya betul."
Lalu dengan beberapa gerakan tangan dan liukan badan yang dibentuk sedemikian rupa gerak tubuh pasukan yang sepertinya sudah dilatih, petugas itu menunjukkan arah tempat yang dicari sang tamu. Gerakan-gerakan tubuh itu, nampak rapi dan terlatih. Bahkan tak satupun kalimat yang tersendat keluar jelas dari mulut petugas keamanan.
"Terima kasih, Pak."
Lalu petugas itu akhirnya benar-benar menjauh.
Jepretan terdengar lagi.
Kali ini, Djarwono tersenyum sambil menggeleng. Sudah tujuh kutipan yang ia simpan sebagai bekal penting melengkapi koleksinya. Apa yang dipotretnya, tak banyak disadari orang. Namun dibenaknya, ini adalah hal-hal sederhana yang membuat negerinya tak pernah belajar menyadari kesalahan, nan selalu merasa keren.
Djarwono harus antre dan berdesakan dengan beberapa wartawan bertanda pengenal khusus SEA GAMES di bawah dome yang dihiasi banyak spanduk. SEA GAMES dimulai besok, dan hari ini panitia mengadakan konferensi pers menandai geladi yang sedang berlangsung. Di aula yang bersanding dengan ruang multimedia pers itu duduk empat orang yang nampaknya adalah panitia dan pihak kementerian.
Djarwono berusaha merangsek maju. Kartu pengenal liputan bertanda huruf C yang berlogo sponsor salah satu perusahaan telekomunikasi terkemukan cukup memberikannya akses di kalangan peliput. Apalagi, kamera genggamnya cukup mentereng disandingkan dengan rompi bersaku di bagian dada dan topi safari kesayangannya.
Di meja narasumber duduk seorang perempuan paruh baya yang dikenal sebagai ketua INASOC, organisasi kepanitiaan utama gelaran akbar ajang olahraga dunia itu. Di sampingnya dua orang dengan setelan rapih khas pejabat pemerintah, dan seorang dengan seragam panitia lapangan. Setelah beberapa pemaparan, awak media langsung berebut tanya.
Sumpek dengan beberapa pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya memaksa narasumber yang mewakili kementerian berkata retoris, orang ini mengangkat tangan sambil meneriakkan pertanyaan teknis. Tak ayal, awak media lain sempat terkejut. Apalagi, orang ini meminta INASOC mengganti semua publikasi, tepat di hari minus satu penyelenggaraan.
"Apakah Ibu sudah melihat baliho yang tertulis di depan venue ski air?"
Pertanyaan itu, mengundang penasaran. Mereka diam beberapa detik. Hanya suara jepretan kamera yang terdengar tanggung.
"Maaf?"
"Baliho ditulis dengan asal. Bahasa Inggrisnya salah itu, Bu. Mengapa ski air ditulis dengan bahasa Inggris WATER SKY menggunakan huruf "Y"? Bukannya harusnya pakai "I"?
Sejenak terdengar saling bisik yang perlahan riuh. Ketua INASOC itu meminta mereka kemudian diam.
Djarwono merapatkan topinya lalu melangkah agak maju.
"Maaf, permisi. Kalau boleh saya perlihatkan."
Ia lalu menunjukkan layar kameranya kepada perempuan itu, yang diikuti beberapa juru foto yang dengan sigap mengabadikan momen tak biasa ini.
"Yang ini, Bu. Bukannya seharusnya ditulis pakai huruf "I" ya, bukannya "Y"?
Ketua INASOC mengangguk. Diikuti beberapa awak media yang mengintip dari balik pundak Djarwono. Dalam Bahasa Inggris, kata SKY memang ada, artinya "angkasa". Namun dalam istilah cabang olahraga, ski air yang dimaksudkan baliho itu, seharusnya ditulis WATER SKI, agar maknanya tepat.
"Anda potret ini di mana?"
Djarwono menggeleng.
"Mohon maaf, Bu. Tapi menurut saya Ibu harus memanggil staf publikasi dan bagian teknis lainnya. Saya menemukan banyak salah ketik ini di hampir semua baliho venue. Dan tidak cuma ini..."
Tombol di balik kamera itu ditekan lagi beberapa kali. Kini terpampang beberapa foto bergantian.
"Ini adalah salah ketik di beberapa arena lain. Ada yang plang penunjuk arah, ada spanduk sambutan, spanduk petunjuk ibadah, dan di dua kendaraan penjemput kontingen. Ini harus diperbaiki, Bu."
Ketua INASOC mundur dan menegakkan badannya. Ia terdiam sejenak. Nampak pikirannya bekerja keras.
Djarwono menunggu jawaban. Sementara puluhan wartawan lain sudah merapat ke meja. Setelah akhirnya terdengar bisik-bisik heran tanda tak percaya di kalangan awak media, akhirnya pemegang wewenang itu berbicara. Mikrofon disodorkan lebih dekat. Kamera-kamera siap menjepret untuk kesekian kali.
"Akan saya perintahkan kepada bagian publikasi mengenai hal ini. Terima kasih atas masukan Anda, Pak. Konferensi pers selesai."
Keempat narasumber langsung berdiri dan pergi. Langkah mereka tak begitu jauh dari meja karena awak media langsung mengerubutinya dengan cecaran pertanyaan. Banyak di antara mereka akhirnya menggali lebih dalam mengenai kesalahan tulis dan hasil cetak publikasi itu. Petugas pengawal bekerja ekstra.
Djarwono berjalan keluar mengarah ke lapangan. Lega terasa di hatinya.
***
Kembang api memancar indah di langit kota Palembang. Suara terompet yang biasanya melengking, terdengar bergemuruh dari arah stadium. Djarwono memilih sebuah sudut trotoar dan duduk berjejer bersama puluhan tukang becak berseragam SEA GAMES yang bertepuk tangan saat bunga-bunga api warna-warni itu memecah indah di langit malam. Gemerisik radio dan televisi portabel di jok beberapa becak bersahutan memancarkan suara siaran langsung dari stadion yang jaraknya hanya beberapa puluh meter di depan mereka.
Pembukaan begitu meriah. Presiden tengah berada di kursi VVIP sehingga tak semua orang dibolehkan masuk, apalagi mereka yang hanya diberi tugas mengantar atlet dengan kendaraan tanpa mesin beroda tiga ini. Iming-iming upah seratus lima puluh ribu rupiah per hari sudah cukup untuk menahan protes keluar dari mulut-mulut mereka.
Djarwono kembali memotret. Namun bukannya memotret kembang api, kameranya ia arahkan ke salah satu sudut lapangan yang dibarisi puluhan bis. Apa yang dilihatnya malam itu kembali membuatnya sedih, karena ternyata tulisan itu masih tetap terpajang WATER SKY. Bahkan, di samping spanduk itu, terpajang dengan ukuran teks besar,
WELLCOME TO ALL ATHLETES AND OFFISIALS.
Djarwono tertawa lepas, namun hatinya tidak. Tujuh orang tukang becak yang mendengar tawanya kemudian heran, namun mereka tak mau tahu. Kembang api jauh lebih menarik daripada tulisan-tulisan yang salah arti.
Tentang Penulis