Ditulis oleh: Unknown Sunday, September 30, 2012






SUDAH SEJAK ZAMAN Raja Louise XIV tulisan diangkat sebagai kritik. Bahkan beberapa penemuan arkeologi menemukan bahwa kelompok-kelompok pemberontak di Alexandria telah menggunakan hieroglif dalam melayangkan kritiknya kepada Akhmunrah sang Firaun.



Tulisan sebagai kritik pada masa modern dibuka beberapa fenomena karya popular dari Barat, sebut saja Het Achterhuis, yang lalu dikenal sebagai buku fenomenal The Diary of a Young Girl, Anne Frank. Kumpulan catatan harian yang dirangkai sebagai kritik keras terhadap pemerintahan otoriter Jerman dan sorotan terhadap genosida abad ke-17. 

Yang terbaru dikenal karya-karya Dan Brown yang dianggap sebagai kritik teologis paling berani, dan karenanya pula mendapatkan kritik keras. Buku The Da Vinci Code yang memuat kronologi semifaktual tentang sejarah kekerabatan Yesus dipermasalahkan sampai ke Vatikan. Meski begitu, rupanya kontroversi di atas buku-buku "bermasalah" justru menjadi senjata ampuh untuk pemasaran.

Bagaimana kritik lewat tulisan-tulisan bisa berakhir sebagai senjata hebat bagi penulisnya?

Saya kira pertanyaan ini mencakup terlalu banyak teori dan kasus, baik yang sudah melewati studi serius akademis maupun diperdebatkan dalam ruang popular. Tulisan yang memuat kritik saat ini merambah ke media baru yang sifatnya lebih terbuka. Kalau pada abad ke-15 karya-karya Da Vinci tentang Vitruvian Man lantas diterima begitu saja, tidak berlaku untuk masa kini, era di mana "tulisan dibalas tulisan". Kritik kemudian berbalik dan menjadi perdebatan lingkup luas.

Tulisan kritik yang paling kuat harusnya yang tidak bisa digugat, memiliki konten independen yang tidak berafiliasi dengan pihak berkepentingan manapun. Kritik dalam tulisan berarti membawa pendapat penulisnya sabagai suara kata yang tertulis, meski dalam banyak kasus penyangkalan sering kali terjadi.

Pengiriman tulisan ke dalam lingkup formal kemudian menjadi cerobong hangat untuk kritik publik. Saat tujuan dan sasaran kritiknya jelas, maka tulisan itu akan dianggap sebagai senjata komunikasi efektif. 

Contoh kritik ilmu pengetahuan yang hingga saat ini masih belum bisa disanggah, lantaran belum terpecahkan, adalah buku Codex Sepharinianus yang terkenal itu. Meski secara kontekstual separuhnya dalah bentuk seni, buku itu tetap menyimpan ratusan misteri kritik soal cara berpikir manusia melihat sekelilingnya, dan bagaimana sudut pandang penting dalam membuat kritik. Katakanlah begitu.

Namun jika sumir dan terkesan sebagai bola liar, maka cap "propaganda" atau teror bisa saja melekat secara teknis, baik untuk kontennya, maupun penulisnya. Ingat kasus Wikileaks dengan lamannya? 

Tulisan sebagai kritik tentu perlu dicermati secara kontekstual dan teknis. Tulisan di sini bukan berarti semata-mata "yang tertulis", tetapi yang terkemas sebagai sebuah kesatuan pesan dengan mediumnya yang konkret. Jika wujudnya adalah tulisan di blog atau artikel kolom di harian The Age, maka kesatuannya bisa dibilang sebagai kritik popular yang dilempar untuk bahan pikiran publik. Begitupun jika diketik dalam bentuk tweet atau status di jejaring sosial. Kritik yang melalui media baru sifatnya bisa tetap konstruktif, selama memenuhi asas aktualitas dan otentikasi yang jelas.

Tim Berners-Lee beberapa kali mengkritik laju media sosial dan penggunaan internet, padahal ia sendiri yang menemukaan world wide web untuk dipergunakan dunia sejak 1991. Tapi apakah kritik Tim berdasar dan bersasar? Hal itu perlu dikaji dalam konteks yang berbeda. Yang jelas, kritik dalam dunia modern sifatnya lebih liar dan luas. Di sisi lain, kualitas kritiknya lantas menjadi kurang tajam dengan fokus sasaran yang lebih banyak.

Penampang kritiknya menjadi lebih lebar sehingga tekanannya lebih kecil. Ujung-ujungnya, bentuk-bentuk kritik lain dipersandingkan dengan kritik berbentuk tulisan yang sifatnya kerap kali tendensius. 

Bagaimana mengangkat kritik lewat tulisan berkisah? Mungkin itu lain lagi. Bagaimana pula dengan gaya kritik yang dilakukan oleh penerjemah karya-karya sastra John McGlynn dan keempat kawan Indonesianya di Yayasan Lontar? 

Semoga uraian singakat pertama ini menjadi pengantar yang cukup bagaimana para penulis bekerja dengan pikiranya, dan bagaimana kritiknya tersampaikan lewat pipa-pipa yang beredar ke banyak penjuru dunia.

*Ilustrasi: q-reiszha.blogspot.com.

1 Komentar
Tweet
Komentar FB

1 komentar | Baca dan Tambahkan komentar

  1. Infonya Bermanfaat Gan, Terimakasih banyak Lain Kali saya kunjungi ke sini.

    ReplyDelete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -