Ditulis oleh: Unknown Sunday, May 5, 2013



Di suatu sore saya terjebak hujan di Toko Buku Gramedia kota Jogja. Setelah agak lama mencari-cari bacaan yang menyenangkan dan barangkali akan membeli satu yang terbaik, saya menemukan buku ini. Judulnya Ring of Fire: An Indonesian Odissey, terbit Juli 2010. Isinya luar biasa, berbicara soal misteri yang tertinggal tentang Krakatau, kopi-kopian dari Gayo sampai Toba di Sumatra, tarian Cirebon sampai kearifan lokal Papua. Secara khusus bahkan termuat bab yang membahas Pinisi.

Rupa-rupanya "orang luar' tidak bosan menyindir kita dengan sajian buku kisah faktual tentang Kepulauan Zamrud Khatulistiwa yang begitu terdengar fantasinya. Lawrence Blair, sang penulis, bersama saudarinya Lohne dengan sangat niatan lengkap mengungkapkan --walaupun saya baru baca belasan lembar-- keajaiban alam Indonesia yang ternyata sudah dieksplorasi sejak tahun 1800-an. Kaya data, menghibur sekaligus membuka pandangan. Geografis, demografis. Sampai saat ini saya belum bisa beli  bukunya yang harganya lumayan mahal.

Nah, cerita pengantar itu hanya satu rangkaian dari percikan ide untuk meyakinkan diri saya bahwa sebetulnya pengetahuan sejarah tentang bangsa kita saat ini mulai memasuki media baru. Buku, internet dan media sosial menjadi alat kritik baru soal kebenaran sejarah karena media jurnalistik utama kita tumpul melakukan hal serupa. Buku Blair bersaudara di atas diproduksi setelah diangkat dari seri film dokumenter yang kemudian dua-duanya dijual secara inklusif di Amerika dan Eropa. Di banyak kesempatan saya berbincang melalui Twitter dengan orang-orang bule yang mengaku cinta sekali dan ingin melestarikan budaya Indonesia. Saat saya tanya soal media di Indonesia dalam melestarikan budaya, rata-rata jawaban mereka sama: media Indonesia terlalu banyak hiburan.

Lautan hiburan yang menghiasi industri layar kaca, radio dan bahkan dunia perbukuan di Indonesia seakan jadi makan yang tak mungkin ditolak. Kita mengejar pertumbuhan sementara kita ingin mendapatkan kualitas yang baik sekaligus. Ini tidak sepenuhnya akurat, karena kualitas yang bagus lebih sering menuntut sebuah perbedaan, signifikansi dan penempuhan risiko. Akibat yang paling masuk akal dari oritentasi hiburan kebanyakan media dalam negeri kita memaksa ilmu pengetahuan menjadi sekadar sisipan. Tayangan edukasi untuk anak lantas jadi oasis yang menyejukkan di tengah padang distorsi berita politik atau hiburan yang tak relevan bagi pengembangan masyarakat.

Ilmu pengetahuan sejarah mungkin saja akan terus bertahan di dalam kurikulum konvensional yang digarap serius oleh pemerintah. Praktisnya, siswa dan mahasiswa kita masih berontak terhadap ilmu-ilmu yang rigid, serba-diatur dan tidak menginspirasi. Medialah yang lantas dicari untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik untuk mempelajari sejarah. Namun, hasilnya tak banyak membantu.

Kompas dan Tempo saat ini masih bersaing ketat dalam hal pemberitaan sejarah. Sebagai media cetak terbesar di negeri ini, keduanya punya tanggung jawab besar untuk memberi pilihan baru bagi masyarakat yang tak ingin melulu mencerna berita hukum dan politik. Tempo lewat edisi September hingga Desember 2011 mengangkat lebih dari sepuluh halaman (dengan beberapa judul) berita tentang derita korban Rawagede yang belakangan diadili dan dikembalikan haknya melalui sidang terbuka oleh Mahkamah Belanda di Den Haag. Beritanya mencengangkan, gambar-gambarnya mengharukan. Gaya penulisan feature di beberapa bagian berhasil memukau saya untuk membayangkan berada di depan para lansia korban kejahatan kemanusiaan tersebut.

Kompas sendiri mengguncang jurnalistik popular setelah meluncurkan beberapa program pelestarian lingkungan dan eksplorasi alam Indonesia. Karya terbaru mereka Ekspedisi Cincin Api yang isinya berupa laporan perjalanan yang kemudian diterbitkan ke dalam buku berhasil meraih penghargaan dari Badan Penanggulangan Bencana Nasioanal pada 14 November 2012 lalu. Tulisan-tulisan yang dimuat di dalamnya --yang kaya catatan sejarah dan nilai-nilai mitigasi-- dinilai pantas menjadi rujukan bagi kalangan akademik terlebih lagi jurnalistik.

Nilai sejarah yang pada akhirnya ditampilkan lewat media arus utama jurnalistik sejatinya memang diapresiasi lebih. Berani mendobrak rasa nyaman industri media yang membuai pandangan masyarakat terhadap buminya sendiri sudah pasti dianggap angin perubahan yang mungkin berkelanjutan. Saat ilmu pengetahuan sejarah kita mulai terkikis dari pikiran-pikiran generasi muda dan para pesohor, media wajib berdiri di garis depan pemulihan dan pertahanannya. 

Mau tidak mau kita harus seperti itu. Ketahanan sejarah bukanlah hal yang tertulis di dalam Undang-undang resmi tetapi perlu dicamkan sebagai bagian dari nasionalisme. 

Melalui Twitter saya sempat mewawancarai sejarawan muda Indonesia yang juga pendiri Komunitas IndoHistoria, Asep Kambali. Ia dengan tegas berpendapat bahwa sebagian besar media utama di negeri kita saat ini absen melestarikan sejarah. Menurutnya, tidak akan mudah memadukan misi pelestarian ilmu pengetahuan sejarah dengan visi bisnis yang banyak berbicara nominal dan target tahunan. Padahal tujuan kita seputar sejarah bangsa punya pandangan jauh daripada itu.

Asep menambahkan bahwa ilmu pengetahuan sejarah saat ini dianggap belum punya nilai bisnis, hal penting yang jadi urat nadi keberlangsungan industri media. Ditambah lagi, para pesohor yang bekerja di balik layar industri media sama abainya terhadap perjuangan mempertahankan sejarah. Media punya orientasi tren, sensasi dan kompetisi. Alasan yang sama dan masuk akal mengapa kata reshuffle masih lebih popular ketimbang perombakan.

Kesadaran akan ilmu pengetahuan sejarah kita mesti dibangun dengan cara-cara yang di luar kurikulum, di luar kotak, di luar kertas. Semua bagian dari pembentukan opini publik mestinya mengaitkan kekuatan sejarah yang biasanya lebih bisa menyeimbangkan fakta dan mengoreksi berita. Arsip momen-momen di masa lalu yang kini banyak terdiam di bilik penyimpanan data kantor-kantor berita perlu dibuka lagi, perlu disebar lagi dengan cara yang sesuai dengan perkembangan teknologi masa kini. Kalau perlu komunitas-komunitas kita perbanyak latihan menulis blog atau menyusun buku yang isinya pengetahuan sejarah. "Mengumpulkan remah-remah", kalau katateman-teman komunitas fiksi.

Karena arus informasi begitu cepatnya dan waktu orang untuk membaca semakin sedikit, maka ilmu pengetahuan sejarah perlu dibawa ke atas permukaan, tempat di mana orang menyingkirkan sejenak berita-berita yang tidak relevan.

*Ilustrasi: griyayatim.or.id

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -