Ditulis oleh: Unknown Tuesday, August 2, 2011

Ilustrasi (features.cgsociety.org)

“Aku menemani Mamah di saat apapun. Di saat aku berbalik harus mengarahkannya tentang sesuatu, maka akan kulakukan. Mamahku hanya butuh waktu, tapi aku yang bertanggung jawab sampai waktunya tiba.”


Aku saat balita.

Mataku sering berkedip, perih, kubasuh, kugosok, tapi Mamah menarik tanganku dan menggosoknya untukku. Mamah, aku lihat matanya begitu bersinar, wajahnya begitu berseri. Kulit jari-jariku merasakan lembut pakaiannya yang putih terselubung sampai ke kepalanya. Mamahku, pakaian apa itu? Mamah tidak tahu aku bicara apa, tapi ia tersenyum senang.

Aku saat anak-anak.

“Anak-anak, salat lima waktu dan puasa Ramadan itu hukumnya apa?” Ibu guru bertanya. Cantik sekali ibu guruku dengan selubung di kepalanya.

“Wajiiiib,…!” Aku dan teman-temaku berteriak bersama-sama. Senangnya.

Sesampai di rumah, kulihat Mamah sedang duduk di ruang tamu, mencicipi sesuatu sambil membaca majalah.

“Mamah, enggak puasa?” tanyaku.

“Enggak, sayang. Mamah lagi enggak puasa.” Aku cium tangan mamah, lalu masuk ke kamar.

Dua minggu kemudian…

“Sayang, ayo tarawih. Mamah mau ke masjid nih. Mau ikut enggak? Puasa hari pertama bareng-bareng mamah kan berangkatnya. Ayo dong sayang,” ajak mamah. Mamah lupa kalau aku setiap malam ke masjid.

“Mamah itu rukuh baru?” tanyaku.

“Oh, ini? Enggak kok sayang. Rukuh mamah yang lama. Baru mamah pakai lagi.”

“Aku jarang lihat mamah pakai rukuh.”

“Udahlah sayang. Ayo berangkat. Sudah telat kita.”

Malam itu, rukuh mama kembali terlipat di dalam lemari. Aku mendengar suara plastiknya kembali dirapatkan.

Aku saat remaja.

Azan berkumandang….

“Mah, ayo ke masjid. Tarawih,” pintaku sambil menarik-narik ujung lengan baju mamah. Ia terlelap di antara buku-bukunya. Posisinya terduduk tapi mukanya tergeletak di mejanya.

Mamah hanya mengigau. Aku dan teman-temanku berangkat ke masjid tanpa Mamah.

“Mamahmu mana? Kok kamu enggak pernah bareng?” tanya temanku.

Aku diam, lalu menjawab saja sekenanya. “Mamahku sedang tidak enak badan. Ia salat di rumah.”

Setelah pulang tarawih malam itu, aku membaringkan mamah di ranjangnya. Kubuka sepatunya dan kubersihkan sisa-sisa botol minumannya. Baju-baju bersihnya kurapikan di lemari, lalu kulihat lagi rukuh itu, masih terlipat di sana. Rukuh-rukuh itu, sekarang jumlahnya sudah sebelas helai. Berwarna-warni, rukuh-rukuh itu terlipat di satu kabin khusus, lengkap dengan plastik dan pewanginya.

Kutatap mamahku yang terlelap, terngiang nasihat almarhum papah bahwa aku harus menjaganya, apapun yang terjadi. Aku menurut saja. Dia mamahku.

Aku saat ingin menikah.

“Mah, ini calon menantu mamah, anaknya Pak Ustaz,” kataku memperkenalkan.

“O… ini orangnya.” Kulihat mamah sekadar menyentuh tangannya, lalu dilepaskan. Mamah berlalu ke dalam kamar.

Malam harinya….

“Mah, tarawih bareng enggak? Udah lama kita enggak ngerasain ngumpul tarawih sekeluarga. Bareng-bareng keluarga besarnya Pak Ustaz,” ajakkku. Saat itu mamah sibuk dengan komputernya sehingga aku hanya berbicara dari balik pintu yang terkunci.

Tak ada jawaban.

Sepulang dari masjid, aku mengetuk kamar mamah…. tak ada jawaban. Ketakutan, aku mendobrak pintunya dengan calon menantu mamah.

“Ya Allah! Mamah!”

Kudapati mamah tergeletak lemas di lantai. Mulut mamah berbusa-busa, lantai basah. Kuperhatikan pintu lemari terbuka. Ada botol minuman keras terjatuh miring di tengah-tengah lipatan rukuh-rukuh. Saat pandanganku pindah ke lantai, kaplet-kaplet itu berserakan tak karuan. Wadah kecilnya sudah terbuka dan penutupnya terguling entah ke mana.

Selama dua hari dua malam aku tak bisa tidur.

***

Enam bulan kemudian, aku dan mamah berkumpul lagi.

Senang melihat mamah tersenyum lagi, meski penampilannya tak serapih dulu. Tapi satu yang membuatku tersenyum, kepala mamah tertutup selubung lembut yang pernah kurasakan saat bayi dulu. Selubung cerah itu menutupi sisa-sisa rambut mamah yang tinggal sedikit menempel di kepala.

Di sore yang bahagia ini. mamah menyaksikan pernikahanku.

Terima kasih, Ya Tuhan. Mamahku kembali, dan kini aku lebih mensyukurinya.

2 Komentar
Tweet
Komentar FB

2 comments | Baca dan Komentari

  1. Assalamu'alaikum...

    Maaf, mau tanya.
    Berhubung akhir tahun rencana ingin membeli tapi MUKENA rusak. Apakah Anda tahu tempat PRODUSEN MUKENA JOGJA ? Atau ada info tempat menjualnya?

    Terimakasih

    ReplyDelete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -