Ditulis oleh: Unknown Tuesday, February 21, 2012




Kata kunci: polkadot, pasar malam, pohon pisang, cerpelai, rajah.
*

“Tidak, ini belum bisa terbaca.”
Nugraha memasukkan kembali senter itu ke sakunya. Dea, asisten Nugraha, hanya terdiam di belakang mentornya itu. Kata-kata “belum bisa terbaca” dikenal di kalangan dokter sebagai tanda bahwa penyakit belum terdeteksi. Kapten Abimanyu heran dengan jawaban itu. Melihat kondisi pasien, seorang perempuan muda dengan terduduk lemas di kursi seperti itu, ia semakin heran. Kasus apa ini sebenarnya?
“Ada sesuatu yang menyerang otaknya,” jelas Nugraha ketika mereka berjalan keluar dari ruangan gelap itu. “Keluarnya cairan di sudut mata dan nampaknya otot di sekitar kening menunjukkan pasien mengalami stres hebat. Tidak mengherankan jika mereka ingin bunuh diri.”
Abimanyu terdiam. “Seumur hidup, dokter, belum pernah saya menghadapi kasus bunuh diri massal seperti ini.”
“Saya mengerti.”
Tiba-tiba sebuah ranjang beroda terdorong keluar dari sebuah ruangan. Nugraha berlari ke dalam ruangan itu diikuti Dea. Abimanyu mencabut pistolnya dan langsung mengarahkan ke tengah ruangan. Riuh. Tujuh perawat memegangi lima pasien yang meronta-ronta sambil berteriak. Dua di antaranya adalah anak kecil yang memegang garpu, berusaha menusuk lehernya sendiri. Perawat histeris. Nugraha langsung menyergap
anak itu dan membaringkannya di ranjang. Setelah semua pasien terikat, para perawat menutupi badan mereka dengan selimut polkadot dan memunguti barang-barang. Dua telepon genggam menyala ikut dipungut. Nugraha kembali menyemangati stafnya kemudian keluar.

“Ini serius. Benar-benar serius. Cepat atau lambat Mabes Polri pasti merespon. Bukankah ini juga domain Departemen kesehatan?” Abimanyu berpendapat.

“Tentu. Saya akan menghubungi seseorang untuk itu.”

Mereka berdua berpisah di lobi kemudian pulang.

***

“Halo?” Nugraha mengangkat telepon genggamnya. Ia ketiduran. Hari masih gelap ketika panggilan tidak diinginkan itu datang. Tak lama kemudian Nugraha sudah kembali berada di dalam mobilnya. Ia menyetel radio namun suara lagu tidak begitu jelas. Hanya ada info pasar malam dan lagu yang asing. Radio lalu dimatikan.
Garis polisi sudah dibentangkan di sekeliling pagar kafe itu. BLACK CAFÉ tidak begitu besar, rupanya hanya sebuah tempat minum komunitas yang sesekali dibuka untuk umum. Nugraha melihat lantai berserakan dan sebuah telepon genggam dan sebuah boneka cerpelai tergeletak di lantai.
“Dokter.” Terdengar sapaan dari dalam kafe di antara beberapa petugas forensik yang bekerja.
“Berapa orang sekarang?”
“Perkiraan enam belas. Dua di antaranya sekarat, semoga ada info yang bisa kita gali.”
Nugraha melirik sekeliling. “Ini semakin gawat saja.”
“Betul. Mabes Polri telah mengambil alih. Saya diberi tugas koordinator lapangan karena Kapolda keluar negeri.”
Terdengar jauh di atas kepala mereka, suara gemuruh melintas.
“Itu helikopter Densus,” jawab Abimanyu mencoba menebak Pikiran Nugraha.
Nugraha melihat-lihat cara kerja forensik. Lalu saat mencoba memungut sebuah telepon genggam yang masih menyala di lantai, Nugraha ragu. Ada panggilan masuk. Ia berinisiatif mengangkatnya, namun dibatalkan oleh sebuah panggilan serius dari arah pintu.
“Jangan diangkat!”
Suara itu dikenalinya. Saat menoleh, Nugraha tersenyum. Yang mencegahnya adalah seseorang yang sangat ia cintai.
“Marini…,” sapanya.
Namun perempuan enerjik itu langsung menyapa Kapten Abimanyu dan menyalaminya. Kepada Nugraha ia hanya merampas telepon genggam dari tangan mantan suaminya itu dan berlalu.
Baru saja hendak memperkenalkan mantan istrinya, Nugraha harus menahan kata-katanya karena Marini langsung mendekati kapten dan menjulurkan tangan.
“Kapten…, perkenalkan saya Marini Soetoyo. Staf ahli bidang pandemik Kementerian Kesehatan. Saya datang ke sini atas perintah Ibu Menteri langsung setelah mendengar kasus bunuh diri ini.”
Nugraha memprotes, “Tapi, bukankah saya yang menghubungimu tadi malam?”
Marini hanya melihat ketus kemudian melanjutkan penjelasannya lagi.
“Pihak Anda harus mengevakuasi semua telepon genggam di kota ini, Kapten.”
Abimanyu terkejut dengan permintaan mustahil itu. “Tapi, Bu Marini. Dengan segala hormat. Ada hampir satu juta ponsel di Jogja ini. Bagaimana mungkin kita merazia warga satu-satu?”
“Pokoknya lakukan sebisanya. Alat ini adalah pemicu rententan aksi bunuh diri yang terjadi dua hari terakhir.”
“Wow… wow…. Tunggu dulu.” Nugraha mengangkat tangannya menyela. “Maaf, tapi apakah dirjen punya penjelasan masuk akal tentang ini?”
“Saya punya penjelasannya, Pak.” Marini lagi-lagi membalas kepada polisi, bukan kepada mantan suaminya itu.
Setelah hening sejenak, akhirnya Abimanyu menyanggupi. Ia memerintahkan kemudian kepada semua anak buahnya untuk mengamankan lokasi, dan meminta sebuah ruangan privat kepada pemilik kafe.
“Pak Nugraha, maaf saya terlambat.” Dea tiba-tiba muncul di pintu ruangan itu. Beberapa petugas polisi berusaha mengusirnya namun kapten menyilakannya masuk.
Kini giliran Marini yang berwajah ketus. Tentu saja ia tak senang melihat seorang mahasiswi duduk begitu dekat dengan mantan suaminya. Memang sebuah kecemburuan yang nyaris tak beralasan. Lampu dinyalakan dan cahayanya terpantul dari meja ke wajah  mereka berempat. Nugraha membisikkan kata “asisten” sambil berkedip kepada Marini, berbalas pandangan ketus.
“Bunyi?” tanya Abimanyu kemudian.
“Iya. Bunyi. Kemungkinan semua korban mendengar bunyi khusus sebelum bunuh diri,” jelas Marini dengan cakap. Tangannya bergerak-gerak menunjukkan keyakinan.
“Tapi bunyi apa?”
“Lihat ini.” Marini membuka beberapa berkas di atas meja. Yang tampak adalah beberapa artikel dan jurnal penelitian fonologi.
“Johan Clauss, pada 1967 memperkenalkan teori bunyi yang menyebutkan terdapat bentuk bunyi vokal tertentu dari bahasa-bahasa paling asing di dunia yang memicu tingkat stres sampai pada titik terminal. Kata-kata ini, ketika dikonversi ke dalam pesan suara, menciptakan stimulus spontan terhadap otak pendengarnya yang memicu kontraksi pada saraf-saraf stres. Pasien yang mendengar bunyi ini merasa seakan-akan dunia telah berakhir, dan mengakhiri hidup karena dunia tidak menerimanya. Berkembang di masa kini, ada sebuah lagu yang menurut Clauss berbahasa Asia Tengah kuno yang ia yakini menyimpan sihir mematikan itu. Beberapa klaim menyebutkan bahwa peristiwa Stadion Liverpool tahun 1989 dan peristiwa bunuh diri massal di Tokyo tahun 1999 ada kaitannya dengan lagu yang dikirim lewat ring back tone. Di Indonesia ada tragedi Penerbangan 574.”
“Adam Air!” Dea berteriak. Tebakannya diiyakan oleh Marini. Nugraha dan Abimanyu terkejut. Tak disangka selama ini pemberitaan media sama sekali meleset, begitu pula dengan penjelasan KNKT.
“Puncak putus asa dalam waktu hanya beberapa detik?” Abimanyu menebak.
“Betul,” jawab Marini. “Lagu dengan nada aneh itulah yang sekarang kemungkinan tersebar di Jogjakarta, yang menurut gejala-gejala korban dan TKP yang sempat saya pelajari, hampir di semua TKP ditemukan perangkat dengar, yaitu ponsel.” Marini kemudian meletakkan ponsel yang ia rebut dari Nugraha ke atas meja.
“Ini gawat!” Nugraha bangkit dari kursinya.
“Baiklah. Tenang.” Abimanyu menyeru. “Kita bisa melacak sumber suara itu?”
Marini menggeleng. “Itu yang agak sulit, Pak. Kemenkes hanya tahu ini masalah penyakit, tapi tak merencanakan sampai sejauh itu.”
Mereka lalu hening dalam keseriusan mencari jalan keluar. Lalu tiba-tiba, Dea menyeletuk dengan sebuah jalan keluar yang serius.
“Konverter bunyi!”
“Alat itu adalah pengonversi bunyi yang bisa mengulirkan kode-kode menjadi nada yang ramah di telinga. Alat ini pernah dicoba terhadap proses penetralan gelombang sonar ketika UGM mencoba berkomunikasi langsung dengan lumba-lumba tahun lalu.”
“Benar!” Nugraha menjentikkan jari. “Kalau tidak salah, alat itu ada di FMIPA kan?”
Mereka bubar. Marini sempat memberikan map berlogo khas milik Dea yang ketinggalan di atas meja. Dea berterima kasih untuk itu.
**
Lima menit kemudian Nugraha sudah berada di dalam mobil bersama asistennya.
“Pak..,” Dea menyapa memecah kehengingan. “Maaf, bukankah kita harus memberitahukan warga agar mereka menjauhi ponsel dan menyerahkannya ke polisi?”
“Betul juga.” Nugraha menyadari. Ia lalu menghubungi Abimanyu melalui pager yang sudah dibagikan ke mereka sebelumnya. Semua ponsel mereka kini telah disimpan demi keamanan. Begitu pesan sampai, kota Jogja menjadi gempar. Media memberitakan dengan berlebihan membuat warga takut dan menuju bandara untuk evakuasi, sebagian lain menuju stasiun kereta dan terminal bus. Nugraha berjuang menembus macet sampai tiba di FMIPA UGM. Bangunan tua itu nampak sepi seperti tidak ada kegiatan sehari penuh. Hampir tengah hari tetapi koridor itu gelap. Ia melihat ke beberapa ruangan, termasuk ruangan studio radio yang tampak ditinggalkan pekerjanya.
Beberapa kilometer dari situ, Marini menuju rumah sakit JIH untuk menjenguk beberapa pasien sekaligus membantu petugas jaga yang terus kedatangan pasien korban percobaan bunuh diri. Di jalan ia dihadang kemacetan ketika polisi berusaha mengatasi beberapa orang yang tiba-tiba terjatuh setelah menerima panggilan telepon.

**
Tak banyak cahaya yang masuk ke koridor kampus itu. Nugraha mengetuk beberapa pintu namun tak ada jawaban.
“Sepertinya semua orang mengevakuasi diri, Pak. Berita sudah tersebar luas.”
Nugraha mengangguk. Tiba-tiba pandangan Nugraha menjadi gelap. Ia terjatuh dan pingsan.
**
Marini mendapati firasat. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba mendekati komputer  yang sedang menyala di ruangan salah satu dokter. Saat meraba-raba dan memasukkan kata yang ingin dicarinya terkait John Clauss, tiba-tiba ia masuk ke sebuah forum yang menampung logo unik itu. Logo yang pernah ia lihat sebelumnya, di map Dea! Ia langsung berlari keluar menuju mobilnya. Sambil klakson, sedan itu melaju ke pusat kota.
**
Dea tersenyum puas. Rencananya nyaris sempurna. Ia kini berada di pusat kendali radio kampus, mencakup seluruh kota. Ia mengeluarkan alat itu dari tasnya. MISERY. Demikian tulisan di alat itu. Ia sambungkan ke beberapa kabel, dan lagu merebak terdengar ke seluruh ruangan. Siaran dimulai.
Dea menggoyang-goyangkan kepala ketika lagu “Moves Like Jagger” diputar sebagai pembuka.
Marini mempercepat laju mobilnya.
Nada mulai berubah, hanya ada gemerisik di awal-awal. Saat nada itu mulai turun dua oktaf dan terdengar vokal perempuan aneh, Dea tersenyum puas. Namun tiba-tiba murka ketika melihat Nugraha tergeletak dengan lilitan kabel listrik yang baru saja tercabut. Tidak ada suplai listrik untuk alat konversi gelombang. Bunyi itu hanya terdengar di perangkat headset penyiar, tanpa mengudara. Nugraha kembali pingsan ketika Dea memasang lagi kabel-kabel itu. Tapi dari arah luar terdengar suara riuh, angin menggoyang pohon-pohon pisang. Helikopter mendarat. Dan kurang dari dua detik terdengar langkah cepat yang mendekat ke atas. Dea panik lalu berlari keluar menuju koridor. Tak lama kemudian terdengar bunyi letusan senapan, meleset. Tujuh anggota Densus 88 lalu mengejar tersangka. Di belakang, Marini berbelok ke stasiun radio dan menolong Nugraha. Ia mendengar permohonan maaf berkali-kali dari mantan suaminya itu, lalu memeluknya.
“Radio, sayang. Anak itu memanfaatkan radio untuk menyebarkan nada mematikan itu.”

**
Pengadilan menjatuhkan vonis 17 tahun plus 2 tahun rehabilitasi kejiwaan kepada Dea Aryani, mantan asisten dokter itu atas kasus tindakan terorisme kelas satu. Berkas-berkas yang telah rusak karena rajah menjadi alat bukti. Kapten Abimanyu naik pangkat ke Mabes Polri. Nugraha tetap menjadi dokter di RS JIH, sembari menyiapkan berkas-berkas untuk memperoleh kembali status suami dari Marini Soetoyo.
====
Cerpen ini ditulis untuk Lomba Fiksi Fantasi 2012.
Ilustrasi: freestock.com.

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -