Ditulis oleh: Unknown
Tuesday, February 28, 2012
... bagaimana campur-aduknya pikiran Pram ketika melihat tumpukan tulisannya yang tak sempat, atau putuskan ia tidak publikasikan.
KALAU ada yang bilang menulis itu kegiatan religius, ketika menulis ini saya pun berpikir demikian. Sama seperti Anda yang membacanya. Merasakan bahwa ini bukan semata-mata daya tangkap indera terhadap materi visual. Ketika tingkat pemikiran dan imajinasi bekerja dalam garis logika, ada satu tahap di dalam pemikiran kita sebagai penulis berubah menjadi kontemplasi dan penerimaan mental yang dalam.
Menyadari secara mendasar bahwa kita menjadi diri sendiri, mengungkapkan kalimat dari hati sendiri, dan menuliskannya untuk diri sendiri sungguhlah sebuah kejujuran yang diam dan sangat pribadi. Tidak mengherankan kemudian jika ada orang yang menimbun ratusan tulisan karyanya untuk ia baca sendiri, yang kemudian untuk ia koreksi sendiri.
Dalam fase menulis, teori terlalu banyak menjelaskan langkah-langkah teknis dan segala alur sistematis dalam menuangkan pikiran. Padahal, mengikuri alur perasaan dan luapan pemikiran tanpa terpaku pada perencanaan strategis yang kaku lebih terasa seperti membangun batasan-batasan yang sangat besar, dan penuh kendali pikiran sadar-bawah sadar pelakunya.
Sama seperti banyak bidang seni lainnya, menulis dalam taraf kontemplasi tertentu akan menjadi otokritik yang sangat berharga. Semua tentang pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa ini?" "Mengapa harus kutulis seperti ini?" atau "Lalu setelah ini apa?". Kebebasan membuat bingkai pikiran, bingkai imajinasi, bingkai target.
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya serangkai garis besar alur pemikiran seorang penulis, yang, secara teknis, terjadi hanya sepersekian detik sebelum ujung jari menyentuh papan tombol ketik. Tak perlu dijawab, cukup disadari bahwa dalam kegiatan menulis, menabrak imajinasi dan kekakuan berpikirlah inti dari rencana tersebut. Seorang penulis akan sadar sepenuhnya tentang tujuan dirinya, dan juga tulisannya. Tak peduli apakah nantinya tulisan akan dibaca semua orang atau tidak.
Sama ketika Pramoedya Ananta Toer mengatakan, "Saya betul-betul menulis untuk hidup, untuk makan," dalam benaknya semua kekakuan aturan dan dasar baku kalimat tulis luntur seketika, dan yang mengendalikannya adalah kemampuan mengerahkan pikiran dalam bentuk tulisan sampai untuk ia baca dan tanggapi sendiri. Walaupun ia hidup dari tulisan-tulisannya. Belum lagi ketika kita membayangkan bagaimana campur-aduknya perasaan Pram ketika melihat tumpukan-tumpukan tulisannya yang ia tak sempat, atau putuskan untuk tidak dipublikasikan.
Otokritik dalam menulis sudah menjadi instrumen mental yang mengikat setiap momen dan materi yang dirasakan penulis. Satu tulisan memunculkan keping otokritik tunggal bagi penulisnya, meski di beberapa hal penulis melakukan otokritik berlanjut dalam beberapa tulisan yang sifatnya progresif.
Dalam sejarah, manuskrip La Galigo atau Kitab Negara Kertagama pastilah menyimpan kekayaan warisan budaya sepanjang masa berupa otokritik bagi penyusunnya, Empu atau siapapun yang terlibat secara harafiah. Meskipun, hingga saat ini belum ada penelitian yang menjangkau hal-hal konkret seperti itu. Diperlukan puluhan tahun, mungkin. Tapi hari ini di rana tren penulisan populer yang sifatnya semakn pribadi, setiap orang yang menuangkan pikirannya dalam karya tulis secara stidak sadar menuangkan otorktritik ke dalam tulisannya sendiri. Sadar atau tidak, ia akan menemukan titik-titik itu ketika membaca tulisannya untuk kedua atau ketiga kalinya.
Sleman, 27 Feb. 2012 | 19.44 WIB.
Ilustrasi: writeawriting.com.
Tentang Penulis
bisa ya? tanpa verifikasi?
ReplyDeletemantap. memang dunia tulis menulis butuh ketekunan yang berarti. selamat menulis kawan
ReplyDelete