Ditulis oleh: Unknown Thursday, March 1, 2012


Saat menulis ide kontemplatif seperti ini, saya seringnya tersenyum-senyum sendiri. Bahwa "Menulis itu Melabrak!", saya teringat banyak sekali tokoh yang telah membuktikannya sampai mati bahwa kalimat ini benar adanya. Menulis bukanlah berkeluh-kesah, tapi menuangkan pikiran secara gerah. Nyaris dengan tidak sabar, berapi-api, dan melabrak semua aturan.

Lupakan teori, lupakan materi. Menulis itu adalah tentang menyerahkan diri. Pikiran, perasaan. Seperti pelukis ketika menumpahkan lima warna berbeda di atas satu kanvas, barulah digeser dan dicampur menjadi sebuah lukisan utuh. 

Memang ada juga orang yang berlatih menulis dengan membaca teori terlebih dahulu. Di mata saya, mereka sangat tekstual dan teoritis. Tentu ada konsekuensi, karena aksi nyatanya akan tertunda dan merasa terbatasi teori. Ada juga orang yang berlatih menulis dengan benar-benar menulis. Trial and Error hingga beberapa kali. Buntu, barulah membuka teori-teori yang banyak dijumpai tanpa harus membeli buku panduan menulis. Lagipula, memang buku panduan menulis terkadang menyusahkan. Kalau kata Ersis Warmansyah Abbas (penulis buku Menulis dengan Gembira), kalau ada pikiran untuk menulis, pertama-tama carilah alat tulis, bukan buku panduan menulis. Kalau dalam film Finding Forrester, ada kutipan terkenal berbunyi, "First thing you have to do in writing is to write, not to think." Artinya, menulislah dulu, baru merangkai pikiran lebih jauh.


Konsep melabrak aturan yang saya kemukakan di sini sedikit banyak juga dicerminkan  di deskripsi di atas. Teori-teori menulis muncul dari ranah praktis orang-orang terdahulu. Pengalaman-pengalaman yang dibagi, lalu jadilah teori. Mirip psikologi. Gejalanya akan terjadi dulu, barulah kita mengemukakan teori. Bukan teori yang dibenarkan dengan mengada-ngadakan fakta, kata Sherlock Holmes.



Seorang penulis, sejauh yang saya pelajari, adalah yang berani menerima dirinya sendiri yang apa adanya, tulisannya apa adanya, namun kuat tanpa harus mengadaptasi berlebihan penulis-penulis lain. Karena menulis itu melabrak aturan, maka seorang penulis punya jalur aturan sendiri untuk tulisan-tulisannya. Dan itu sifatnya sangat personal.

Cahaya Bunga Saragih melalui novelnya Tak Seindah Pelangi Danau Toba menentukan jalur aturannya sendiri ketika mengatakan bahwa "Novel ini bentuk pengakuan dosa saya." (Kompas.com, 14/11/2011)

Apalagi, saat ini banyak sekali media menerbitkan tulisan. Kebebasan penulis semakin diperluas. Ketika menulis, seseorang mengantongi setidaknya dua hak. Pertama hak cipta atas karya tulisnya, dan yang kedua adalah hak kepemilikan jalur penulisan, aturan penulisan yang sifatnya sangat personal itu.. 

Suatu saat, saat industri karya tulis dan pengembangan sastra Indonesia bisa setara dengan dunia internasional, kita akan punya banyak sekali teori penulisan yang lahir dari tangan-tangan berpengalaman yang awalnya menulis karena berani melabrak teori.

Hayok! *menggosok-gosok telapak tangan [Afs]
**
Ilustrasi: writingsense.blogspot.com.

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -