Ditulis oleh: Unknown Monday, May 13, 2013


Ketika saya menulis "tapi", itu berarti ada kontradiksi. Meski di banyak hal menulis dan internet adalah kegiatan sejajar dan saling dukung, akan tetapi tetap ada hal-hal yang memosisikannya sebagai dua rival yang membingungkan.

Internet jelas candu. Terutama di negeri ini. Kalau sudah bosan dengan serunya aplikasi chatting, maka ada Twitter dan permainan online yang tingkat membuat-ketergantungannya setara atau bahkan lebih parah. Bagi seorang penulis, internet itu siksaan. Ya, ini refleksi pribadi saya untuk konteks ketika saya memerlukan fokus dan pendalaman ide.

Akan tetapi ini bukan semata-mata "mencari kambing hitam" dalam segala hal pertalian ide menulisnya. Internet sangat sangat membantu dalam hal pendalaman materi tulis, proriset tentang latar dan karakter tokoh (untuk tulisan-tulisan fiksi) serta penyeimbangan opini. Saya bisa menguatkan tulisan opini saya di kompasiana.com karena referensi internet, selain karena memang saya belum punya perpustakaan memadai di kala menulis. 

Sepintar-pintar apapun saya mengatur waktu untuk fokus menulis, selama komputer terkoneksi internet, tetap saja sulit fokus. Tab Twitter dan BBC.co.uk selalu terbuka dan akan selalu ada hal baru dari sana. Secara psikologis mungkin ada dasar teori dan pengaruhnya memang. Beberapa waktu lalu saya ketemu seorang doktor psikologi dari UGM yang keluhannnya kurang lebih sama.

"Aduh, kalau sudah bicara teknologi. Kasihan kita. Media memang tidak perlu dan tidak mau banyak tahu soal apakah kita ketergantungan, kecanduan atau tidak. Bagi mereka itu tidak penting. Kitalah yang berjuang sendiri saat ini," ujar perempuan yang masih nampak muda di usianya yang saya terka akhir 30-an itu. Ia bahkan dengan setengah malu mengakui bahwa kaumnya (maksudnya perempua, kaum ibu) yang paling susah lepas dari ketergantungan teknologi dan sering luput mengawasi anak-anaknya.

Distraksi informasi

Internet sebagai ladang ilmu pengetahuan sangat banyak distraksi. Maka ketika saya konfirmasikan hal ini kepada  beliau, saya tanya dengan bahasa begini. "Apakah Ibu setuju bahwa saat ini internet berperan dalam distraksi informasi?"

Dia setuju sekali. Tanpa kata, tapi bahasa tubuhnya jelas  menegaskan jawaban itu.

Lebih lanjut menurutnya, media sosial kita saat ini cenderung luput mengejar efek psikologis terhadap pengguna, Akibatnya orang-orang sulit fokus pada hal-hal yang lebih penting, cenderung menyaksikan sebuah isu secara setengah-setengah dan bereaksi secara impulsif. "Reaksi impulsif ini fenomena juga, karena kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka 'like', apa yang mereka sebar."

Selama ada kehebohan terjadi di dunia maya, orang-orang yang mengaku aktivis media sosial pasti akan ikut mengampanyekan sesuatu itu, walaupun keberanannya belum terkonfirmasi.

Padahal kecanduan pun harus dikelola. Caranya, ya dengan mengorbankan apa yang memang tidak perlu. Perlu dipahami bahwa kelola kebutuhan informasi bisa dimulai dari meminimalisasi peluang mendapatkan informasi tersebut. Menghilangkan feed untuk berita-berita tidak perlu masuk ke blog atau twitter bisa membantu dalam hal ini.

Menulis, yang adalah kegiatan pikiran yang tak bisa diganggu-gugat prosesnya, sering kali kewalahan menghadapi distraksi informasi dan dorongan impulsif ini. Saya berkali-kali mengalami sehingga beberapa naskah cerpen dan cerbung belum terselesaikan. 

Meski demikian, Ada beberapa catatan penting yang kiranya mengingatkan saya betapa hobi menulis bisa bersimbiosis mutualistis dengan kecanduan internet.

Pertama, candu internet tetap bisa diadopsi untuk hal-hal yang mendukung fokus kerja. Misalnya tab-tab pada peramban hanya sering membuka laman Wikipedia, blog tertentu ataukah laman jejaring sosial rekan kerja yang sedang dalam jalinan kerjasama sebuah proyek tulisan.

Kedua, kecanduan internet akan membantu Anda menjaga koneksi dunia maya. Mau tidak mau seorang penulis perlu sesekali mengintip interaksi yang terjadi. Siapa tahu ada inspirasi dari sana. Tapi akan lebih membantu ketika saya menjadi pembaca senyap alih-alih terlibat dalam pertarungan opini komentar yang menjauhkan saya dari naskah-naskah di komputer. Mengamati itu perlu, tapi tidak harus mengalami.

Ketiga, memang harus ada pengorbanan. Terkadang memang harus perlu terlepas dari koneksi internet, menghilangkan segala kemungkinan distraksi yang mengganggu produktivitas. Tapi ini biasanya tidak berlangsung lama. Sering kali ada ide terbersit di kepala bahwa "aku harus mendalami ini dengan informasi ..." kemudian terbukalah kembali tab, tersambunglah kembali internet.

Meski ada banyak tip, tetap saja hal-ihwal kecanduan internet hanya bisa dikelola dengan pengertian kebutuhan pribadi. Untuk pikiran yang perlu kesenyapan, untuk kelola fisik yang butuh fokus energi yang baik, dan untuk mata yang perlu jaga konsistensi bahan bacaan. Hobi menulis tetaplah akan lebih produktif ketika saya bisa menyingkirkan semua hal yang tidak perlu.

Bagaimanapun, menulis berarti "terbang meninggalkan bumi". Itu menurut Dewi Lestari.

--------------
Ilustrasi: Flickr.

8 Komentar
Tweet
Komentar FB

8 comments | Baca dan Komentari

  1. Senang bacanya ;)

    terutama, "karena kebanyakan orang tidak tahu apa yang mereka 'like', apa yang mereka sebar."

    mantep, Bang FS, serasa dapat pengetahun lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama makasih, Bang CH. Senang bs bagi2 pengalaman.

      Delete
  2. Bergantung individunya ya berarti ya. Bisa memanfaatkan apa tidak. Yang buntu bisa terbantu, tapi kadang malah mengganggu. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya buntu juga kadang membantu ya Mel :)

      Bagaimana dengan kebuntuanmu? apakah karena internet?

      Delete
  3. Sampai sekarang ini saya masih bingung membedakan antara kecanduan informasi di internet atau menggunakan informasi yang saya dapat untuk menulis... hehe. Selama saya masih bingung ya saya biarkan aja mengalir deh. Browsing, baca, tulis di blog.

    ReplyDelete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -