Ditulis oleh: Unknown Sunday, May 12, 2013



Untuk dinding yang tak berwarna, aku menerka-nerka warna cat. Kemudian setiap sore aku duduk merapatkan pantat di atas dipan, mengira-ngira rumput seperti apa yang cocok untuk pijakan halaman. Konsensus pergolakan cinta yang mengandalkan para kesatria bergitar sebagai penyelamat patah sudah. Aku memberikannya selembar kertas puisi untuk dibaca, dan menyerukannya untuk melanjutkan hal yang tak disukainya.

"Sudah, kau bernyanyilah," kataku setelah berapa lama ia tak bicara. "Lagukan puisi, atau puisikan lagu."
"Bagaimana caranya?" timpalnya. Ragu, menunduk dan sesekali melihat langit. "Aku tak bisa main bermusik dan kau memberikan gitar. Aku lebih bisa berteriak dan kau kasih puisi ini. Aku harus bagaimana jika Loni lebih senang melihat seseorang yang bersuara merdu atau yang pandai menari?"

Aku tergelak, terkekeh dan meneguk dalam-dalam anggur putih dari setengah gelas berkaki.

"Berarti kau tak punya sesuatu untuk mendapatkannya." Aku tegas saja. Tapi dia memundurkan kepalanya, tidak terima dan balik bertanya.
"Aku punya. Kau tak tahu saja."
"Apa?"

Dia diam sejenak, melemaskan pundaknya. Mungkin sedang mencari-cari kembali ingatannya yang tercecer soal apa yang masih ia punya.

Laki-laki ini adalah seorang yang syahdu, menurutku. Dia punya pekerjaan hebat --semua tahu, konstruksi adalah lahan uang yang cukup--, latar keluarga kalangan atas yang produktif dan cita-cita hidup yang tak biasa. Ia ingin jadi seorang perencana kota. Katanya, Stadion Nasional masih bermasalah dengan arah mata angin dan kapasitas parkir, dan ia ingin membongkarnya. Tapi itu mungkin lebih pada bayangan liar dan lebih soal bagaimana seorang teknisi tetap harus menghidupkan cita-citanya dengan pikiran yang masuk akal.

Kemudian tibalah ia, terdampar pada persahabatan yang tak pernah ia rasakan, mungkin. Terjadi begitu saja. Setelah pertemuan singkat di sebuah acara amal, ia --dengan begitu percaya diri menjelaskan teori ketertarikannya-- mengaku merasakan kenyamanan yang konyol bersama seorang pemain teater sepertiku. Katanya, ia senang melihat kami berlari-lari kecil di atas panggung, bersenandung lirih lantas tiba-tiba berteriak sampai mereka di bangku penonton bertepuk tangan. Anak ini juga mengaku tertarik dunia seni. Hanya saja, takut mencobanya.

"Menurutku seni tetaplah  bakat yang dibawa sejak lahir, atau ditemukan dengan perenungan. Bakat tak bisa begitu saja hinggap ke kepala orang-orang teknis sepertiku."

Dengan kalimat itu aku memberinya sanggahan bahwa bahkan kegiatan menarik napas di dalam ilmu tari adalah ihwal teknis yang penuh perhitungan, seperti halnya dalam arsitektur dan rancang bangun yang memerlukan naluri seniman.

"Bukan, bukan. Memang, teknik perencanaan dan segala hal yang berhubungan dengan dunia kerjaku memerlukan sentuhan seni, tapi itu lebih pada naluri ketepatan, penglihatan akan masa depan dan perhitungan pada hal-hal kecil yang mungkin pernah terjadi di masa lalu. Seni yang kau geluti saat ini adalah mahakarya, pekerjaan warga nomor satu di dunia. Aku ... kau tahu, aku belum bisa mengerti mengapa tanganmu harus lunglai dan badanmu tak boleh lebih gemuk dari sekarang ini. Bahkan, aku tak mengerti  kenapa kakimu sejak tadi terus-terus bergoyang. Apa kau sedang menunggu sesuatu?"

Kubilang saja mungkin aku agak bosan menunggunya untuk mengambil gitar dan memainkannya.

"Oh itu. Bukannya aku tidak mau, Nel. Hanya saja, aku ... maaf, ..."

Aku mengejarnya dengan pandangan langsung ke arah mata. Dengan gugup ia melanjutkan kalimatnya. Aku tahu, mungkin, tahu apa yang akan dikatakannya. Pertalian perasaan yang diam-diam saling mennyentuh ujung hati selama tiga belas tahun terakhir mestinya berujung pada satu pertanyaan yang sama. Dan kalau hari ini hari baik, mungkin ia mengumpulkan segenap keberaniannya untuk berkata jujur soal perasaannya kepadaku. Soal Loni, aku tak mau banyak menerka. Aku menunggu laki-laki ini menggunakan keberaniannya.

Ia mengambil gitar, memeluknya di depan dada dan mengelus kolom-kolom nada dengan selinting jarinya. Bunyi gesekan itu seperti berbisik bahwa kami harus segera pergi dari halaman rumah orang itu.

"Aku bukan penyanyi yang bagus. Dan ... menurutku puisi yang dinyanyikan akan jadi hadiah menarik untuk seorang perempuan. Mungkin, aku akan memberi sedikit kesan baik jika sedikit berusaha menjadi seorang penyanyi yang membacakan puisi untuknya?" 

Aku tak bisa menebak ia akan mengucapkan kalimat itu. Aku menarik napas, bersamaan dengan menarik pandangan yang akhirnya terlempar begitu saja ke semak-semak di ujung sana kalau tidak ke arah langit yang memerah.

"Tolong, Nel. Ajarkan aku, seminggu ini, gembleng biar jadi pemain gitar yang bisa berpuisi." Ia memohon, menangkupkan dua telapak tangannya.

"Roh," aku menampiknya gesit. Membuatnya terkejut. "Kalau kau merasa laki-laki, berhentilah berpura-pura tahu atau menjadi orang lain yang tak pernah ada di benaknya sebagai seorang perempuan. Berhentilah menggiring kepribadianmu menjadi sekadar apa yang bisa ia mimpikan. Mulailah menjadi seseorang yang bisa ia lihat secara nyata. Yang bisa ia puji saat tampil baik dan bisa ia tertawakan saat tak bisa melakukan suatu hal. Kenapa kau tak menunjukkan saja dirimu yang tak bisa main gitar dan tak fasih membaca puisi? Aku tak kenal baik Loni, tapi aku mengerti perempuan yang mau menerima kejujuran yang berperasaan."

Ia merasa malu. Tertunduk dalam keheningan. Aku takut telah salah mengantarkan kalimat. Meski aku yakin ia telah menangkap jelas maksudku.

"Aku minta maaf," katanya pada akhirnya. Mundur teratur dan melemaskan dua kakinya merapal dipan bambu.

"Maaf."

"Seharusnya aku tahu ... aku sedang berhadapan dengan seorang seniman." Laki-laki ini seperti berbicara sendiri saja. Pada akhirnya mungkin ia mengerti. Dan situasi yang tiba-tiba kikuk ini justru menamparku dengan kecurigaan bahwa mungkin aku sendiri tak memahami orang yang selama ini dekat. Aku takut telah melukai hatinya.

"Seorang seniman menyimpan banyak sudut pandang, tapi kau harus akui, golongan kalian pernah juga luput melihat hal yang benar-benar nyata dan gamblang. Kenapa tidak langsung terlintas kalau warna jeruk nipis atau lemon lebih cocok untuk cat dinding ini daripada coklat atau merah marun? Ya karena rumputnya berwarna hijau terang. Dan karena atapnya sudah berwarna mahoni. Ada banyak hal-hal lain yang mungkin kau juga ceroboh menebaknya. Misalnya ..."

"Misalnya apa?" Tanyaku ketus. 

"Misalnya ... menebak untuk siapa sebenarnya aku menyiapkan gitar dan puisi ini."

Matanya menatapku begitu tajam. Bahkan, lebih tajam dari sebelumnya.

----------------
Sumber gambar: animewallpaperz.com.

1 Komentar
Tweet
Komentar FB

1 komentar | Baca dan Tambahkan komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -