Ditulis oleh: Unknown Saturday, June 22, 2013



Saya terkejut dengan keterbacaan tulisan saya "Indonesia Jadi Obrolan Twitter Singapura" yang tayang 20 Juni kemarin. Tulisan yang melaporkan komentar-komentar pengguna Twitter di Singapura soal kabut asap asal Sumatra yang melanda kota mereka seminggu terakhir dibaca lebih dari 2.200 kali. Padahal, aslinya tulisan itu saya buat karena kebuntuan ide, dan berpikir mungkin di Twitter (biasanya jalan terakhir untuk terobosan reportase) sedang terjadi sesuatu. Saya pikir, biasa saja kan ya karena komentar di trending topic memang sering kali sifatnya sensasional belaka.

Tapi Alhamdulillah diapresiasi lebih baik.

Saya lantas berpikir, seorang blogger juga harusnya mengikuti berita-berita nasional. Ketertarikan saya kemarin membuat tulisan soal kabut asap semata-mata karena di banyak blog warga bahkan media utama Indonesia, waktu saya muat tulisan itu, belum banyak yang melaporkannya. Padahal, biasanya isu-isu yang menyangkut nama Indonesia di luar sana biasanya gampang jadi berita topik pilihan. 
Katakan saja yang terbaru, penyematan gelar World Statesmen Award untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau, berita-berita yang terkait sentimen regional seperti sengketa Indonesia-Malaysia soal pulau dan persaingannya di laga sepakbola Piala AFF. 
Saya berpikir bahwa lebih banyak orang yang harus tahu soal kabut asap yang "menyerang" ini.

Ini kutipan satu tweet yang saya angkat untuk berita contoh.

Mengapa seorang blogger perlu mengikuti berita-berita besar?

Menurut saya sederhana saja: karena blogger, saat mereportase, bisa membantu teman-teman pelapor dari media utama untuk mendapatkan suntikan informasi baru. Waktu saya memublikasikan tulisan di atas, sontak banyak kawan blogger membaca dan membuat tulisan serupa, entah ada hubungannya atau tidak. Mengingat sebelum tulisan saya itu, saya belum menemukan satu tulisan yang bahas itu, karena kebanyakan masih soal Jokowi, ultah Jakarta, PKS, dan semacamnya. Reaksi sambung-menyambung suara terjadi dan arahnya baik sekali.

Saya aktif di Kompasiana.com karena berpikir media warga satu itu memberi banyak sekali kesempatan kepada seorang blogger untuk tampil sebagai pelapor utama. Sudah banyak kasus di mana Kompasianer jadi sumber utama laporan yang bahkan akhirnya disadur dan dilaporkan ulang (lebih baik secara teknis, tentu saja) oleh reporter-reporter koran dan majalah nasional.

Blogger punya lebih banyak waktu untuk memilih dan memilah berita terbaik yang bisa diangkat ke ruang baca publik. Tidak adanya redaktur yang menuntut deadline dan jumlah berita yang harus dibuat memberi ruang gerak lebih bagi blogger untuk mengeksplorasi laporannya sendiri. Mencari referensi sana-sini, menggali data sendiri, merangkainya jadi kerangka laporan, dan menayangkannya atas nama sendiri. Tanpa tendensi, tanpa okupasi. Blogger yang punya independensi lebih bisa sekaligus latihan untuk bertanggung jawab terhadap berita. Apalagi berita itu menyangkut kepentingan nasional.

Karena tak semua bahan berita dihabiskan reporter berita nasional, blogger selalu bisa masuk celah-celah itu untuk merangkai tulisan laporan yang lebih apik, tak harus secara berat biar enak dibaca, dan tetap menegakkan prinsip-prinsip jurnalisme beretika. 

Itulah kenapa saya anggap Twitter adalah lahan garapan seorang blogger pewarta. Berita terpantik di sana, meski harus validasi berulang kali agar tidak terjebak kebohongan dan kepalsuan. Tapi semakin ke sini seorang blogger akan belajar bagaimana mengatur kemampuannya sendiri dalam memanfaatkan informasi, mengemas temuan yang belum pernah ditemukan sebelumnya, dan melaporkannya secara aktual, terpercaya, dan tentu saja tidak memihak (lho ini gabungan slogan 3 stasiun berita :D).

Selamat bagi teman-teman blogger. Terus berkarya.

*

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -