Ditulis oleh: Unknown Wednesday, June 19, 2013


Awal Mei lalu Gatra merilis laporan yang mengungkapkan fakta bahwa   di Indonesia sampai saat ini, baru ada 8 (delapan) gedung yang tergolong Bangunan Hijau.

Ketua Green Building Council Indonesia Naning Adiwoso menyebutkan, tiga dari delapan bangunan-bangunan tergolong Hijau tersebut yakni gedung Grand Indonesia-BCA Tower, Sampoerna Strategic Square, dan German Centre BSD merupakan revitalisasi dari bentuk bangunan lama. Sedangkan lima lainnya merupakan  bangunan baru, yaitu gedung Kementerian PU, Institut Teknologi dan Sains Bandung Deltamas, Perkantoran Dahana Subang, Kampus Prasetya Mulya, dan Kuningan Tower. Kesemuanya terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Ada kecenderungan, lanjut Naning, publik salah memahami konsep bangunan hijau dan bagaimana seharusnya sebuah bangunan dapat dikatakan hijau. Orang-orang berpikir bahwa hijau berarti menyediakan banyak lahan rumput di balkon dan atap atau tanam banyak pohon. Memang, itu satu tandanya, tapi konsep hijau yang sebenarnya untuk sebuah gedung terletak pada instalasi dan pengelolaannya.

Teman saya, mahasiswa doktoral Teknik Lingkungan di Taiwan yang sedang melakukan riset manajemen limbah menge-tweet, “Inti dari konsep bangunan hijau (secara fungsional) ada tiga: material pembangunannya, atur penggunaan/konservasi energi, dan pengelolaan sampah-limbah.” Lebih lanjut katanya, selama ini di Indonesia bangunan yang diklaim hijau hanya menonjolkan konservasi energi, dan atau penyediaan ruang hijau. Sementara pengelolaan limbah dan penghematan material fisik belum terjangkau. Ini membenarkan temuan GBCI di atas.

Bintang A. Nugroho, IALI, G.P., Deputi  bidang Organisasi dan Event GBCI dalam makalah presentasinya 22 April 2012 lalu Teori Dasar Lansekap untuk Departemen Arsitektur Lansekap IPB menjelaskan detil-detil teknis bangunan hijau yang perlu publik ketahui.

Atribut hijau bukan lagi nilai tambah melainkan PRASYARAT.

Bintang menekankan pemahaman kalimat di atas dalam presentasinya. Bahwa sesungguhnya konsep hijau itu bukan perkara renovasi atau presentasi arsitektur semata. Gedung hijau adalah konsep utuh penghematan dan pengelolaan, sebagaimana lebih lanjut dijelaskan bahwa kriteria-kriteria penting untuk sebuah bangunan hijau adalah:
  1. Hemat lahan
  2. Hemat material
  3. Hemat energi
  4. Hemat air
  5. Udara sehat
  6. Pengelolaan lingkungan

RUMAH SAKIT

Pada dasarnya konsep dasar Hijau berguna untuk jenis bangunan dan peruntukan apapun. Jika bangunan itu adalah sebuah rumah sakit yang adalah fasilitas publik, maka perwujudannya bisa diruncingkan ke dalam beberapa mekanisme operasional. 

Penghematan air bisa dilakukan dengan sistem muat ulang dan penyulingan. Kamar-kamar mandi dipasangi keran dengan daya lepas air yang minim namun teratur, sementara sisa air yang masih bersih bisa dialirkan untuk pengairan taman. Bisa juga kalau dibuat pemisahan mekanisme aliran “air umum” dan “air medis”. 

Air medis berwujud sistem pengairan berkelanjutan yang dipakai khusus untuk keperluan penanganan medis. Air jenis ini tidak boleh mengandung bahan kimia berbahaya (mis. kaporit), konsentrat hasil peleburan limbah dan memiliki kadar mineral yang seimbang. Di Makassar yang salinitas dan keasaman airnya relatif tinggi, rumah sakit perlu berpikir untuk membuat instalasi dan sumber air sendiri.

Sementara kriteria-kriteria lain seperti sirkulasi udara sehat dan hemat energi bisa disinergikan kebutuhannya dengan tindakan penghematan material, yang juga akan berdampak penting pada pengelolaan lingkungan, termasuk limbah operasional. Penggunaan pendingin ruangan elektronik (AC) sudah nyaris hilang di kedelapan bangunan hijau menurut GBCI di atas.

Di gedung Kementerian PU yang saat ini mendapatkan sertifikat Platinum, sirkulasi udara dilakukan melalui kisi-kisi khusus yang mengalirkan udara dari bawah langsung ke lantai-lantai atas. Ini disokong struktur kompleks gedung empat menara yang diatur dengan plasa tengah, penting sebagai penyediaan Ruang Terbuka Hijau yang jadi penghubung antargedung. Dinding terluar cenderung terbuka dan struktur langit-langit disesuaikan tingginya untuk menahan oksigen lebih lama. 
Desain gedung Kementerian PU
(ciptakarya.pu.go.id)
Hasilnya, menurut penilaian, gedung pemerintah itu bisa hemat energi hingga 44 persen, menghemat pelepasan karbon 1.650 ton per tahun, serta menghemat konsumsi air hingga 83% saat musim hujan dan 61% saat musim kemarau (sumber). Semua itu sudah memenuhi aturan tata kelola dan zonasi yang tertuang dalam peraturan terkait Bangunan Gedung.

Sementara standar penanganan limbah-limbah padat medis seperti yang sifatnya infeksius seperti limbah patologis, benda-benda tajam, limbah farmasi, sitotoksis, kontainer bertekanan, berkandungan logam berat, kimiawi bahkan limbah radioaktif sudah tercantum dalam permenkes No. 1204 tahun 2004. Sementara limbah cair termasuk potensi patogen dan limbah gas dari cerobong laboratorium dan operasional CT Scan, MRI dan Onkologi sudah semestinya tertuang dalam Buku Panduan ataupun Prosedur Operasi Standar.
..

“Hijau” sebagai Budaya

Akan sulit menerapkan konsep hijau tanpa membentuk budaya. Pemahaman bagi pengguna gedung, warga sekitar dan warga lokal secara umum perlu ditekankan agar go green dipahami tidak sebatas warna cat tembok atau lapangan rumput. Bahwa Gedung Hijau adalah budaya baru dan bukan sebatas temuan arsitektur.

Efisiensi ekologis perlu menjadi panduan gerak staf dan pengelola gedung maupun para pekerja. Lebih dari itu, melihat Gedung Hijau sebagai sesuatu yang tak lagi eksklusif jauh lebih penting bagi transformasi pemahaman publik. Bintang dalam presentasi serupa memaparkan apa yang ia sebut sebagai Transformasi Lingkar Pikiran. Dalam diagram yang dipublikasikan lewat laman presentasi GBCI, Bintang membagi pola pikir masyarakat ke dalam dua bentuk berikut.

Diagram Lingkar Alasan dan Lingkar Dukungan
(Bintang A. Nugroho/Issuu-GBCIndonesia)

Circle of Blame (lingkar alasan) menggambarkan pola pikir lama bahwa rencana Gedung Hijau hanya akan berujung pada penerapan yang mahal, dan alasan-alasan lain. Ujung-ujungya semua pihak mulai investor, kontraktor, pengelola gedung hingga pengguna, tak ada yang mau memulai, tidak berani mengambil risiko.

Ini bisa dilawan dengan Circle of Support. Bahwa semua dukungan bisa dimulai dari semua pihak secara bersama-sama. Pengembangan struktur hijau dalam bangunan dan pola hidup bisa dimulai dengan arah yang lebih konstruktif. Jika selama ini kontraktor mengeluh tidak bisa mengembangkan Gedung Hijau karena investor pesimistis terhadap permintaan pasar, maka warga pemakai bisa memulai permintaan yang antusias atas gedung hijau yang efektif. Prosesnya bisa berlanjut ke kontraktor dan kembali ke keputusan investor. Pola saling dukung ini sudah terbukti di banyak negara dan berhasil melahirkan bangunan-bangunan fundamental.

Ketika pengelola RS dan pemerintah kota mulai menawarkan solusi bangunan dan pelayanan hijau untuk kesembuhan pasien, ekspektasi publik terhadap pemenuhan layanan kesehatan bisa terbentuk. “Wah, lihat itu  rumah sakit Daya mengelola airnya sendiri dan mengatur pembuangan limbahnya secara aman!” 

Warga akan menilai lain dan bertanya bagaimana gerangan caranya. Pasien dirawat inap di  ruangan yang sirkulasi udaranya terbuka dan menghirup oksigen langsung dari alam, bukan dari AC akan mengucap syukur. Di luar kriteria-kriteria teknis, rumah sakit hijau adalah pembentukan budaya, kebiasaan, kebutuhan. Ini akan memenuhi slogan organisasi kesehatan dunia WHO yang berbunyi Healthy hospitals, healthy planet, healthy people.

-----------------------
Ditulis untuk Kompetisi Blog "Green Hospital", RSUD Daya Makassar.
Sumber gambar lead: http://rsudaya.org.
Dimuat juga di situs resmi RSUD DAYA.
Afandi Sido | @FandiSido | afseeboy@gmail.com

*

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -