Ditulis oleh: Unknown Saturday, June 15, 2013



*
TOTOK ABIDIN merupakan orang paling canggih di kampung Karangwuni. Canggih, adalah istilah yang sering digunakan masyarakat biasa untuk menyebut orang-orang dengan pendidikan tinggi, punya keahlian tertentu yang berguna, dan pastinya mau mengajarkan banyak hal. Akan tetapi meski Totok menyadari dirinya punya kelebihan yang mungkin akan berguna bagi pembangunan dusun atau kelurahan, ia sendiri masih mengira-ngira apa yang sebetulnya ia inginkan. 

Kesehariannya yang tak rutin dan pekerjaannya yang tak menentu terus-menerus membuatnya berpikir apakah sebutan ‘canggih’ itu pantas ia dapatkan. Sejenak ia singkirkan kegundahan itu jauh-jauh karena ada tugas penting yang harus ia selesaikan sebelum hari Selasa minggu berikutnya, yang berarti tenggatnya tinggal empat hari.

“Pembangunan masjid akan dimulai sesuai target,” kata ketua Takmir. Seorang laki-laki tua, beruban yang ke mana-mana harus ditemani tongkat jalan. Tutur katanya tak lagi lancar tapi selalu mengundang keheningan. “Kiranya semua bagian kerja sudah mulai tahapan, termasuk Mas Totok ya, bikin baliho.”

Totok mengangguk, berirama dengan anggukan orang-orang di lantai tengah masjid yang berlantai semen kasar itu. Selembar karpet dari anyaman plastik rasanya sudah terlalu lama mengalas tiap duduk atau sujud kening mereka. Beberapa sesepuh bahkan akan membawa terus bekas hitam di jidat-jidat mereka yang beradu dengan tali-tali plastik tikar yang merapuh nyaris putus di sana-sini.
Musala At Tanwir segera bertransformasi menjadi Masjid Bertingkat. Orang-orang akan bertanya setiap kali melihat gambar rancangan masa depan bangunan ibadah itu yang lebih mirip studio agama. Berlantai dua dengan tangga tunggal yang lebar dari halaman depan ke lantai atasnya, empat sudut dinding yang akan dilengkapi tiap-tiapnya menara khas Makkah, dan jendela-jendela dengan kisi kaca berwarna akan membiaskan cahaya-cahaya matahari jadi semacam cahaya hias di saf-saf setiap zuhur. Totok pun membayangkan itu, dan ia berpikir pasti mewujudkan itu akan menguras banyak sekali tenaga.

Dan juga uang.

Desain baliho untuk permintaan sumbangan pembangunan akan dibuat sesederhana mungkin, pikir Totok. Yang penting ada nama masjid, nomor registrasi IMB, tanda tangan ketua takmir dan dua baris ayat dari hadis Rasulullah yang kiranya bisa menggugah hati nurani orang yang lewat di jalan untuk berhenti dan menyerahkan sejumlah infak.

“Warna hijau dong yang dominan, biar religius begitu kan,” kata seorang muda berkulit hitam. Fikri ditugaskan untuk membantu Totok mewujudkan baliho itu. Lebih tepatnya, diminta untuk menyediakan ruang kerja di kamar kosnya, seperangkat komputer beraplikasi desain dan alat cetak dami, dan tentu sedikit uang jikalau ada hal-hal yang penting untuk difotokopi. Rumor yang mengatakan Fikri anak seorang petambang timah di Bangka Belitung sudah cukup bagi dewan takmir untuk mempercayakan hal-hal semcam itu kepada anak muda ini. Lagipula, ia 11-12 saja dengan Totok. Hanya setahun lebih muda dan sedikit lebih cerewet.

“Iya, memang hijau, diberi lis kuning saja bagaimana?” Totok coba menerka jalan pikiran Fikri sembari mereka menatap tajam ke desain awal di dalam CorelDraw komputer. Loading beberapa kali tapi mereka lancar saja.

“Yo bisa. Gambar desainnya dibuat besar di tengah agak ke bawah. Nah, hadis Rasulullah itu ditaruh di atas saja, iya, kanan sedikit, di situ. Stop.” Fikri mulai dengan lihai, menggunakan kuasa abstraknya untuk mengarahkan tangan dan pikiran Totok untuk bergerak mengganti tata letak dan mencoba-coba warna teks yang cocok.

Dua jam di depan komputer, desain baliho itu jadi. Sore hari berikutnya mereka serahkan daminya dalam ukuran kuarto ke Haji Badawi selaku ketua takmir untuk konsultasi. Sering kali orang tua punya pendapat sendiri yang kalau sudah tidak cocok dengan apa yang dikerjakan anak muda, tetaplah akan didahulukan. Totok dak mau ambil risiko dan mengatakan bahwa dami desain harus dikonsultasikan dulu. Kalau dewan takmir sudah setuju baru dibawa ke percetakan.

“Em … rasanya sudah bagus, Nak. Warnanya apik,” Haji Badawi nampak senang. Pikirannya sekadar mengagumi betapa teknologi bisa membantu banyak hal. Totok dan Fikri mengangguk-angguk bangga dan saling melihat.

“Tapi … bagian ini …,” ujar Haji Badawi lagi. “Mestinya bisa diganti lebih … ‘wah’ begitu.”
Totok terheran, ia melihat ke arah Fikri yang hanya tersenyum masam dan menggeleng. Sikap tubuh Haji Badawi tiba-tiba berubah kurang puas, lebih tepatnya mengharap lebih. Totok langsung menyadari kalau mereka tidak akan memakai desain ini langsung ke percetakan. Sesuatu harus diganti. Maka kemudian ia bertanya kepada ketua takmir itu apa yang perlu diperbaiki dari desain baliho.

“Di sini … ditulis Sumbangan Anda adalah pahala jariyah yang tak akan putus. Rasanya sudah biasa, mungkin perlu diganti … apa begitu.”
Tiba-tiba Fikri menyeletuk. “Wah, Nuwun Sewu, Pak Haji,” lagaknya berbahasa Jawa. “Tadi saya sudah bilang ke Mas Totok ini, bahwa kata-kata pahala jariyah itu sudah kelewat kuno. Dipakai di banyak masjid. Persaingan pencarian dana pembangunan ketat sekali di Yogya sini. Kita harus tulis yang menarik, tapi kata Mas Totok, sudah cukup begitu saja. Menurut saya sih, ada kata-kata yang lebih modis begitu, Pak?”
Haji Badawi nampaknya tertarik. Sejenak ia memandang ke Totok yang tampak kikuk sendiri dan berada di posisi yang salah. “Bagaimana itu?”
“Coba begini, Pak.” Fikri mulai menjelaskan. “Tadi saya kasih saran ke Mas Totok, kalau kata-kata pahala jariyah itu diganti saja dengan Investasi Hidup Mati begitu.”
“Investasi? Seperti … bisnis?” tanya Haji Badawi memastikan.
“Lha nggih, Pak. Saya pernah lihat, masjidnya sekarang bagus, di daerah Giwangan sana. Di balihonya itu dulu ditulisnya Siapkan rumah Anda di Surga, pembangunan masjid ini adalah investasi bagi Anda di akhirat. Apik, modern, berkelas dan tak sasarannya jelas. Penyumbang-penyumbangnya kebanyakan orang kota, dari Jakarta, Surabaya. Dalam dua tahun saja, masjidnya jadi bertingkat dua, lengkap dengan tamannya!”

Haji Badawi menggosok dagunya. Totok sendiri merasa sudah tak punya senjata lagi, membiarkan keputusan berada di ketua takmir saja. Bukankah tujuan mereka ke mari memang untuk meminta masukan dan keputusan?

Keheningan menyeruak di teras masjid itu. Haji Badawi melihat ke dua pemuda di depannya itu secara bergantian. Fikri mengangguk-angguk bangga sementara Totok kembali menerapkan pandangan dan analisisnya ke gambar desain yang digelar di lantai. Investasi? Pikirnya dalam hati.

**

Tiga-empat jamaah tua saling bercanda dalam perjalanan mereka menyusuri gang. Seorang dari mereka tiba-tiba mengalihkan perhatian karena melihat sesuatu yang baru. Ia menunjukkan kepada teman-teman seperjalanannya apa yang kini berdiri di di pinggir jalan inspeksi yang menghubungkan lalu lintas padat dan gang tempat musala berdiri. “Woh, apik baliho anyare ki!” kata seorang itu dengan mengatakan bahwa pengumuman infak baru musala dusun sangat menarik perhatian.

Di baliho yang membuat para pengendara melirik itu, kini terpasang kata-kata mentereng seperti investasi, donasi, dan manajemen. Sebuah desain rancang bangun dengan empat menara bergaya Arab tetap dipakai. Hadis dicetak lebih tebal dengan bayangan hitam yang makin menonjolkan kepentingan agamisnya. Juga sebuah foto ulama terkenal yang sering nampang di televisi. Ulama itu membuka tangannya dan melebarkan senyum. Orang-orang yang melihat pasti akan langsung tahu mengapa mereka harus menyumbang musala itu, dan apa yang akan mereka dapatkan.

Totok datang belakangan dengan tergesa-gesa. Ia baru saja harus berurusan dengan tiga proposal desain dan empat surat lamaran pekerjaan yang nampaknya belum menghasilkan apa-apa sejauh ini. Para jamaah yang menyadari kedatangannya langsung menepuk pundak pemuda itu bangga dan berterima kasih. Ia dijabat dan dipromosikan sebagai “yang paling canggih”. Totok merendah dan mengatakan desain baliho itu lebih banyak diidekan oleh Fikri dan pemasangannya dibantu banyak pemuda takmir lainnya. Tetap saja ia dikawal bak pahlawan sampai  ke saf magrib.

Lima bulan berlalu dan pembangunan masjid itu sangat progresif. Menjanjikan. Baru saja pagi ini sudah ada kiriman dua puluh lima sak semen kualitas baik dan dua truk besar pasir kasar yang ditumpahkan di sebuah sudut di samping. Haji Badawi nampak merangkap sebagai mandor lokal proyek dan memastikan podium ceramah tidak dipindahkan, mengingatkan para tukang untuk membangun dinding baru mengikuti arah kiblat, dan memastikan mereka menikmati sajian makanan dan minuman ringan yang disediakan kelompok ibu-ibu dusun.

“Mas Totok,” panggilnya ke arah orang yang berdiri di pagar masjid pagi itu. Mereka segera menepi ke dekat sebuah pintu yang belum jadi, menjauh dari orang-orang. Totok sendiri bertanya-tanya dalam hati ada apa gerangan sampai ketua takmir berbicara berbisik-bisik.

“Proyek pembangunan masjid kita kan lancar ini … sumbangan mengalir masuk,” kata Haji Badawi yang nampak wajahnya lebih bersih dan pakaiannya lebih wangi. Tongkatnya masih ia bawa-bawa hanya saja sikap tubuhnya lebih berwibawa. Mungkin ia telah berbicara dengan banyak orang dan menyadari kemampuan negosiasinya banyak terasah bulan-bulan belakangan ini, pikir Totok. Tapi ia tak mau ambil pusing. Ia fokus pada apa yang ingin diungkapkan orang yang dihormatinya itu.

“Alhamdulillah, Pak. Berkat usaha semua.”
Haji Badawi mengangguk mantap. “Tapi, begini, Nak Totok … nanti sore sibuk tidak? Saya mau minta tolong lagi dicetakkan anu … untuk kepentingan musala.”
“Baliho, Pak?”

“Bukan,” sanggah Haji Badawi. Ia seperti menyusun kata-katanya dan dengan mata meyakinkan meneruskan kalimatnya. “Surat, surat permohonan. Ya … semacam proposal begitu. Kita mau mengundang Pak Walikota untuk meresmikan masjid kita ini naninya kalau sudah jadi. Bulan desember kan rencananya. Saya minta tolong Nak Totok bikin proposal dan surat undangan itu.”

Totok mengangguk. Ia memang biasa membuat surat dan proposal, dan mungkin lebih cepat selesai lebih baik daripada menunda yang akan mengakibatkan rutinitasnya mencari pekerjaan terganggu. Proposal dan surat bisa ia ketik di tengah malam jelang tidur dan selesai dalam satu malam.

“Em … kalau bisa, tolong di surat tulis bahwa saat ini investasi masjid kita sudah lancar.”
Totok lagi-lagi terkejut karena baru pertama kalinya ia mendengar ketua takmir itu berbicara terasa sangat akrab dengan kata investasi. Seakan-akan semua proses yang terjadi di dusun itu seperti membangun ruko. Mencari investor dan orang-orang menyanjung setiap penyumbang sebagai donatur, investor.

“Dan … tulis siapa-siapa saja yang menyumbang masjid kita ini. Ini daftarnya untuk dimasukkan.”
Totok langsung memprotes sembari meminta maaf dengan mengatakan bahwa orang-orang yang tertulis di nama itu belum pernah ia dengar sebelumnya. Apalagi meyakini kalau mereka pernah menyumbang sejumlah uang untuk pembangunan masjid.

“Mereka menyumbang langsung lewat saya, sebagian lewat bendahara umum. Sudah tulis saja, kan bagus kalau wali kota nanti meresmikan masjid kita. Sumbangan masa depan akan lebih lancar. Nanti nama masjid juga kemungkinan akan diubah, tergantung nama penyumbang terbanyak. Tapi itu akan diputuskan di rapat bersama dewan takmir dan para investor nantinya. Ya, tolong ya. Nanti kalau sudah jadi taruh saja surat dan proposalnya di rumah saya.” Kemudian ketua takmir itu berlalu.

**

Fikri mengunyah kue dengan lahap tanpa banyak bicara. Di sampingnya terduduk dalam diam Totok Abidin, pemuda ‘canggih’ yang pikirannya tidak keruan. Mereka dilindungi oleh serangkaian tenda yang menuutp Gang Kelinci di dekat jalan inspeksi yang juga mulai macet dijajari kendaraan dinas. Masjid Nukman Aljabbari sudah jadi dengan empat menaranya yang membuat pengunjung terkagum-kagum. Dua warung kelontont persis di depan masjid bahkan merelakan halaman-halaman rumah mereka untuk dijadikan tempat parkir sepeda motor yang dijaga oleh empat pemuda yang menggenggam uang-uang kertas seribuan. 

Dekorasi telah rampung dan para pejabat sudah duduk di kursi-kursi terhormat. Sementara puluhan orang berpakaian klimis dan bersepatu mengkilap duduk di barisan lain yang ditulisi para investor. Ketua Takmir memberi sambutan dan disambut tepuk tangan para jamaah. Saat tiba saatnya wali kota berjalan menuju mimbar dan disoraki dengan kata-kata semacam terima kasih dan maju pilkada lagi, Pak! , ia menciptakan keheningannya sendiri saat berpidato.

Totok berhenti mengunyah. Dalam sambutan itu, ia melihat sang orator beberapa kali menyebut keinginannya maju jadi wali kota lagi dan berkali-kali mengedipkan mata, dan mengangguk kepada Haji Badawi yang langsung membalas. Menyebutkan beberpaa nama investor yang membuat orang saling pandang sangking herannya.

Totok tak tahan mendengar bisik-bisik dari beberapa warga di barisan belakang tempatnya duduk. Ada yang menyinggung soal uang besar, ada yang dianggap asal menuduh ketua takmir ambil untung dari proyek, dan ada yang sekadar meminta mereka semua diam dan menyimak. Totok mengangguk pada akhirnya. Ia lantas tersenyum, karena saat pandangannya ia coba arahkan ke tempat lain, baliho itu berdiri di sana. Dalam hati ia bertanya, ke mana gerangan ulama mentereng yang tangannya terbuka di baliho itu?

 ---------------------------------
Ilustrasi: masjidjamialmujahidin.blogspot.com.

*

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -