- Beranda »
- CERITA PENDEK »
- Sepenggal Cerita Nisa
Ditulis oleh: Unknown
Friday, March 7, 2014
Khairunnisa
berdiri memberi jarak dua kakinya, membiarkan angin meniup semua sisi roknya
yang menutup hingga mata kaki. Dia terkadang menutup mata agak lama, merasakan
bunyi lalu lintas sore di sekeliling yang terkadang lebih sunyi daripada
kegundahan yang meluap-luap di hatinya. Kemudian ia seperti tenggelam saat
memandangi aliran Sungai Code yang di bawah sana mengalir dengan sisa-sisa
pesan dari pegunungan.
Pertigaan ini
adalah kesukaan Khairunnisa. Dengan berdiri menghadap ke barat selama satu jam
di atas tanggul itu ia bisa melihat Jembatan Kleringan yang baru saja rampung
sejak dua tahun terakhir, dengan puncak-puncak pagarnya yang berbentuk bunga
teratai dan dipolesi cat hijau zamrud
berlis kuning emas.
Di waktu sore
sampai tengah malam, perlintasan ini dibumbui puluhan pasang muda-mudi yang
memarkir sepeda motor mereka persis di bahu jalan kemudian bercengkerama
tentang romansa remaja. Di utara, perkampungan Code yang tersohor itu berjajar
masih padat, dengan serambi-serambi rumah semipermanen seperti gardu penjaga
atas aliran air yang tak pernah benar-benar tinggi. Satu-dua lampu kekuningan
sudah menyala di bawah sana, pertanda kehidupan tahap kedua setiap harinya baru
saja dimulai, saat anak-anak kembali lapar setelah seharian bermain-main di
tanggul. Agak ke selatan, desiran halus butir-butir air pecah di udara, terkena
sisa sinar matahari dan menghasilkan rupa mejikuhubiniu,
menyusul semburan keras pemancur pada kolam Tugu Adipura yang tingginya sekira
lima belas meter. Tatkala satu dari enam belas pancuran air itu menyemprot
lebih tinggi dari yang lainnya di puncak tugu, para pengendara sepeda motor di
jalan menikung-dan-menanjak di bawahnya sampai menutup mata dan mengira apakah
hujan benar-benar turun di bulan Juni yang berdebu.
Khairunnisa
melonggarkan lipatan dua lengan di dadanya. Napasnya terasa agak sesak. Bukan
cuma karena sudah hampir setengah jam ia berdiri seperti itu, tapi juga karena
asap polusi dan sisa abu vulkanik yang terbang dari aspal terlalu sering ia
hirup. Maka ia longgarkan posisi kakinya, menyeka jilbab di kepalanya, sampai
akhirnya menyadari bahwa sejak setengah jam itu ia sebenarnya hanya
terbengong-bengong, bukannya memikirkan isi surat yang hampir hancur teremas di
tangan kanannya. Ia angkat lagi kertas merah muda itu ke dekat matanya, mencoba
mengingat apa yang telah dibacanya dari sana, dan menghela napas panjang. Untuk
sesaat lagi ia ingin menikmati lembayung senja dengan sapuan udara dingin yang
mulai turun. Nanti saat mendapatkan jawaban untuk langkah selanjutnya, mungkin
ia akan melempar remasan kertas itu ke air.
Surat itu
tiba saat jamaah isya baru saja bubar dari masjid-masjid. Khairunnisa
mendapatinya tergeletak di depan pintu kamar kosnya, dekat sepatu hak rata warna
coklat. Saat ia ketahui surat itu ditujukan padanya –nampak dari tulisan
namanya yang tertera di bagian depan amplop—ia cepat-cepat masuk kamar dan
menunci pintu dari kamar. Surat itu tertanggal 29 Mei, yang berarti baru saja ditulis ketika diletakkan di depan
pintunya. Dengan rukuh masih dikenakan, ia menjatuhkan badan ke kasur lantainya
dan membaca isi surat itu.
Assalamualaikum, Nisa.
Rasa-rasanya terlalu banyak gengsi
aku, sampai tidak berani mengatakan ini langsung kepadamu. Rasa-rasanya terlalu
angkuh pula, karena aku hanya berani mengatakan ini lewat surat dan bukannya
lewat cara yang lebih beradab.
Nisa, aku minta, andainya kamu tidak
keberatan, jangan terlalu dekat –atau kalau bisa, jangan dekat-dekat Azril
lagi. Aku takut... kamu tahu... aku belum siap untuk semua yang belum bisa aku
ungkapkan. Kiranya kehidupanku dan Azril berjalan biasa-biasa saja, setelah
duka yang kami alami. Teruskan saja hidupmu, dan kami akan teruskan hidup kami.
Dan aku berterima kasih untuk enam minggu kebersamaan yang menyenangkan.
Hormat, Rofik.
Kebersamaan
yang dimaksud Rofik itu sebenarnya tidak persis enam minggu. Akhir Maret waktu
itu, ketika Khairunnisa tak sengaja menginjak kaki seseorang di dalam kerumunan
sebuah Pameran Pendidikan Inggris di Hotel Novotel, pusat kota. Saking sesaknya
ruangan kecil itu siang jam dua belas itu, Khairunnisa tak bisa bernapas dan
harus beberapa kali keluar dari kerumunan untuk sekadar mencari napas segar di
tangga. Dalam usahanya kesekian kali itulah, dia tersandung dan menabrak
seseorang yang baru datang. Laki-laki itu, satu-satuya yang membawa anak kecil
di acara sedemikian gengsi itu, langsung jadi pusat perhatian.
Khairunnisa lalu
meminta maaf karena telah nyaris membuat laki-laki itu jatuh, dan membuat
anaknya nampak takut. Rofik memafkan, dan mereka kemudian terlibat dalam
obrolan asyik soal kampus-kampus di Inggris yang mungkin jadi khayalan atau
kenyataan bagi mereka, sampai hal remeh-temeh tentang sedikit keseharian
mereka.
Azril, anak
Rofik yang masih kelas satu SD, banyak menyimak saja, tapi tak bisa
menyembunyikan rasa senangnya setiap kali diberi permen dan dicubit oleh
Khairunnisa. Mungkin di mata anak itu, perempuan lincah ini mirip sosok orang
yang pernah menyusuinya. Akhirnya begitu saja, Rofik dan Khairunnisa membangun
kontak pelan-pelan setelah itu.
“Ada
risikonya... dekat dengan seorang duda.”
Khairunnisa
mendengarkan peringatan kakak kelas yang juga teman satu indekosnya itu, suatu
Magrib di akhir bulan. Waktu itu, ia dan Rofik mulai sering bertemu untuk
sekadar makan siang dan atau mengingatkan pesan singkat yang lupa terjawab.
“Kamu tahu,
seorang yang pernah beristri sejatinya masih punya sisa kehidupan dari masa
lalunya. Apalagi, Mas Rofik anaknya masih kecil. Mungkin...,” ujar kakak
kelasnya yang dituakan itu, “dia ramah karena masih bersedih, dan merasa kamu
mungkin klop dengan anaknya. Belum tentu, ia benar-benar mencari seseorang.
Tiga bulan itu waktu berkabung yang masih singkat, ketenangan hati dan pikiran
seorang lelaki biasanya butuh waktu pendek, tapi ini tidak berlaku buat semua
lelaki juga. Jadi, kamu tetap harus jaga jarak.”
“Tapi Mas
Rofik sama sekali tidak ada niat untuk dekati aku, Kak.”
“Mungkin
memang dia belum tertarik. Terus... kenapa dia ajak-ajak kamu makan siang
segala sampai berapa kali tu... enam?”
“Lima kali.”
“Itu lima
kali saja sudah terbilang sering. Nisa, kamu itu masih ada tugas belajar di
kampus. Kakak tidak ragukan kecantikanmu, sikap lembutmu, penyayang sama
anak-anak, lelaki normal –apalagi yang dewasa- pasti akan mengidolakan
perempuan saleh seperti kamu.”
“Mas Rofik...
dia baik sebagai teman. Saya jarang ketemu laki-laki yang menunjukkan
persahabatan yang berjarak –tapi akrab seperti yang ditunjukkan Mas Rofik.”
“Itu bentuk
kebingungan laki-laki.”
“Mungkin,
tapi... apakah saya harus putuskan silaturahim begitu saja?”
“Itu terserah
kamu, Dik. Tegaslah mengambil keputusan.”
Tapi
keputusan yang dibilang tegas itu tak pernah benar-benar tiba. Khairunnisa di
minggu-minggu berikutnya malah terlibat makin dekat dengan Rofik dan anaknya.
Meski naluri kewanitaannya yang luhur masih menjaga untuk tidak bersentuhan
atau berboncengan atau... saling tatap terlalu lama, ia mulai merasa
kedekatannya nyaman sebagai teman yang mengerti fungsi hubungan sosial yang
syaratnya jelas dan tidak rumit.
“Orang
bertemu, berkaitan, dan menikah. Mungkin, setiap manusia perlu tahu bagaimana
prosesnya dipertemukan oleh takdir.”
Rofik seperti
menggumam sendiri suatu sore di kafe ayam goreng tepung tempat mereka bertiga
duduk satu meja.
“Kamu tidak
malu, Nisa?” Rofik tiba-tiba bertanya.
“Malu kenapa
Mas?”
Rofik tidak
membalas dengan kata-kata, melainkan memancing perempuan itu untuk menyadari
sekeliling. Dari semua meja di kafe makan itu, hanya meja mereka yang diisi
bertiga bak keluarga. Yang lain ada yang berdua pasangan, ada yang berempat
atau berenam rombongan sambil tertawa cuek, bahkan ada yang sendirian dengan
airmuka agak canggung dan terganggu.
“Oh...
sebenarnya. Rada aneh juga sih. Saya
seperti...”
“Hm....”
“Tapi jangan
khawatir, Mas. Aku dan Hafidz kan kayak kakak adik, jadi...”
“Sungguh?”
Jawaban
Khairunnisa berhenti di situ.
Bahkan sampai
beberapa hari setelah sajian makan sore itu, Khairunnisa masih menikmati
kebahagiaannya yang misterius. Separuh isi pikiran menggugat keyakinannya soal
seberapa dekat batas yang ia pilih untuk hubungan visual laki-laki dan
perempuan. Tapi bagian pikirannya yang lain menyuruhnya menunggu perintah atau
permintaan yang jelas dari seorang laki-laki dewasa. Untuk selebihnya, ia
merasa naluri keibuannya dilatih begitu saja. Azril anak lucu yang tidak
terbantahkan.
Tapi setelah
surat itu tiba di genggamannya, ia jadi tahu jawabannya.
Sebenarnya ia
sudah sering membaca dan mendengar kisah-kisah perempuan yang terjebak dalam
sisi perasaan yang terasah tapi harus berhenti karena ingatan soal siapa diri
dan di mana posisinya. Meski begitu ia menikmati saja banyak momen di
minggu-minggu belakangan ini. Baginya, Rofik adalah profil laki-laki
menyenangkan, terlepas dari bagaimana akhirnya ia mengambil keputusan penting
itu. Mungkin juga, ia tak cukup berani untuk menabrak aturan umum dan mendesak
perasaannya lebih jauh.
Ia lemparkan
tangan kanannya ke belakang, dengan harapan kertas di genggaman itu bisa
terlempar lebih jauh ke depan sana, kemudian hanyut oleh aliran air Code sampai
ke Laut Selatan. Tapi ia urungkan niat itu. Kertas itu ia buka kembali, kemudian
ia remas, dan masukkan ke saku kardigannya. Ia melompat turun dari tanggul
dengan dua kaki mendarat bersamaan. Kemudian tanpa ia sangka, sebuah sepeda
motor yang ia kenali melintas.
“Kak
Nisaaaaa...!” suara teriakan kecil itu. Azril menjauh dibawa laju sepeda motor
ke tengah keramaian.
Khairunnisa
tersenyum tanpa suara. Seiring senja yang menarik diri di ufuk sana.
Tentang Penulis
Nisaa.. lama-lama juga bisa..
ReplyDeleteeh wordpressmu nggak pernah update cerita Mas?