Ditulis oleh: Unknown Thursday, March 6, 2014



Selama 2011 sampai 2012 sebenarnya saya sudah menyusun dua naskah panjang fiksi, novel --kamu bisa menyebutnya. Tapi setelah bergelutan mengirim-dan menunggu lewat dua penerbit mayor (maksudnya, benar-benar besar) naskah-naskah itu gagal dimuat jadi buku. Sejak itu, proses kepenulisan fiksi saya berhenti sementara pada naskah panjang.

Sepanjang 2013 bisa dibilang saya fokus menggarap naskah-naskah cerita pendek, lewat blog kompasiana.com/afsee. Dan alhamdulillah, tidak ada rintangan  berarti (kalau tantangannya, banyak!). Mengapa saya memutuskan fokus menyusun naskah-naskah cerpen ketimbang naskah panjang bentuk novel? Ada banyak pertimbangan teknis dan nonteknis, sebenarnya.

Meskipun insiden 'ditolak penerbit' rasa-rasanya agak traumatis juga, tapi bukan itu jadi alasan utama saya untuk berhenti sejenak menyusun naskah panjang. Begini.

Bentuk-bentuk fiksi pendek (cerpen, cermin, cerlat --cerita kilat/flashfiction) punya tingkat kesukaran sendiri yang, dalam pemikiran saya, sama sulitnya dengan mekanisme penyusunan naskah panjang. Tentu saja unsur-unsur penyusunnya seperti tema, alur, penokohan, latar, dan konflik semuanya harus ada, setidak-tidaknya tiga dari mereka. Tapi, dalam proses tulisnya, naskah cerpen menantang penulis untuk memikirkan lebih banyak penyelesaian cerita, ketimbang alur perkembangannya.

Cerpen melatih penulis untuk berpikir cepat dan cermat, tentu saja ini karena membaca cerpen hanya memberi waktu singkat (apalagi yang ditayangkan online di mana menurut survei, pembaca hanya bisa fokus di 5 (lima) menit pertama pembacaan, dan selebihnya lompat-lompat).

Cerpen melatih penulis untuk memadatkan cerita sedemikian rupa, berasal dari unsur-unsur dan hasil imajinasi yang bisa jadi lebih panjang, dan lebih kompleks. Berbeda dengan cerbung yang memungkinkan penulis menyajikan kelengkapan unsur cerita secara lebih utuh, cerpen hanya menyediakan maksimal 10 halaman MWord, atau sekira 10.000 karakter non-spasi sebagaimana prasyarat tayangan majalah/koran. Bukankah ini menantang?

Saya sedang banyak mengikuti tulisan-tulisan cerpen di laman The New Yorker. Pengalaman sejauh ini mengajarkan bahwa sebetulnya, cerpen-cerpen di media dalam negeri kita sebagiannya terlalu memuja 'akhir yang mengejutkan', sehingga banyak penulis --termasuk saya sendiri-- mati-matian menyusun ide singkat ini supaya paling tidak, cerpen menyajikan kejutan yang memuaskan pembaca.

Di "luar sana" tak terkecuali The New Yorker, cerpen-cerpen yang menarik tidak selalu berakhir mengejutkan khas cerita detektif atau tragis dalam roman-roman pendek. Cerita pendek mengalir begitu saja, berkisah keseharian seseorang, lingkungan latar yang digambarkan sangat detil sehingga menyajikan latar budaya, dan akhirannya yang di satu sisi biasa-biasa saja, tapi cukup membuat pembaca tersenyum.

Alice Munro (82), penulis Kanada sang penerima anugerah Novel Sastra 2013 itu, pun sama. Cerpen-cerpennya singkat, berlatar kisah keluarga, tokohnya kebanyakan anak perempuan, dan sangat dekat. Tidak banyak kejutan di akhir dan penuturannya sangat bersahaja.

Sudah cukup di situ. Paling tidak, sudah bisa disepakati bahwa menyusun cerpen itu bisa jadi rumit juga, bukan?

Novel, sebagaimana langgamnya gaya bertutur abad pertengahan sampai abad kesembilan belas, cenderung mengamini gaya bertutur seperti ini. Sederhana, tidak terburu-buru, dan akhirannya sangat klasik -- banyak yang cenderung mudah ditebak. Mungkin akan sulit menerima standar penulisan novel-novel modern era Stephen King atau John Grisham yang rumit dan penuh pemaparan teknis. Intinya, naskah panjang tentunya butuh pemikiran yang lebih banyak dan bahkan berlapis. Akan tetapi, seperti yang saya bilang di atas, bisa jadi tidak mendiskreditkan penyusunan cerpen yang sebagian orang anggap "Ah, lebih gampanglah!"

Jadi, ihwal memilih menulis cerita pendek atau cerita panjang, menurut saya tergantung minat terhadap proses saja. Saya sedang dalam tahap menikmati proses pembelajaran alur dan latar yang tidak "biasa-biasa saja", sehingga rasanya masih cukup berkecimpung di jenis naskah cerpen ketimbang novel yang akan menyita banyak stamina. Daripada menyusun naskah-naskah panjang yang ceritanya biasa-biasa saja atau mengambang tidak tertuntaskan, saya memilih menyelesaikan pemahaman saya terhadap teknis-teknis kepenulisan yang baik dalam sajian cerita-cerita paling sederhana, dan mudah mendatangkan masukan pembaca.

Masih banyak bahasan soal ini, tapi saya harus ke acara "arisan" dulu. :D

*

1 Komentar
Tweet
Komentar FB

1 komentar | Baca dan Tambahkan komentar

  1. Says setuju sama artikel ini. Bikin cerpen apalagi flash fiction itu tidak gampang meski biking novel pun juga ga mudah. Masing2 punya tantangan sendiri.
    Says sendiri lebih suka nulis cerpen karena novel lebih membutuhkan nafas panjang Dan konsistensi juga mood yang bagus biar ga jenuh Dan cepet kelar he he.
    Sedangkan cerpen bisa selesai dalam satu jam karena idenya ada di sekitar Dan saya juga bukan pemuja ending mengejutkan. Lebih suka cerita hari2 saja a la emak2.
    Nice article mas....

    ReplyDelete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -