Ditulis oleh: Unknown Friday, November 8, 2013



*

Hari Kamis, waktu yang selalu panas di Gang Kamboja. Pikir-pikir di kepala Megi, mungkin ia tidak akan sempat menghadiri acara ulang tahun temannya. Sinar matahari yang terlalu panas mungkin akan melunturkan keteguhan hatinya sampai ke tanah. Bukan apa-apa, dia cuma tidak percaya diri. Pikir-pikirnya terlalu banyak berputar pada "apa aku akan nyambung tidak ya dengan obrolan mereka?" dan "apakah nanti si Baron datang tidak ya ke situ? Kan malu."

Tapi ada satu kegalauan yang paling sering mampir di kepala Megi. Di situ di bawah jendelanya, ia bercermin. Pecahan cermin berbentuk segi banyak itu sudah lama terduduk di pinggiran kusen. Ibunya bahkan sudah beberapa kali menegur kalau-kalau ia bisa tersayat pinggiran tajam atau cerminnya jatuh ke kasur yang terhampar tepat di bawahnya, pas saat ia tidur siang. Tapi Megi punya alasan lain untuk itu: "Kalau seseorang masuk lewat jendela, kakinya bisa putus!" Kalau sudah begitu ibunya diam dan berlalu menelan kekalahan. Tapi sumber kegalauan Megi bukanlah cermin. Bukan. Cermin itu sudah ada di sana saat ia menduduki kamar itu pertama kali. Kegalauannya adalah soal benda lain yang ada di kasurnya: telepon genggam.
Ia tatap telepon genggamnya lama-lama, memiringkan kepala --yang membuatnya mengukur keberuntungan entah pakai batasan apa--, kemudian menggeleng cepat. Ia tidak ingat, kenapa ia bisa begitu.

Dulunya Megi orang yang cuek. Cuek sekali, bahkan. Ia tidak pernah memperhatikan dandanannya. Ia tak pernah membawa rambutnya untuk dipotong di seorang profesional. Hitung-hitungan hariannya cuma habis paling-paling sampai sandal yang putus, potongan tempe hasil umpan mancing yang bisa dihibahkan ke ibu untuk makan malam, dan atau anak laki-laki mana lagi yang tadi sore lari pulang sambil menangis kemudian melaporkan asbab benjol yang dialaminya di kepala dan kaki. Bagi Megi dandanan adalah kungkungan. Wajahnya berat saat dipaksa memakai bedak. Badannya pegal-pegal kalau harus membawa tas-tas plastik atau barang-barant tidak penting lainnya. Singkat kata, ia pejalan kaki telanjang. Ke mana-mana tak ingin susah.

Tapi sifat cuek  itu tidak lantas menjauhkan Megi dari orang-orang. Ia akrab dengan banyak anak, dengan sekelompok mahasiswa, bahkan dengan kepala desa. Ia jarang merasa... kalau pembawaannya yang ceria dan tidak pernah melihat masalah malah disenangi orang-orang. Mungkin teman-teman sebaya kecilnya memang belum melihat  masalah itu apa, dan orang-orang dewasa itu merasa senang jika satu-dua jam saja bisa melupakan masalah-masalah hidup mereka pas bercanda bersama Megi di warung makan. Jadi begitulah, Megi kenyang banyak di jalan-jalan dan bukan di rumahnya. Ia tak pernah merasa hilang walaupun tidak membawa bekal apa-apa. 
Sifat cuek Megi mulai luntur saat usianya masuk sebelas. Di lingkungannya yang bertingkat-tingkat, ia melihat banyak jenis orang, berupa macam anak. Dan di pikirannya, ia paling tidak bisa kalau harus bergaul dekat dengan anak orang kaya, anak orang berpunya. Ia bukannya iri, hanya merasa "bagaimana begitu", melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial yang dikatanya "seperti berpura-pura."


Pikiran-pikiran tahun-tahun lalu itu masih membayangi Megi. Sama seperti hari ini, ketika ia harus memaksakan dandanannya lebih rapi, lebih wangi, dan gaya bicaranya lebih sempurna untuk bertemu sekelompok teman dari kalangan atas. Setelah turun dari motor seorang mahasiswa yang rela mengantarnya dengan imbalan dicomblangi dengan tetangga nantinya, Ia masuk ke rumah itu bahkan harus melepas sandal dan kemudian ditegur  dan kembali memakai alas kakinya itu. Rumah itu dua tingkat dengan balkon dalam yang ditopang tangga berputar. Khas rumah-rumah "istana idaman" yang dibangun pengusaha kelas menengah yang ingin diakui sebagai kelas tinggi. Teman yang mengundang, Siska, penampilannya coba sedikit mengimbangi. Hanya kemeja lengan panjang kasual yang lengannya digulung sampai siku, dipadu jins biru yang lebih nampak putih dan dengan tas kecil yang menggantung di pundak. Megi agak heran juga kenapa tas dibawa-bawa dalam rumah begitu.


"Ini hape, Megi. Aduh ya Alloh, kamu kayak enggak punya hape aja." Siska memukul paha Megi sedikit genit. 
Teman satu ini, dalam pengamatan Megi beberapa bulan terakhir, agak-agaknya memiliki kelainan jiwa. Lebih suka gaya tomboi sepertinya ketimbang gaya putri princess seperti kebanyakan anak orang kelas atas palsu. Megi tersenyum kambing, mengangguk hormat kemudian menyambar dua tahu markodel yang bertepung tebal, dikunyahnya sampai habis. 
"Aku enggak simpan hape di tas. Di saku sini," balas Megi sambil menepuk sisi pinggul kirinya yang menonjol berbentuk kotak.
Mendengar itu Siska mengangguk, seperti tahu atau sok tahu. Kemudian perbincangan mereka ke sana- ke mari sampai tamu akhirnya mulai sepi. Siska beberapa kali harus pamit dari kursi itu karena melayani teman-teman tamu yang lain dan atau menemui satu-dua keluarga yang membawa anak laki-laki mereka dengan maksud sangat agresif yang, Siska tidak suka.

Siska baru berteman dekat dengan Megi satu atau dua tahun terakhir. Megi sendiri lupa. Pertemuan itu terjadi saat seorang anak perempuan turun dari mobil mewahnya dan berakhir dengan muka cemberut di tengah kantor kelurahan. Merasa tidak disambut apa-apa --memang hanya ada dua petugas berseragam PNS di situ: satunya sibuk dengan mesin ketik sementara lainnya khusyuk memasukkan bulir-bulir mi ayam ke mulutnya. Memang jam sebelas waktu itu, jam makan siang yang dimajukan satu jam seperti biasa, meski berakhir satu jam lebih lama dari waktu seharusnya. Kantor Kelurahan Deresan Caturtunggal tidak pernah ramai kecuali saat persiapa Posyandu dan atau pilkades-pilkada. 
Hari-hari senggang begini, Siska melipat dua lengannya di depan dada dan mulai menelepon orang di dalam mobil, menyuruhnya ikut campur.
Barulah saat seorang berbadan kekar dan berkaca mata hitam masuk dengan tok tok bunyi sol sepatu ke tegel putih kusam itu, kedua PNS mengangkat muka, mengangguk hormat bercampur centil. Siska menyampaikan maksudnya bahwa akan mengurus KTP, dan harus cepat karena pertama ia harus segera membawa KTP-nya yang jadi itu ke Polres dalam waktu dua hari untuk penerbitan SIM mobil, dan kedua karena warga di situ seharusnya kenal siapa ayahnya. Pengawal berkaca matanya berdeham, dan seperti tersambar petir kedua PNS saling tukar kertas dan berkas, menjatuhkan pulpen sampai kikuk luar biasa. Walhasil, pengurusan itu kelar dalam sepuluh menit saja. Angka ukuran umur minimal disamarkan sedemikian rupa.
Sekeluarnya dari Kantor Kelurahan, Siska tersandung sesuatu dan nyaris terjatuh. Saat akan mencari tahu apa yang menyandungnya, kepalanya sudah langsung pusing dan pandangannya gelap. Sesaat sebelumnya ia melihat sebuah benda bulat meluncur dan melambung ke arahnya, sebelum akhirnya kedua matanya pegal luar biasa, seperti dipukul keras ke dalam. Ia terjatuh di lengan raksasa si pengawal.
"Woi!, Siapa itu?" kata si Pengawal ke arah lapangan di samping kantor. Itu lapangan voli yang dipakai untuk main olahraga apa saja --terkadang untuk ajang berkelahi.
"Saya, Pak. Saya, Pak!" kata seorang anak laki-laki kecil berlari ke arah dua orang tamu kantor itu. Setelah memperkenalkan diri sebagai Megi, anak ini tertawa cekikikan melihat muka terkejut dua orang di depannya, terlebih anak cewek rapi yang masih kesakitan memegang dahinya.

"Oh! Jadi kamu cewek to!" kata si pengawal. "Ayo  cepat, minta maaf ke Mbak Siska."
"Maaf, Siska."
"Mbak, Mbak Siska, panggilnya yang hormat tho," ujar Siska dengan air muka masih masam. "Kan kamu yang salah." 
"Lo, memangnya kamu sudah ada suami? Sudah tua?"
"Beluuumm...!"
"Kalau begitu jangan mau dipanggil Mbak. Non saja, tapi itu kalau kamu orang Jakarta."
"Aku orang Jawa."
"Ya sudah. Jangan mau. Aku minta maaf, Siska. Kalau mau, aku bayar kesakitanmu itu dengan traktir makan nasi telur, di warung itu." Megi, berani-beraninya, menawarkan anak orang kaya itu makan nasi telur. 
Setelah berpikir lama dan saling pandang dengan pengawalnya, Siska menerima tawaran itu. Pun, karena pengawalnya yang lebih lapar dari mereka berdua. Dua piring porsi sayur dengan telur dadar habis bersama dua jus suplemen yang disusui. Siska memutuskan berteman dengan Megi sejak itu, apalagi sejak tahu kalau traktiran nasi telur tidak sedikitpun dibayar oleh Megi. Dasar, anak itu berhutang sana-sini.

Di rumah Siska sore itu, tiba-tiba datang Rustam, si pengawal yang kini sudah ditumbuhi jenggot belepotan di dagunya. Ia pernah bilang kalau itu terinspirasi sebuah film bajak laut yang keren. Keren apanya, pikir Megi. Malah mirip penjaga Merapi. 
Rustam datang membawakan telepon genggam majikan mudanya. Siska mengambil telepon genggam itu dan langsung memperlihatkan sesuatu kepada Megi yang kekenyangan. Praktis di jelang malam ini tamu-tamunya sudah pulang. Memang mereka merasa tidak akan kenyang di tempat ini --karena makanannya cuma sedikit dan mereka tidak bisa makan dengan cara kampung yang bisa menggasak apa saja sampai ke dalam perut dan saku-saku tas yang sengaja dikosongkan. Nampaknya keluarga Siska paham tabiat orang kampung yang ditakutkan rakus dan oportunis.

Megi melihat layar telepon genggam itu kemudian tercengang. "Wow! Itu kamu?"
Siska mengangguk. Pun di belakangnya tersenyam-senyum si Rustam dengan malu. Ditegur untuk jangan mengintip, pengawal itu kikuk setengah mati, nampak bodoh di balik otot-ototnya yang ditutup seragam safari hitam.

"Aplikasi edit foto, Gi. Aku masukin fotoku, potong sedikit, terus program ini olah jadi karikatur lucu. Ada banyak pilihan gaya dan pakaiannya. Nah, aku pilih yang ini barusan. Bagus enggak?"

Tapi Megi menggeleng-geleng. "Seksi...," jawabnya yang tidak nyambung sama sekali dengan pertanyaan.
"Memang seksi. Ini kan cuma kartun. Lagipula cuma kepalaku yang asli, yang lainnya kan bikinan komputer."
"Ya tapi tetap saja. Memangya kamu mau jadi bayang-bayang di kepala laki-laki berpakaian begitu aslinya? Lagipula, ini sama bentuk badanmu yang asli tidak jauh bedanya. Cocok di sini karena memang kepala kamu bisa dipakaikan bentuk badan beginian. Pakai baju renang begini aduh. Ini syur, Siska. Syur!"
"Syur...." Rustam menambahi, tanpa sadar..
"Rustam!"
Pengawal itu berlalu keluar.
"Bagus sih, Sisk. Cuma tidak cocok sama aku," ujar Megi tersenyum. Biar bagaimanapun ia harus menyenangkan temannya. Semua kepalsuan busana yang ia sendiri kenakan sekarang perlahan-lahan mulai terasa ringan. Kalau dengan Siska, ia bisa jadi sendiri. Toh, temannya yang satu ini bisa menerima pendapat apapun, termasuk yang pahit. Apalah, namanya juga minta pendapat, Megi tidak akan segan-segan berbicara apa adanya pendapat dirinya.

"Memang sih, ayahku juga marah waktu lihat ini. Makanya aku juga tidak suka kalau Rustam yang lihat, Ha ha ha...."
"Kita bukan anak-anak lagi, Siska."
"Ya, aku tahu. Berapa sih kamu, Tiga belas ya?"
"Iya, dan kamu sudah tujuh belas. Sudah boleh nonton film syur!" Megi kemudian tertawa.
"Hus! Ya pernah sih...." Siska ikut ketawa, bahkan lebih lepas.

Perbincangan mereka kembali menggeliat ke sana-ke mari. Megi mencoba aplikasi itu beberapa kali dengan foto Siska, melihat beberapa pose kartun badan sampai kaki yang seksi, bahkan melihat potret-potret laki-laki berotot perut kencang sambil menelan ludah, ternganga melihat muka senyum-senyum sahabatnya. Mereka pindah dari ruang tamu ke kamar, ke beranda lantai dua di samping, samping kolam renang, cuma untuk melihat-lihat kartun itu. Megi terbawa suasana juga akhirnya. Pendapat kontranya beberapa saat lalu melayang entah ke mana.

"Aku antar pulang, Megi," kata Siska saat masuk waktu Magrib. Mereka berdua terbaring di sofa setelah menghabiskan dua mangkuk sup buah yang lebih banyak nangkanya.
"Memang harus. Aku capek makan ini, dan capek lihat gambar-gambarmu itu. Ya Allah, untungnya hape-ku masih kalkulator begini."
Megi mengeluarkan telepon genggamnya  yang memang lebih mirip kalkulator. Katanya itu hadiah dari sebuah produk makanan ringan, tak seorangpun percaya.
"Iya kamu pakai itu dulu aja, nanti kalau sudah akhir masa puber baru boleh pakai yang begini-beginian."
"Hehehh.... Aku emoh ah kalau diedit-edit fotonya jadi gambar syur begitu. Saru."
"Iya jangan. Lagian siapa yang mau lihat gambarmu...."
"Ih sembarangan, aku punya cowok tahu!"
"Mas Yoga yang ngojekin tiap hari itu? Ha ha ha...."
"Atau Baron yang selalu ngajak kamu berantem mesra itu?"
"Sembarangan. Aku punya cowok," Megi menerawang ke langit-langit. "di dalam bayanganku. Mungkin, di dalam diriku. Ha ha ha...."
"Ngawur!"

----------------------------------
Ilustrasi: freepik.com.

*

6 Komentar
Tweet
Komentar FB

6 comments | Baca dan Komentari

  1. hahaha,,jadi ingat aplikasi karikatur kemarin..
    sempat nyoba2 tema2 sexy juga,hahaha,mirip di ceritamu,wkwkk
    suka critamu yg ini, lucu,hehehe

    ReplyDelete
  2. kemarin? Yang mana ya...?
    wkwkwk....

    ReplyDelete
  3. Giiiii... Megiiiii..... sekolah sama saya dulu! Baru boleh pakai hape begituan!!

    kekekekekeeee..

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Meliy

      huahahahaha.. Megi Meliy.... yo sekelas kayaknya...

      Delete
    2. Iyoo.. gurune Mas Fandi..

      Megi murid baru duduk di sebelahku. Dia nglihatin gurunya terus. Terus kutegur. Langsung kutimpuk kepalanya pakai buku. "Brughgggg!"

      "Megi!!!!!!!!! Jangan lihatin gurunya mulu dong! Nih kerjain buku!!!"

      Kesempatan bully anak baru. Ceritanya aku badung.

      *Malah bikin cerita baru aku nihhhh

      Delete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -