Ditulis oleh: Unknown Sunday, September 22, 2013

Anak itu berhenti di bawah sebuah tembok. Tembok itu setinggi dua kali tinggi badannya, kira-kira sedikit melewati tinggi pohon pepaya yang sudah berbuah. Anak itu membenarkan tali tas yang menekan pundaknya, mendongakkan kepala dan membaca tulisan bercoret cat tembok. Ia memiringkan kepalanya, berusaha mengerti apa rupa bentuk bacaan yang dilihatnya itu: meliuk, runcing di mana-mana dan penuh warna semprotan yang keperakan.


"Rantau Sesat", bacanya pada akhirnya. Ia paham pernah beberapa kali membaca tulisan serupa lekuk runcing dan berwarna-warni itu tapi tak semua yang bisa dibacanya. Tapi yang satu ini kiranya tak terlalu sulit.

"Itu artinya tidak semua orang tahu cara merantau," terdengar perkataan seseorang dari arah belakang. Anak itu menoleh dan mendapati orang ini sudah tersenyum padanya, menghadap tembok yang sama.

Anak itu tersenyum, belum berani membalas.

"Dari mana dek?" tanya orang di samping itu.
"Mamasa," jawab anak itu.
"Di mana itu?"
"Sulawesi Barat, iye'. Setengah hari dari Makassar naik mobil."
"O," orang itu mengangguk saja sehingga kembali keheningan membawa angin menyapu tembok itu sampai puncak gedung.

"Kau tahu, tidak semua orang tahu cara merantau," ujar orang itu pada akhirnya.
"Cara merantau? Apa ada cara merantau?"
Orang itu tersenyum. "Tentu saja, itu tentang bagaimana kau memahami tempat yang kau tuju."
"Maksudnya?"
"Orang-orang berdatangan ke kota ini, membawa koper-koper mereka dan menjajal kamera-kamera mereka. Dari ratusan ribu orang yang mendarat di sini setiap hari, aku tidak yakin bahkan setengah dari mereka tahu apa yang benar-benar mereka cari di sini. Apa yang kota ini benar-benar punya untuk kehidupan mereka."

Anak itu mulai berpikir orang di sampingnya mungkin sedang stres. Atau bahkan orang gila. Bicaranya terlalu tinggi dan tak setepipun ia mengerti arahnya. Dari bahasanya, mungkin orang ini seorang dosen, setidak-tidaknya guru. Bajunya kemeja yang sudah tua dan nampaknya rutin dipakai. Celananya khaki dan sepatunya disemir teratur meski ditempeli debu di mana-mana. Sorot matanya tajam meski kelopaknya kecil. Dalam posisi wajah yang agak ditundukkan guna menyeimbangkan posisi matanya menembus bagian atas bingkai kacamata sempit yang bertengger begitu saja di hidungnya, orang ini benar-benar nampak bosan dengan rutinitas yang begitu-begitu saja.

"Saya tidak mengerti, Pak."
Pertanyaan itu tidak sempat terjawab, karena orang itu sudah tidak di sana. Anak itu melihat sekeliling, melihat ke arah pintu-pintu yang tertutup di kejauhan, dan mengintip di sela-sela lalu lintas jalan sempit di belakangnya.  

**

Anak itu membuka pintu dan mengira ia akan mendapatkan sesuatu yang bagus di hari pertama kuliahnya. Tiga puluhan mahasiswa menyertainya di ruangan yang dingin secara tidak relevan itu --karena hari musim hujan dan semua AC menyala di suhu rendah. 

"Tugas pertama kalian adalah menjelaskan mengapa kalian datang ke kota ini," ujar dosen pembuka.

Anak itu terkejut karena dosen itu ternyata adalah orang yang beberapa hari yang lalu menyapanya di tepian selokan.

"Kalian harus tahu, merantau ke kota ini ada tujuannya, dan kalian harus temukan itu. Kalau tidak, lebih baik kalian tinggalkan kota ini."

"Mengapa harus begitu, Pak? Kami sudah membayar mahal-mahal untuk belajar di sini, untuk tinggal di kota ini," protes seorang mahasiswi.
"Iya! Dan saya kira itu adalah pilihan kami, Pak," tambah mahasiswa lainnya. Banyak mahasiswa lain diam saja karena mungkin terlalu abai, malu-malu, atau mungkin bukan perantau dari mana-mana. Hanya sekelompok muda yang mencari suasana baru di bagian kota yang tak pernah berubah.

"Memang benar," balas dosen itu. "Kalian semua kemari sebagai perantau atas pilihan sendiri. Mungkin  beberapa dari kalian dibiayai oleh orang tua yang begitu giat dan menggadaikan macam-macam barang. Atau oleh beasiswa yang persyaratannya akan mengekang kalian sepanjang masa dewasa kalian nanti. Tapi ketahuilah, ada banyak hal di kota ini yang akan memaksa kalian pulang nanti. Kalian harus tahu, apa yang benar-benar kalian ingin temukan di sini.

Di pojok belakang, anak itu menggenggam tangannya. Pikirannya melayang jauh ke belakang, di masa kanak-kanaknya. Ia mengingat masa remajanya yang penuh kegamangan karena bahkan untuk bergaul ia harus menahan diri yang tegang di depan cermin. Anak itu berpikir perkataaan bapak ini ada benarnya. Ia sendiri belum tahu, apa yang ia lakukan di kota itu.

**

"Kau kuliah sajalah, jangan bekerja. Apalagi Malaysia itu jauh. Tidak ada potongan kau jadi perantau seperti paman dan  bibimu. Cari yang pasti-pasti sajalah, pergi saja ke Semarang. Itu tidak terlalu jauh dan kau bisa pulang kapanpun di akhir bulan."
"Tapi merantau itu mencari kehidupan, Pak," ibu mengambil pihak berseberangan. Duduk di sisi anaknya, berhadapan dengan suaminya sendiri. "Seperti Tuan Kirman, sekarang dia sudah haji, bangun rumah. Bikin peternakan, saya kira Adri juga bisa seperti mereka. Anak ini kemauannya besar. Apa kita mau bengkokkan cita-citanya begitu?"
"Tidak, Semarang saja."

Anak itu tidak bisa apa-apa. Ia memang tak pernah bisa mengambil pendapat di tengah-tengah kekuatan didikan seperti itu. Maka ia membiarkan saja ibu dan bapaknya bersilang pendapat sampai sore, sementara ia kembali ke kamarnya dan menatap foto Merlion dalam-dalam.


2 Komentar
Tweet
Komentar FB

2 comments | Baca dan Komentari

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -