Ditulis oleh: Unknown Wednesday, April 2, 2014

*

Bukan. Bukan karena dikotomi minat saya yang menaruh bentuk karya seni dan politik dalam dua ruang yang berbeda. Di era Blogspot dan media warga di mana setiap orang berhak menayangkan konten (disesuaikan) apa saja, tidak ada batasan tertentu yang berhak memisahkan tema karya seni ini harus ini, atau tema karya seni ini tidak boleh itu.

Kegamangan saya semata-mata subjektif, dan terngiang-ngiang berhari-hari begini: apa sih yang beda dengan cerpen tema politik? Dibandingkan dengan (sebut saja) tema humaniora yang akrab, tema romantisme yang mendayu-dayu, atau tema kriminal yang mengguncang jiwa. Politik... tidak... saya belum klop saja menemukan keasyikan saat membaca cerpen... tapi temanya "keras" dan "penuh tipu daya" seperti politik.

Oke, mungkin ini terkesan metaforis. Biar tidak terlalu melebar dan menyinggung ideologi seni yang luhur itu (politik di banyak studi juga digolongkan seni), saya coba batasi saja pada pengertian cerpen dengan tema kesan politik. Dalam hal ini, bolehlah kita coba-coba membayangkan kata-kata yang sering dijumpai dalam apa yang saya sebut "cerpenisasi politik":

tikus, tikus kantor, tikus berdasi, kursi, suara, dagang sapi, korupsi (tidak..., kata ini masuknya kriminalitas --politik sering kali diafiliasikan saja sebagai 'alat' untuk melakukannya)

Kemudian, tiba-tiba suatu hari saya, atau kamu, mendapati cerpen online yang judulnya (misalnya) "Tikus Berdasi Andalan". Berat rasanya untuk mengeklik. Pertama, karena hampir pasti yang dibahas adalah intrik politik; kedua, biasanya cerpen-cerpen begini hanya bermain di metafora, perandaian, cerminan (refleksi), dan tidak ada esensi.

Maksudnya, hei... 'tikus berdasi', apakah frasa ini terafiliasi pada bidang selain politik? Jelas tidak kan.

Bagi saya, munculnya cerpen-cerpen metaforis yang menggambarkan ironi kehidupan politik kita yang belum dewasa hanya berujung pada komentar "O... ya memang betul. Memang seperti itulah kita." Padahal, cerpen sebagai bentuk kekuatan seni tulis punya tugas untuk memberitahu, mengingatkan, bahkan menggugah. Sayangnya, deskripsi dalam cerpen politik sering kali harus terkungkung pada kursi, tikus, uang kertas, dan dasi saja. 

Cerpenisasi politik jika tidak digali dengan orisinalitas pemikiran, hanya akan menyajikan realita pahit kehidupan sebatas yang dipahami pembaca sebagai kebenaran umum. Sama halnya dengan tulisan cerpen tema bencana (ini sering saya temukan juga), pembaca tahu intinya adalah empati dan simpati. 
Pesawat jatuh pada Minggu pagi kemudian Senin sorenya dicerpenkan. Tebak saja..., deskripsi dan alurnya tidak akan jauh-jauh dari apa yang terjadi di tempat kejadian. Padahal, ekses dari keberadaan cerpen seperti itu juga akan mengganggu bagi sebagian orang yang pernalaran simpatinya sedikit lebih peka ketimbang penulis.

Meski mungkin agak jauh, saya teringat kalimat budayawan Radhar Panca Dahana dalam bukunya Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia (2001, Yayasan Indonesiatera).

Dalam buku itu disebutkan: 
Seni modern di Indonesia (dalam arti yang non-tradisional) telah lama mengalami pasang-surut terhadap lingkungan politiknya sendiri (negara). Ada masa manis sendiri dalam cerita persahabatan Presiden Sukarno dengan Pelukis Henk Ngantung, atau puitis Chairil Anwar dengan Perdana Menteri Sjahrir.
Ada pula masa di mana banyak terbentuk organisasi-organisasi kesenian yang berafiliasi dengan kekuatan-kekuatan politik tertentu, seperti: Lekra-PKI, Lesbumi-NU, atau LKN-PNI. Konflik yang terjadi lalu punya konsekuensi-konsekuensi material seperti pelarangan, pemutusan hubungan kerja, dan lainnya.
Saya tidak memasalahkan hubungan mutualisme yang romantis antara cerpen dan politik yang jadi temanya. Pun hubungan konfliknya sebetulnya tidak separah yang dibayangkan atau bisa diukur dengan parameter kesenian. Toh, dalam sejarah industri seni kita bahkan lelucon politik bisa jadi bahan buku heboh yang laris sebelum dilupakan.

Saya khawatirnya, tema politik bisa jadi advokat yang menumpulkan kreativitas penulis dalam mencari tema lain. Saya tidak mengatakan bahwa cerita pendek fiksi harus berputar-putar pada tema sosial-humaniora saja. Intinya adalah, politik adalah sempit dari ruang imajinasi yang sesungguhnya bisa membentang luas, dari sekolah-sekolah, sampai rumput tetangga kompleks yang syahdu.
Unsur kedekatan dalam fiksi sebagaimana yang lazim dipahami sebagai syarat penting sebuah cerita tertulis tidak bisa dipenuhi oleh cerpen-cerpen tema politik, kecuali bagi mereka yang memang tenggelam di dalam pergelutannya. Mungkin ini juga alasan kenapa saya lebih menikmati sentuhan seni cerita dan intrik politik Indonesia lewat karikatur-karikatur semacam Mang Usil di Kompas atau di banyak gambar komikus di koran-koran lokal. Di sana, bahkan tanpa paragraf panjang, saya sebagai pembaca memahami kepahitan-kepahitan politik sebagai sebuah alat sosial-bernegara yang utuh dan mengasyikkan.

Silakan bikin cerpen atau puisi tema politik, bagus untuk latihan. Kelompok pembacanya juga pasti masih banyak. Saya sendiri sampai sekarang masih meraba-raba cara menikmatinya. Yang penting adalah, bagaimana sudut pandang kita sebagai pembaca dibawa oleh kemampuan penulis meramu temanya. Kalau setiap hari kita disuguhi berita politik, tajuk rencana politik, sampai film pelesetan tema politik, rasanya sayang saja kalau fiksi-fiksi cerpen juga harus hanyut ke tema yang sama.

Bagi saya, fiksi cerpen selalu jadi oasis yang mengobati dahaga. Pelemas saraf di antara banyak hal yang menegangkan, menyebalkan. Ketika kata-kata tersusun rapi dan enak dilesap, hal-hal pahit dari bencana, hari yang membosankan, dan pahit-pahit politik bisa sejenak terlupakan. Biarlah seni tetap sejuk, mengalir sebagai air dan angin yang menghidupkan.

------------------------------
Ilustrasi merupakan dokumen pribadi.

*

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -