Selasa, 15 April 2025 | 1:06 PM
Ditulis oleh: Unknown Thursday, October 11, 2012



Apa yang dilakukan publik Twitter Indonesia dengan tagar #SaveKPK dan #PresidenKeMana sejak 5 Oktober lalu tentu membawa harapan baru bagi ruang pikir para penggiat antikorupsi. 

Tak semua orang paham memang, duduk perkara konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian. Tapi terlepas dari itu, tagar-tagar ini menarik, baik secara konteks, maupun konten. Situs salingsilang mencatat setidaknya lebih dari 39.000 kicauan dengan frasa itu hanya dalam kurun waktu 24 jam.

Publik media sosial kita menjadi kekuatan baru sebagai gerakan rakyat yang menyuarakan suara padu bahwa bagaimanapun, upaya pemberantasan korupsi tak boleh diganggu gugat.

Fenomena berkembangnya gerakan lewat media sosial di Indonesia terbentuk bukan tanpa alasan. Pasca-reformasi kanal-kanal penyaluran aspirasi terbuka lebih banyak dan masif, meski sifatnya masih evaluatif. Seperti yang pernah dikatakan Megawati, demokrasi kita masih bayi, masih bertumbuh dan mencari jati diri. Media sosial kemudian menyusup dalam limat tahun belakangan sebagai sebuah “papan tulis” untuk segenap rakyat tanpa ekspektasi berlebihan. Isu korupsi yang jadi milik bersama kemudian disuarakan oleh banyak orang, dari kalangan pejabat negara sampai pelajar muda. Wamenkumham Denny Indrayana mungkin tidak akan ke Kantor KPK malam tanggal 5 Oktober itu kalau saja tidak membuka linikalanya.

Gerakan rakyat

Bahasa suara antikorupsi pun menggeliat semakin merakyat, mengadopsi gaya retoris khas politisi sampai yang cenderung nakal khas abege. Saat #SaveKPK bertengger selama 2 hari di topik teratas netizen (sebutan untuk pengguna media sosial), kita bisa pelan-pelan merasakan bahwa pergerakan tahun 1998 akan terulang, walaupun bentuknya sangat jauh berbeda. Aksi protes Suharto waktu itu mengandalkan kekuatan suara dan gerakan fisik selama dua minggu yang panjang, sementara hari ini kita bisa mengumpulkan ribuan petisi hanya dalam satu malam. 

Gerakan #SaveKPK bisa saja bersifat tren, artinya orang-orang nimbrung hanya karena memenuhi kebutuhan emosionalnya sebagai pengguna media sosial aktif. Tidak pasang tagar tidak gaul, bisa jadi. Ikut rembug dalam keramaian isu adalah khas publik media sosial kita, dan untuk isu apapun, selama menjadi kepentingan publik, sangat mungkin mengumpulkan dukungan.

Media sosial masa kini kita sangat penting jadi alat pergerakan rakyat dalam memberantas korupsi. Dengan kondisi baik di mana banyak pejabat negara dan birokrat ikut meramaikan jagad maya, rakyat sudah mulai meninggalkan kanal-kanal penyaluran aspirasi konvensional seperti surat pembaca atau layanan pesan singkat istana 9949 yang pernah  heboh itu. Twitter adalah Lapangan Ikada masa kini, di mana kaum muda sampai kepala negara ikut bersuara tentang isu yang sama, dengan gayanya yang berbeda-beda. Kalau suara pembelaan terhadap KPK sudah sebaik ini, maka proses pemberantasan korupsi di Tanah Air bisa berjalan dengan kontrol yang berjalan secara alami. 

Dunia mereka beberapa gerakan masif yang berpengaruh, berawal dari pengumpulan suara di media sosial. September lalu otoritas keuangan dan pemerintah federal Amerika Serikat direpotkan dengan aksi unjuk rasa  besar-besaran bertajuk Occupy Wall Street (OWS); hampir setahun lalu dunia menyaksikan perjalanan panjang pergantian rezim di Mesir di Tahrir Square, hanya beberapa bulan sebelum disusul Libya. Di Asia, ada gerakan kaus merah di Thailand dan yang paling baru adalah gerakan sentimen anti-Jepang yang dipelopori oleh kaum muda Cina. 

Jika ditilik lebih, kesemua gerakan perubahan ini digerakkan oleh suara media sosial. Cina sebagai salah satu negara yang memberlakukan kebijakan ketat terkait media sosial, nyatanya justru lantas heboh oleh beberapa petisi di media sosial lokal Sina Weibo dan Renren yang kini mengakomodasi lebih dari 400 juta pengguna dengan rata-rata pesan terkirim setiap harinya mencapai 100 juta.

Indonesia memang masih jadi pengguna media sosial, meski pengembangan aplikasi-aplikasi dan startup lokal sedang berjalan. KPK sebagai lembaga antikorupsi (untungnya) memasang mata dan telinga lebar-lebar untuk merespon pola sosial baru ini. Di masa Antasari Azhar sebagai ketua, terobosan yang laris jadi konsumsi publik adalah stiker dan pin bertuliskan beberapa propaganda seperti "Aku Bukan Koruptor" dan "Awas! Bahaya Laten Korupsi". Ini terbukti jadi terobosan pemasaran misi yang berhasil karena stiker dan pin-pin ini jadi pemarka pasar yang dipakai semua kalangan, dari jendela mobil jenderal sampai gesper tas mahasiswa. Sekarang ditambah media sosial dengan gaya kepemimpinan yang baru di KPK, semuanya berjalan makin baik.

Di luar KPK bagaimana? 

Tentu gerakan antikorupsi berbasis media sosial ini bisa dipakai pihak manapun di Tanah Air. Dukungan kepada Kepolisian juga tidak kalah lo dengan riuhnya teriakan untuk KPK. LSM-LSM antikorupsi kini rajin berpendapat di media sosial meski harus sampai berhadapan dengan seorang menteri. Laporan-laporan korupsi di daerah mudah teralirkan hanya dengan 140 karakter atau sebuah catatan blog. Sekretariat negara sampai Divisi Humas Polri harus pilah-pilih kalimat untuk menjawab isu di trending topic

Ini positif. 

Dan kalau tren ini berjalan sementara publik secara sadar konsisten pada kepercayaannya bahwa pemberantasan korupsi adalah prioritas bersama, maka kita bisa berkata bareng-bareng bahwa inilah gerakan antikorupsi cara Indonesia. Di saat rakyat menguatkan komunitasnya dan pemerintah memanfaatkan prosesnya.

Cerewet soal korupsi


Film Kita vs KPK yang baru-baru ini diluncurkan rasanya pas untuk menganalogikan gerakan yang kita maksudkan dalam penjelasan di atas. Pesan intinya bahwa pemberantasan korupsi bukanlah gerakan seorang diri sangat jelas. Bahwa di negara dengan sejarah panjang korupnya, Indonesia perlu gerakan kolektif. Kepercayaan publik mestinya bukan lagi The winner stands alone, tetapi berdiri bersama di garis antikorupsi yang sama. Kelak, kalau korupsi sudah hilang, atau setidak-tidaknya tak menampakkan diri lagi di Indonesia, kita berteriak kemenangan bersama-sama, kemudian suarakan keberhasilan itu ke dunia lewat media sosial. Dan koruptor berdiri sendirian di pojok.

Orang Indonesia paling ahli memperbincangkan sesuatu. Direktur Eksekutif ICT Watch Donny Budhi Utoyo pernah menyebut pengguna aktif dari Indonesia sebagai "yang paling cerewet" se-Asia. Biarlah, kita manfaatkan itu untuk kebaikan, termasuk pemberantasan korupsi di tanah kita sendiri. Kita cerewet soal korupsi, biar kuping para koruptor makin panas dan mereka yang berniat korupsi merasa tidak pantas. Kekuatan baru kita adalah pemberantasan korupsi berbasis komunitas, formal ataupun informal.

Biarlah 29,4 juta pengguna aktif Twitter di Indonesia jadi agen-agen gerakan dan penyuara antikorupsi yang paling depan, aktif, menggetarkan, dan memuliakan arti persatuan Indonesia.

Kalau begitu, kita boleh mengabaikan klaim sebuah partai politik yang menuliskan Suara (nama partai) Suara Rakyat. Kini sudah saatnya "Suara Medsos Suara Rakyat." Ini, antikorupsi cara Indonesia.


*ditulis untuk gerakan "Melawan Korupsi", Club Indonesia Bersih (@bersihindonesia).



@FandySido



Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

  • Bahasa Tutur dan Bahasa Tulis
    21/07/2013 - 2 komentar
    Saya mengikuti perkembangan tulisan di buku-bukunya Raditya Dika. Yang saya simpulkan sejauh ini…
  • Apakah Sule dan Atiqah Beda Kasta?
    10/05/2013 - 0 komentar
    Tanggal 19 April lalu saya tidak sengaja menyaksikan sebuah tayangan berita selebritas di Trans TV…
  • Suara Takbirku, Suara Bapakku
    02/09/2011 - 4 komentar
    Ada banyak kejadian berkesan saat merayakan takbiran 1432 H dua hari yang lalu. Pengalaman hari sebelumnya…
Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © 2025 BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -