Senin, 14 April 2025 | 1:42 AM
Ditulis oleh: Unknown Wednesday, October 17, 2012



*

TUJUH TAHUN.


Dan kertas-kertas kecil masih tertempel di dinding dapur Pakulo Gedhi. Rumah putih dua lantai bergaya Jawa tempat puluhan lukisan Ki Mojo dipajang. Sebagian dari lukisan itu surealis, serupa rantai makanan dari pikiran manusia yang bertangga-tangga.

Beberapa lukisan di sebelah selatan justru realis dengan pemandangan glesier berwarna biru cerah karena terpapar cahaya selatan, dan kehidupan masyarakat Nias sebelum zaman Lompat Batu. Di bagian lain ada patung-patung Budha dengan dasar kayu hitam dan beberapa cermin bundar palsu yang pernah geger karena dianggap peninggalan Majapahit. Tiga jendela berbaris tinggi di bagian depan, utara, membiarkan semua gambaran tentang kehidupan alam di luar sana terbawa ke dalam galeri kecil yang dulunya ruang keluarga itu.

Rumah ini bisa saja berhantu, kata orang-orang. Tapi bagi Nilam, tak ada pengertian pasti seperti apa yang disebut hantu.

Pekerjaan ini terlanjur dikenyamnya sebagai pemenuh jiwa. Masa lalunya tak pernah sebaik Buddha sebagaimana pengertiannya. Pun, masa depannya belum tentu benar-benar cerah seperti pantulan cahaya di glesier. Selama tujuh tahun terakhir ia menghabiskan waktu di rumah itu, melukis di subuh kemudian mengurus rumah di waktu duha. Sebagian waktu siangnya dihabiskan dengan merawat rumput di atap jika tidak sedang keluar memburu pembeli, menawarkan naskah bukunya atau sekadar menjaga mobil pengangkut sampah. Nilam adalah perempuan duapuluh tujuh tahun yang membiarkan dirinya mengalami kesendirian setelah pada tujuh tahun yang sama ia menghadapi kehingarbingaran yang membingungkan. Semuanya pernah terasa sempurna, termasuk hal-hal manis bersama seorang yang kini ia anggap hantu.

**

"Aku harus pergi."

Kalimat itu terdengar biasa saja pada awalnya. Ucok memang suka bercanda. Mungkin ini adalah bagian dari leluconnya setelah mereka menonton diorama romantis para seniman Jogja di TBY bertema "Manusia Halram". Pajangan komedi satir tentang keberanian manusia menetapkan standar halal-haramnya sendiri. Ucok berkelana menggandeng tangan sepanjang tujuh koridor, dan selama satu setengah jam tur itu, Nilam tak banyak bicara. Hanya tersenyum dan merasa dirinya begitu dimanja. Penghargaan tanpa kata-kata.

Di meja kafe pukul tujuh malam, kalimat itu terlontar begitu saja. Nilam menghentikan gerak bibirnya menyedot ujung pipa plastik lembut yang tercelup ke dalam gelas itu. Cairan jus jambu tersendat dan kembali ke bawah.

"Masih terbawa suasana pameran ya?" tanyanya memastikan. Ia masih yakin bahwa kalimat serupa ucapan pamit itu tak benar-benar benar. Tapi Ucok tersenyum dan menggeleng. Setelah dua helaan napas, ia lalu menggeser maju di atas bidang kayu meja itu, sebuah buklet dan surat terlipat di dalamnya.

Nilam membaca surat itu, mengulang-ulang bacaannya dari baris atas sampai ujung bawah. Semua bukan tanpa alasan, dan apa yang tertuang dalam pesan itu benar-benar jelas. Kertas itu dikembalikan tanpa suara. Nilam menarik badan kemudian menyandarkan punggungnya. Dua lengannya dilipat di depan dada.

"Maaf," kata Ucok. Pemuda itu dua tahun lebih muda darinya. Tapi perilaku santun dan kecerdasan komunikasi verbal membuat gadis ini benar-benar tak sanggup memilih orang lain sebagai pacar. Meski Ucok harus melewati tujuh audisi yang menurutnya lucu karena berhubungan dengan kata-kata bahasa Indonesia, ia lulus. Dan Nilam, untuk pertama kalinya setahun lalu itu, merasa benar-benar takluk. Satu hal yang paling diingatnya dari lelaki ini adalah keengganannya menyandang nama pahlawan sebagai panggilan untuk dirinya, meski nama lengkapnya adalah Umar Said Cokroaminoto.

"Kau sekalian mau naik haji, rupanya. Melengkapkan namamu."

Ucok menunduk atas sodoran komentar itu. Ia sadar betul Nilam tak suka mendengar kabar ini. Kuliah di Boston untuk tiga tahun bukanlah perkara mudah, terlebih jika memperhitungkan biaya tenggelam yang akan mereka habiskan untuk sekadar menanyakan kabar sejauh 24.000 kilometer. Tapi tekad lelaki itu sudah bulat. Tawaran beasiswa Fulbright adalah matahari baru bagi dunia karir jurnalistiknya yang sempat hampir mati.


"Aku akan kembali."

Dan Nilam tak pernah membalas kalimat itu.

Tepat di ujung September, mereka berpelukan di terminal keberangkatan Cengkareng. Nilam tak pernah melakukan ini sebelumnya, tapi pagi itu ia benar-benar mencium bibir Ucok di tengah keramaian. Lelaki itu gugup bukan kepalang sampai kaca matanya hampir jatuh. Mereka berpisah dengan perasaan yang gundah, seperti Sinta yang melepas Rama ke dalam hutan. Bayang-bayang romantisme itu pada akhirnya tertinggal di belakang.

Setelah hari ketujuh, kabar tentang lelaki itu tak pernah sampai.


**

"Lupakan dia."

Nilam meninggalkan sahabatnya Rere begitu saja. Koridor apartemen Cakra tak begitu ramai membuat mereka berdua nampak menarik perhatian. Rere mengejar Nilam dan langsung menggaet tangannya.

"Dengar."

Nilam membalik badan tanpa mau menatap mata lawan  bicaranya. Rambutnya yang diikat di belakang bahkan masih terasa panas di kepala. Pikirannya tak pernah sesakit ini.

"Sudah tiga tahun, Nilam. Kau harus kuat sebagai perempuan dan ambil keputusan. Kau tak boleh membiarkan dirimu terjebak terus menerus dalam bayangan tidak jelas tentang Ucok. Dia sudah pergi, dan memutuskan untuk tidak menghubungimu lagi. Ia punya kesempatan banyak untuk memberi kabar tapi ia tak lakukan. Itu artinya apa? Dia pergi, Nilam. Pergi. Aku tak ingin kau menghabiskan waktumu untuk hal-hal yang membuatmu mati perlahan-lahan. Kau sudah keluar dari pekerjaan, meninggalkan orang tua dan sekarang menjauh dari teman-teman. Aku paham sakitnya, Nilam. Aku pernah mengalami hal yang sama. Tapi perempuan harus bangkit. Saat tidak ada lagi pegangan, kita harus bisa menemukan kaki-kaki kita lagi untuk berdiri."

Sahabat itu merapatkan dua telapak tangannya ke lengan atas Nilam, membuat mereka saling pandang pada akhirnya. "Kau harus melanjutkan hidupmu, Nilam. Kalau dunia ini benar-benar adil, maka ia akan mengantarkan dia kembali ke sini. Ke hadapanmu. Nilam."

Kedua sahabat itu akhirnya merasa lebih sejuk dan memilih berjalan santai di halaman belakang dekat kolam renang. Nilam merasa ada sesuatu yang salah dengan pantulan butir-butir cahaya di atas permukaan air yang membiru, membuatnya terdiam berapa lama saat Rere memancingnya berbicara lagi.

"Kurasa aku harus pindah ke desa, Re," kata Nilam pada akhirnya.
"Ke desa? Untuk apa?"
Nilam tak langsung menjawab hadangan pertanyaan itu, kemudian merogoh tas jinjingnya dan mengeluarkan selipat kertas kekuningan dari dalam sana.
"Ucok punya permintaan aneh sebelum ia pergi ke Boston. Ini."

Rere membuka kertas itu dan sempat tak percaya apa yang dilihatnya. Sebuah sketsa rumah berlantai dua bergaya Jawa yang di sampingnya tercoret rupa pohon Tanjung yang rindang di pinggir jalan sempit menanjak. Coretan pertanda kehidupan.

"Ucok yang membuat itu. Katanya aku boleh menempati rumahnya selagi ia pergi. Semua berkas hak guna dan administrasi lainnya ternyata sudah ia selesaikan seminggu sebelum berangkat waktu itu. Entah apa maksudnya, tapi kurasa aku akan melakukan itu, sambil menyibukkan diri."

Rere berhenti melangkah dan kembali memprotes, meski kali ini nada bicaranya lebih rendah dan bernada tidak suka. "Kau tidak benar-benar mau melupakan lelaki itu kalau begini caranya."

Tapi Nilam terus saja berjalan. "Entahlah, Rere. Tapi menurutku justru ini cara yang paling ampuh untuk melupakan dia. Kalau, memang aku diperintahkan oleh Tuhan untuk itu."

Rere berlari kecil karena tertinggal beberapa langkah. Mereka kembali berdiskusi setelah tiba di dalam mobil yang membawa mereka pergi dari keriuhan kota.

"Kau gila. Ini sama saja membiarkan orang itu terus menghantuimu."

Nilam tersenyum. "Mungkin ...," katanya menimpali. "Ini jalan keluar menemukan masa depanku. Dengan menerima kepergiannya dengan menyatukan diriku dengan kehidupannya di masa lalu. Mungkin, dia memang akan terus jadi hantu. Hantu yang sempurna."

Rere tak bisa membalas kalimat terakhir.

**

Perempuan itu menepuk-nepukkan telapak tangannya ketika harus mengambil sebuah surat di halaman rumah. Petugas pengangkut sampah baru saja pergi dan rumput halaman itu telah bersih. Nilam meluruskan punggungnya sejenak, menikmati hangat sinar matahari kemudian duduk di ayunan kayu sambil membaca beberapa surat yang masuk. Tulisannya akan termuat sebentar lagi, itu berita bagus pertama. Beberapa surat lain hanya tagihan listrik dan balasan beberapa sahabat penanya. Surat keenam di posisi paling bawah itu, membuat gerak tangannya melambat.

from Umar Said Cokroaminoto.
The Vacancies Co. Downing Street 5th Ave. Boston, Massachussets, U.S.A.
to Miss Nilam Ayuningtyas, 
Jl. Hayam Wuruk 56D Bekasi, West Java, Indonesia.
Angka kode pos sempat salah tapi toh surat itu sampai. Gadis itu mengatur napasnya, melihat daun-daun pohon sejenak kemudian berusaha meyakinkan bahwa ia sadar dan baik-baik saja. Bahwa surat-surat itu nyata, dan tangannya benar-benar memegangnya, dan pikirannya benar-benar membaca kalimat di dalamnya. Perlahan ia menarik ujung surat ke atas, membiarkan matanya menyusuri setiap baris kalimat pesan itu.

Tujuh tahun, dan ia sama sekali tak ada bayangan tentang sosok lelaki itu kini. Maka ia penuhi rasa pertanyaan di hati dan pikirannya saat surat itu perlahan-lahan ia baca. Ia terkejut sekaligus berpikir nyaris tak percaya.

Surat itu hanya berisi satu baris kalimat.

Ingat rumah Jawa kita? Cek ada apa di balik lukisan Glesier ketiga. 

Nilam menurunkan lengannya lemas. Matanya memicing beberapa saat pertanda pikirannya bekerja keras menemukan jawaban di balik pertanyaan dan petunjuk itu. Untuk apa Ucok, kalau benar ialah yang mengirim surat ini, memberikan pesan itu? Lagipula ada apa di balik lukisan ketiga? Nilam tak langsung mengikuti petunjuk itu, dan malah menyimpan kembali surat itu. Ia sudah memutuskan untuk melupakan seorang lelaki yang pergi. Dan surat ini harusnya tak datang di saat ia melanjutkan kehidupannya yang masih misteri. Untuk sejenak gadis itu hanya berdiri di halamannya. Memegang pinggangnya dan menengadahkan kepalanya. Menyusuri pandang setiap jengkal Pakulo Gedhi kemudian bertanya kepada dirinya sendiri. Untuk apa aku di sini selama ini?

Malam harinya Nilam tak bisa tidur. Berusaha mengatasi bayang-bayang dari kalimat pendek itu, akhirnya dengan pakaian seadanya ia turun menyusuri tangga, mematikan televisi dan membenarkan posisi beberapa lukisan yang sore tadi sempat ditinjau oleh beberapa kurator. Saat melintas di dinding sebelah timur, ia berhenti tepat di depan lukisan cerah berwarna biru terdegradasi putih itu. Glesier di Tepian, judulnya. Ini adalah lukisan ketiga sebagaimana pengertiannya atas petunjuk di surat pagi tadi.

Nilam menghela napas sebelum akhirnya dengan sangat hati-hati menurunkan bingkai itu. Tidak ada apa-apa di dinding tempat lukisan itu tersemat. Tapi yang mengejutkannya adalah sebuah gulungan kertas dan sebuah kotak kecil berlapis flanel biru malam, terikat dengan karet gelang merah bersama gulungan kayu di tengah bidang bingkai. Kotak itu terlepas dan kertas itu terbaca.

Nilam menutup mulutnya dan tertawa kecil, tak merasa sedih sedikitpun bahkan saat pipinya ditetesi air mata. 

Sebuah dami buku nikah bertuliskan dua nama, dan sepasang cincin bermata kaca bening.

Tolong jaga cincin ini untuk pernikahan kita. Aku akan kembali saat matahari terbenam di penghujung musim semi 2013. Ucok.

Tak ada yang tahu apa yang akan dikatakan oleh hati perasaan gadis itu semalam penuh. Tapi yang jelas ia menyimpan dua barang berharga itu. Ia jadi tahu, sejak awal Ucok tak memintanya menjaga rumah dan lukisan-lukisan itu. Ucok memberikannya kesempatan untuk meninggali rumah itu sebagai seorang pencari jawaban. Menghabiskan semua pertanyaannya sampai akhirnya jawaban itu datang di saat yang tepat. Sejak awal lelaki itu sudah ingin menikahinya, tapi ia memilih mengejar mimpi selama tujuh tahun yang panjang, tanpa melepaskan Nilam dari kehidupannya.

Pagi harinya, Nilam menyambut sahabat lamanya di rumah itu. Dan Rere hanya tertawa mendengar cerita Nilam tentang sebuah surat lama dan kotak cincin. "Kau memang harus menikah, Nilam. Lihat aku. Dua anak itu rasanya bagaimana begitu. Kalau ada suami, di manapun dia, kau tak pernah merasa kesepian."

"Sekarang kau baru mengerti kenapa aku dulu semarah itu." Nilam menyinggung hari-hari ketika ia masih memikirkan seseorang dan Rere terus-menerus menentangnya.

Ucok harus menjelaskan perihal komunikasi mereka yang terputus selama tujuh tahun yang panjang. Tapi Nilam tak lagi memikirkan itu. Baginya, selama waktu-waktu itu Ucok memang pergi, tapi tidak menghilang dari kehidupannya. Lelaki itu telah sukses menghantuinya dengan semua misteri yang terjawab pelan-pelan.

Ucok adalah hantu yang sempurna. Meski Nilam masih akan bertanya saat hari itu tiba. Hari di mana lelaki itu benar-benar kembali dan meminangnya. Dan siapa yang tahu kata hati begitu dekat dengan keindahan lukisan yang oleh kebanyakan orang adalah semu.

Nilam sudah punya ide untuk buku keduanya. Empat belas hari lagi, musim semi di Amerika berakhir. 

*









Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

  • Bagaimana Blogger Mengawal UU Keterbukaan Informasi Publik?
    20/11/2012 - 0 komentar
    Ilustrasi/komisiinformasi.go.id Penerapan Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan…
  • ASISTEN
    21/02/2012 - 0 komentar
    Kata kunci: polkadot, pasar malam, pohon pisang, cerpelai, rajah. * “Tidak, ini belum…
  • Teknisi yang Berpuisi
    12/05/2013 - 1 komentar
    Untuk dinding yang tak berwarna, aku menerka-nerka warna cat. Kemudian setiap sore aku duduk merapatkan…
Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © 2025 BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -