- Beranda »
- CERITA BERSAMBUNG »
- JOURNO: Prolog
Ditulis oleh: Unknown
Monday, October 15, 2012
Terdengar TERIAKAN.
Debu terbang tak jelas arah saat bahkan angin seperti tak mau mendekat. Gaya fisika dari hentakan kaki-kaki menerbangkan butiran pasir dan sampah yang mengikutinya. Menghindar kemudian jatuh, seperti nasib belasan pemuda tanggung berkulit gelap itu. Mereka berteriak dan saling memaki. Berhadap-hadapan di dua hektar tanah sengketa bertuliskan WASA, perusahaan kontraktor yang enggan meneruskan proyek pembangunan mal. Ratusan warga berkerumun dan sebagiannya lari menyelamatkan diri.
Dua kubu yang bertikai adalah preman bayaran melawan warga kampung Parai. Mereka punya senjata yang berbeda di tangannya. Kelompok preman yang dikawal lelaki berdarah Maluku mengayun-ayunkan badik sementara warga penantang membawa balok dan batu beragam bentuk dan ukuran. Dari bedanya senjata-senjata itu, satu hal sama di benak mereka: tanah ini harus dimenangkan.
Bentrokan pecah persis saat matahari menyentuh tengah langit. Pemimpin kelompok Ambon berteriak dan mengacungkan badiknya menghadap ke langit. Saat kedua kelompok ini berteriak dan akhirnya saling maju dari ujung satu ke ujung lahan lainnya, kamera mulai merekam.
Satu kamera jarak jauh kemudian menyorot ke arah yang salah. Bukan ke lapangan, melainkan ke serambi sebuah rumah panggung bercat biru langit yang luntur. Mengarah ke sudut tenggara lapangan itu, di antara pohon-pohon asam. Di balkon setengah terbuka dan beratap seng, duduk memeluk lutut seorang lelaki tua berkopiah miring. Tubuhnya yang ringkih membungkuk hanya dibalut dengan singlet putih kumal, lalu di pundaknya terlilit sarung biru menyilang sampai bawah, seperti baru lepas dari lipatannya. Lelaki tua itu mengangkat tanganya yang menjepit lintingan tembakau di dalam gulungan kertas, membuka bibirnya sampai akhirnya menengadahkan kepala menembak udara dengan asap pekat pembawa kenikmatan.
Bunyi benda keras sudah beradu di bawah sana, dan mungkin saja darah sudah tertumpah.
Lelaki di balkon itu meneguk kopi pahitnya dari cangkir seng bermotif loreng biru. Nikmat tanpa sisa. Kamera satu di sisi selatan lapangan ini terus menyorot tiap langkahnya, entah apa pikiran wartawan itu. Ia rekam setiap gerak jari dan bibir dari lelaki tua di balkon, mengabaikan pertikaian yang ricuh di depannya. Beberapa kali ia pindahkan kamera ke tempat aman, menyorot dari banyak sudut pandang.
Kemudian terdengar jeritan dari tengah lapangan. Belasan juru foto dan reporter perempuan lari tunggang-langgang. Dua pemuda tergeletak di lapangan. Polisi yang baru tiba lantas mengeluarkan tembakan berkali-kali. Seorang tertembus peluru di kaki, seorang lain tertembus benda tajam di perutnya.
Badik itu terlempar ke tanah.
Dan di balkon itu, lelaki tua sudah menghilang. Langkah-langkah kaki kecilnya hati-hati namun tegas. Tidak begitu cepat tapi tidak juga santai. Tangannya beberapa kali diangkat untuk sekadar memperbaiki posisi kopiah atau lilitan sarung di pundak. Kakinya telanjang saat melangkah memasuki lapangan bertanah merah itu. Polisi berhasil meredam massa namun dua orang yang terluka masih tergeletak di atas tanah.
Saat pertikaian selesai, dua korban dari dua kubu berbeda ini justru saling pandang. Mengisi pikiran-pikiran mereka dengan pertanyaan mengapa dan mengapa. Menyadari betapa sakitnya terluka. Untuk beberapa saat itu, mereka melupakan perbedaan.
Lelaki tua itu melangkah makin cepat sambil mengawasi polisi. Kemudian saat sudah berhasil terselip di antara kerumunan orang, ia cepat-cepat membungkuk. Badan ringkihnya ternyata banyak membantu di antara badan-badan besar yang berani di titik kejadian itu. Dua korban cepat diangkat dan dipinggirkan, polisi langsung menggaet beberapa orang. Sementara lelaki tua itu, dengan cepat mengembangkan sarungnya, melepasnya dari pundak lalu menggulungya cepat-cepat di pinggang. Ia lalu berlari kecil ke arah dua korban dibawa, kemudian dengan gesit mengganti arah dan berbelok ke arah rumahnya. Tangga ditapaki dan dengan cepat sosok itu menghilang ke dalam rumah.
Kamera terus merekam. Saat akhirnya warga mulai dikumpulkan dan awak media menggelayut mengejar narasumber, kamerawan itu justru mendekatkan perantinya ke balkon rumah. Tapi di saat-saat terakhir sebelum menginjakkan kaki di halaman rumah itu, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Rio."
Kamerawan itu menghentikan langkahnya kemudian perlahan membalik badan. Di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki muda berjanggut tipis, berseragam sama dengannya. Ia mengenalnya sebagai Ben, jurnalis junior yang baru seminggu bekerja mendampinginya sebagai reporter lapangan.
"Kau mau ke mana?"
Rio tak menjawab. Ia gugup dan berusaha menyusun kata-katanya. Ben berusaha menghalau orang-orang yang berkerumun, berusaha keluar dari jalan setapak sempit di pinggir lapangan. Kabel beberapa kali tersandung sampai akhirnya harus diangkat lebih tinggi dari kepala. Ben menahan terus posisi itu saat napasnya mulai terengah-engah.
"Rio!" Ben mulai kesal karena rekannya tak kunjung memberikan jawaban.
"Ah? Iya."
"Apa yang kau rekam barusan? Ayo ke sana. Kita perlu wawancara polisi dan beberapa orang.'
"Tunggu."
"Tunggu apa? Sebentar lagi kita tersambung ke saluran langsung. Meli dan Wisnu sudah bekerja. Ayo."
"Ben, tunggu."
Akhirnya junior itu pasrah. Meski lebih muda dan kurang pengalaman, ia tak pernah merasa Rio mengguruinya apalagi membawanya pada arah keputusan yang salah. Maka dari itu untuk sejenak, ia melemaskan pundak dan mendengarkan rekannya. Hati-hati dan tak punya waktu lama.
"Ben," kata Rio setelah mereka berteduh di bawah pohon. Ben mengawasi sekeliling sambil menyimak apa yang ingin disampaikan.
"Aku merekam tingkah laku aneh seseorang di rumah ini," sambung Rio sambil mengarahkan pupilnya ke kiri atas. Kepalanya berputar sedikit kemudian kembali. Ben menyimak tapi pertanyaan di benaknya tak kunjung terjawab.
"Laki-laki tua di rumah ini, ada sesuatu dengannya."
Ben memiringkan kepala karena Rio justru berusaha menunjukkan hasil rekaman. Kamera itu dilepas dari kabelnya untuk kemudian diangkat setinggi dada.
Ben mendekat. Gambar itu mulai terputar dan lintingan rokok mulai terlihat di layar lipat kecil. "Apa ini?"
"Lihat saja dulu. Aku merekam setiap detik yang dilakukannya."
Ben mulai mengerti, merapalkan pandangannya ke layar, saat tiba-tiba telepon genggamnya berdering keras. Ia langsung membalas dengan anggukan dan permintaan maaf.
"Ayo. Tidak ada waktu lagi."
Ben langsung menarik lengan rekannya untuk bangkit, mengambil alih kamera dan berjalan cepat menembus tanah lapang itu sekali lagi, saat debu-debu nyaris mendarat kembali. Udara pengap dan suhu langsung mengucurkan keringat. Di pinggir lapangan itu ibu-ibu berdiri menutup mulut dengan telapak tangan. Anak-anak kecil berlari di belakang wartawan sambil tersenyum mengobati rasa penasaran mereka terhadap perangkat rekam yang menurut mereka menyimpan keajaiban.
Rio melangkah kesal di belakang Ben. Tangan kirinya memegangi mikrofon yang tadinya sempat terjatuh. Mereka akhirnya menjauh dari bangunan rumah panggung di sudut tenggara, menuju utara dan langsung mengikuti sesi wawancara.
Di balik pintu yang gelap, laki-laki tua itu mengeluarkan badik dari lilitan sarung. Matanya mengikuti setiap langkah yang bergerak di luar sana, memperhatikan tulisan di belakang seragam kamerawan yang melangkah, kemudian menghisap habis asap beracun dari rokok di sela jarinya. Darah mengalir di sisi besi kemudian menetes ke lantai papan.
*
Kantor PERIOD.
Redaktur harian terbesar itu duduk menopang dagunya dengan dua tangan yang saling merapat. Jemarinya saling kait dan pikirannya tertuju pada satu hal. Layar televisi menayangkan petikan wawancara dari Kapolsek Rappocini yang menjelaskan perkara pertikaian itu.
Redaktur itu diam tak terganggu. Selama beberapa menit, ia mencari sesuatu yang belum ditemukannya. Kemudian saat pundaknya ditepuk untuk sebuah panggilan, ia bangkit lalu menuju ujung lain dari meja oval itu.
"Sudah kau temukan? ... Bagus. Bagus. Tunggu perintah selanjutnya."
Gagang telepon itu diletakkan dengan bunyi yang tegas. Diikuti ketukan-ketukan ujung kuku saat bunyi dari televisi direndahkan. Redaktur itu mengelus-elus perut buncitnya, melonggarkan ikatan dasi di lehernya, kemudian dengan ringan mengangkat lengannya yang membawa layar telepon genggam hitamnya menghadap langsung ke mata.
Aku butuh bantuanmu untuk menemui seseorang. Balas segera. Pesan itu terkirim dengan satu sentuhan jari.
*
Di tempat lain, di sebuah gang sempit yang berair. Empat laki-laki berjas hitam berjalan dengan begitu rapi. Merapatkan kancing mereka sambil memastikan tak ada yang mengikuti. Dari satu sisi lantai dua bangunan kiri belakang, seorang wanita paruh baya menggeleng kesal kemudian menutup kerai jendelanya. Tikus-tikus berjinjit membawa remah keju lalu kabur ke balik bak-bak sampah yang berjejer di belakang restoran The View.
Sebuah koper terjinjing dan sebuah pintu terbuka. Dalam sekejap mereka langsung menaiki limosin itu, menutup pintu kemudian melaju.
Sebuah koper terjinjing dan sebuah pintu terbuka. Dalam sekejap mereka langsung menaiki limosin itu, menutup pintu kemudian melaju.
Lampu-lampu berwarna emas menghiasi Tower Bridge dan London Eye di kejauhan. Mobil itu berbelok ke arah selatan Abbey saat kabinnya mulai senyap.
Satu dari empat orang berjas membuka koper di pangkuannya.
"Ini, seperti yang Anda minta, Tuan. Lengkap dengan keping data cadangannya."
Koper itu dibuka dan kini terpampang dua kepingan mengkilap berukuran standar, sebuah telepon genggam bertombol banyak dan sebotol cairan berwarna biru terang. Ketiga benda itu terselip di lubang perekat yang memungkinkannya tidak bergerak bahkan jika kotak itu mengalami guncangan.
Seorang pria tua, berkulit putih yang di kerah jasnya menggelantung lipatan kulit, merapatkan kacamata saat matanya memerhatikan ketiga benda itu dengan saksama. Pandangannya awas dan selalu memerhatikan keempat pemuda berjas yang mengantarkan benda ini kepadanya. Saat kembali bangkit dan bersandar di jok, pria tua itu tersenyum. Salah seorang pemuda berjas membalasnya, seorang muda berjanggut dengan senyum lebar, muka arab sebenar-benarnya.
"Kalian sudah berjasa bagi hubungan diplomasi dua negara. Terorisme hari ini seperti kanker, kau tahu?" Ada keheningan beberapa detik lagi saat pria tua itu menatap mata keempat pemuda berjas di depannya. Serupa tatapan seorang guru kepada mahasiswa bimbingannya.
"Ketiga benda ini, adalah kunci yang berisiko. Kalau jatuh ke tangan yang salah ...," Pria itu mengangkat pundaknya seperti tak ingin meneruskan kalimat. Pandangannya dilempar keluar jendela saat mereka melintas searah Thames. Cahaya berkilau dan berganti memasuki kabin itu, seperti kilat-kilat cerita masa lalu yang membawa kota itu pada peradaban yang di beberapa sisinya menjauh dari perasaan manusia.
"Ketiga benda ini, adalah kunci yang berisiko. Kalau jatuh ke tangan yang salah ...," Pria itu mengangkat pundaknya seperti tak ingin meneruskan kalimat. Pandangannya dilempar keluar jendela saat mereka melintas searah Thames. Cahaya berkilau dan berganti memasuki kabin itu, seperti kilat-kilat cerita masa lalu yang membawa kota itu pada peradaban yang di beberapa sisinya menjauh dari perasaan manusia.
Malam menggelayut perlahan. Begitu tenang, dan remaja bercanda di taman-taman. Kafe-kafe mulai dijejali wisatawan yang ingin mengabadikan megahnya Menara Elizabeth. Kilatan-kilatan kamera bersahutan saat tiba-tiba terdengar ledakan hebat.
Tengah jalan 5 Hugh jelang halaman utara Westminster, limosin itu meledak. Pintunya terhempas dan keempat rodanya terlepas. Orang-orang di pinggir jalan menjerit dan berlari. Sirene terdengar dari kejauhan.
*
Tentang Penulis
Wow...
ReplyDeleteSeru sekali !
sampe ke London euy..
keren fandy!
Badik..
Sebenarnya badik itu apa? Percakapan dengan Ana di K tentang badik, masih samar..
hehehe...
Ditunggu lanjutannya, :) Tag conni ya
Ini aku coba-coba bikin prolog, Conni. Kalau idenya terkumpul, pasti aku lanjutkan. Mohon masukannya ya, jangan sungkan-sungkan kritik atau koreksi kalau ada yang salah.
DeleteNah, Badik itu senjata tradisionalnya Bugis-Makassar, Conni. :)
Semacam Rencong di Aceh atau Mandau di Kalimantanatau. Kalau Batak apa ya, parang?
Perbincanganku bareng Ana di K kemarin juga bahas itu. Jadi ada FTV beberapa tahun lalu, angkat Cerita Nusantara, badik satu di antaranya.
Begitu. :)
Terima kasih, Conni. Semangat!