Ditulis oleh: Unknown
Sunday, December 2, 2012
Dalam bahasa Indonesia terjadi pemolesan bahkan pemelintiran kata selama bertahun-tahun. Sejak zaman awal kepemerintahan Suharto, kata "mengamankan" punya konotasi baru yang lebih kuat, yaitu 'menangkap'. Padahal arti sebenarnya kontras secara konteks. Kata-kata yang lantas disematkan makna negatif --berkebalikan dari arti sebenarnya yang positif-- kemudian jadi kambing hitam. Setiap kali didengar atau dibaca, media menggambarkannya dengan kesan mengkhawatirkan.
Untuk memudahkan penggambaran, mari kita lihat ilustrasi berikut.
Sekitar seratusan buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Kamis (27/9). Kapolda Metro Jaya mengirimkan 1.500 personil untuk mengamankan jalannya aksi. Meski demikian, situasi tidka sepenuhnya aman karena aksi ini diduga disusupi orang-orang yang punya tujuan lain. Pihak kepolisian berhasil mengamankan dua orang yang membawa senjata tajam.
Kata 'mengamankan' pada kalimat kedua berarti mengupayakan situasi aman, melakukan tindakan antisipatif dan menjaga apa yang ada. Sementara kata 'mengamankan' pada kalimat terakhir bermakna sebaliknya: menangkap, menjauhkan dari kerumunan, menciduk, membawa ke mobil polisi agar tidak diamuk massa.
Pertentangan makna kontekstual ini lantas menjadi sematan bertahun-tahun untuk kata dasar 'aman'. Jika di suatu kampung tak pernah terjadi pencurian atau kejahatan lainnya, maka Pak RT setempat bisa berkata, "Kampung aman-aman saja." Hal membingungkan lantas terjadi saat Densus 88 berhasil 'mengamankan' dua terduga teroris di Poso. Bukankah mereka justru mengamankan kampung dan bukannya teroris? Dengan ditangkap, teroris baru saja memulai kehidupannya yang tidak aman, setidaknya dalam pandangannya.
O, pandangan.
Memang untuk beberapa kata terkambing-hitamkan seperti mengamankan, diwarnai (unjuk rasa --kericuhan) dan beberapa lainnya, sudut pandang memang berlaku sebagai pemakna konteks. Kalimat dengan konteks berbeda akan menerapkan makna yang berbeda, meski dua kata dengan makna bertentangan itu berada dalam satu paragraf yang sama.
Sekarang, nasib kata-kata kambing hitam akan ditentukan oleh bagaimana kita menggunakannya, menguatkan (meski tak harus memutihkan) maknanya secara utuh agar konteks perlakuannya tepat, meski tak semata-mata sama.
Tentang Penulis