- Beranda »
- CERITA PENDEK »
- Bayang-bayang Negeri Baru
Ditulis oleh: Unknown
Tuesday, August 2, 2011
![]() |
Ilustrasi (Bibo) |
Kakiku sudah tak bergetar sekeras seminggu yang lalu. Lihat saja, gelang perak pemberian kekasihku masih terbelit indah di satu pergelangan kakiku. Aku melihat punggung Rina yang menjauh, bersama sepuluh temanku. Mereka sudah melewati gerbang. Nampak bersemangat sekali mereka, tak menoleh sedikitpun kepada emak bapaknya yang tersedu-sedu untuk kesekian kalinya di belakangku.
“Ayo cepat! Harus semangat kalau mau kaya….” mereka berteriak.
Mengapa aku masih berdiri di sini?
Akhirnya aku membelok juga di koridor itu, tak terjangkau sedikitpun isak tangis Ibu yang melepasku pergi. Langkahku seberat tiang rumahku. Masih enggan menjauh dari tanahku. Lalu orang-orang itu? apa mereka tulus melepasku?
Ah, tak usahlah kupikirkan yang satu itu. Ia dan mereka yang selalu berseragam dan menyuapkan ratusan ribu rupiah agar bisa membawaku pergi. Lihat, ia hanya tersenyum saja. Kuyakin sebentar lagi ia langsung pergi, masuk ke mobil berpintu gesernya, lalu memutuskan hubungan dan kontak dengan keluargaku.
Aku? Sudah di atas jok empuk yang baru pertama kurasakan lembutnya. Aku kini di samping pria tambun dengan wangi tubuh yang baru kurasakan aromanya. Aku lalu disapa oleh gadis yang sedikit lebih tua dengan rok pendek dan senyuman palsunya. Tiba-tiba, aku merasa terbawa menjadi orang lain.
Di negeri baru, aku melihat gedung-gedung bercorak aneh. Patung-patungnya tak serupa dengan mimik nenek moyangku. Bunga-bunganya tak sewarna taman desaku. Orang-orangnya tak seramah para tetanggaku.
Lihat saja orang itu. Duduk menyilangkan kaki sambil memeluk prianya, lalu menciumnya dengan birahi. Atau pria berbaju panjang yang lewat di depanku, bersiul-siul melihatku dengan senyuman licik. Aku tak biasa dengan negeri baru.
Di pintu rumahku, saat disambut tiga paruh baya bergelang emas, teh dan roti setengah matang disuguhkan untukku. Kucicipi dan kuecap sambil tersenyum ke tuan rumah. Sungguh. Aku berdusta saat berkata makanannya enak. Mereka pun tertawa lalu berlalu, kembali terbelit kesibukan.
Satu pekan berjalan, udara panas menggerahkanku. Pekerjaan memberi makan ternak dan mengurus dua bayi sudah menurunkan berat badanku. Kambing-kambing dan domba-domba bersahutan pekak memusingkanku di tengah tangisan bayi-bayi.
Empat pekan, majikanku berkali-kali marah, meronta, seperti orang gila yang memaki-maki hewan. Tak berjalan di bahasa, tak bersambung dalam paham. Sungguh, aku tak mengerti salahku. Lalu seminggu berikutnya, dua lebam di lenganku.
Tak kupeduli apapun sejenak, tapi naluriku sudah gelisah, gerah, hanya tak berani sumpah-serapah. Aku mulai goyah.
“Di mana saluran telepon itu,” kataku berkali-kali kepada Rina, satu-satunya sobat yang kukenal. Tak dijawab, tak digubris. Aku terlepas dari semua yang kukenal.
Pekan kedelapan, pintu kamarku diketuk. Tak kujawab, digedor. Tak kujawab, ditinju dan ditendang lalu aku diseret keluar. Pintu depan dibuka, lalu aku diguyur di bawah hujan pukul 3 pagi. Sebagian orang sahur mengangkatku, lalu kembali melepasku. Mereka menjauh, mereka kenalan majikanku. Aku di luar, kedinginan, tertidur di samping kandang domba hingga adzan subuh berkumandang.
Sembilan pekan, badanku kerap menggigil. Kerjaku tak beres lagi. Trombositku jatuh. Detak jantungku meningkat setiap kali derap langkah di luar kamar terdengar di telingaku.
Lalu malam itu, tanpa menggedor, pintuku sudah dibuka. Kunciku sudah diambil, dan dia masuk mendekatiku. Aku berteriak tapi suaraku tak mau keluar. Tampangnya mengerikan! Sungguh, tak lebih baik dari seekor keledai atau unta tua. Jenggotnya bagaikan duri-duri kaktus yang panjang. Giginya penuh bekas kurma. Kepalanya mengkilap bagaikan adik kecil dari perutnya yang buncit. Ia mendekat. Aku merapat ke sudut ruangan. Ya Allah, tubuhku meringis, air mataku mengalir, sembari senyumannya makin tersungging. Ia melompat ke arahku, aku tertunduk. Semuanya hitam.
Lama rasanya aku tertidur.
Langit-langit kamarku berubah antik. Banyak permata bening di sana. Cahayanya berkilau, emas. Lalu itba-tiba wajah seram itu menutupi semuanya. Berlalu hitam, dengan rambut-rambut meranggas, serasa masuk ke mulutku. Aku meludah berkali-kali, tapi tanganku tak kuasa menahan perih. Makhluk itu sudah meronta-ronta di atasku. Aku sungguh tak merasakan apa-apa, hanya melihat bayang-bayang samar raksasa hitam, bergerak dan berloncatan di atasku.Ya Allah, gelang di kakiku terlepas, terulur hingga kudengar butir-butir logamnya berjatuhan di lantai. Kekasihku, tolong aku.
Aku tersentak berkali-kali, hingga akhirnya mulutku tak kuasa menahan…. lalu aku berteriak sekencang-kencangnya.
“Aaaaaaaaaa….!” Mataku kupicingkan rapat-rapat, dua telingku kubekap.
Saat kembali ke dunia, pikiran dan pendengaranku memantulkan beberapa suara. Sebagian suara riuh orang bercakap-cakap dan tertawa, sebagian suara langkah berderap-derap mendekatiku, dan sebagian terkecilnya suara namaku dipanggil berkali-kali.
Pundakku ditepuk keras.
“Ami… Ami…!”
Mataku terbuka kini. Rina di depanku. Aku melihat sekeliling, lalu aku tersadar.
Aku masih di koridor keberangkatan.
Lalu bayang-bayang tadi…. Dari mana datangnya?
***
*terinspirasi oleh kisah ST, 28/7/11.
-------------------------
Tulisan ini bisa juga dibaca di Kompasiana.
Tentang Penulis