- Beranda »
- CERITA BERSAMBUNG »
- Lorem Ipsum 1
Ditulis oleh: Unknown
Thursday, August 4, 2011
Lelaki tua itu mengutak-atik halaman bukunya. Di kamar perpustakaan itu cahaya remang tersebar dari lampu pijar bercorong yang digantung di tengah ruangan. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku tua dari barisan tingkat ketiga rak di bagian belakang ruang itu. Ia menatap buku itu sejenak, mengamati sampulnya yang bergambar peta Indonesia. Pandangannya digeser sedikit ke bagian pojok kanan bawah, lalu ia tersenyum puas.
Langkahnya terseret perlahan dengan tongkat berjalannya menepuk-nepuk lantai kayu itu. Beberapa serangga kayu berlarian saat kakinya yang berbalut kaos kaki penghangat melangkah menuju meja kerja di dekat jendela. Ia lalu menutup kerai jendela, menyamarkan suara serangga-serangga dan lolongan anjing tengah malam yang sebelumnya menyeruak ke kamarnya. Kini sedikitpun angin tak mengalir ke dalam kamar itu. Lampu berhenti berayun. Semuanya tenang.
Buku tebal itu lalu diletakkan di atas meja. Lelaki itu menyingkirkan kerta-kertas premi asuransi pensiun dan beberapa surat pribadi yang baru diterimanya. Buku itu kini terbuka tepat di tengah-tengah meja.
Lelaki itu lalu membuka sampulnya yang kaku. Cahaya berwarna kuning terpantul dari kertas buku itu lalu menyentuh lensa kacamatanya. Ia menghela napas, lalu sejenak menenangkan diri. Setelah sampul terbuka, muncullah frasa itu di hadapannya kini. Apa yang tertulis di halaman pertama, tepat setelah sampul buku berketebalan lebih dari 400 halaman itu, membuat seorang lelaki tua berbisik tidak karuan. matanya dipejamkan, rambutnya berulang kali diseka, jari-jarinya dikepalkan.
" Lorem Ipsum."
Kata tulisan tangan itu adalah satu-satunya rangkaian huruf di halaman pertama buku itu. Kini, setelah menenangkan diri dan meneguk air minum dari gelas berkaki di mejanya, lelaki itu membuka halaman-demi halaman berikutnya.
Ia lalu kembali menutup buku itu segera, menatap sampulnya yang bergambarkan peta Kepulauan Nusantara gaek, saat Malaka dan Timor-timur masih dianggap Tanah Air. Ia amati setiap bagian gambar itu. Betapa setiap inci dari peta memperbesar skala realitas struktur kehidupan.
***
Cyntia kehabisan ide. Dibolak-baliknya lembar-lembar buku tulis mininya. Usahanya selama dua jam terakhir untuk menyusun sebuah artikel tentang hubungan hobi jelajah dengan spiritualitas belum memunculkan ide tulisan apapun di benaknya. Ia menyeruput kopi es bergelas plastik itu sampai habis, lalu menghentakkannya di meja. Kakinya yang saling silang menjulur ke depan, bertumpu di atas sebuah kursi di sampingnya, kini ditarik turun. Dengan sigap pun ia merapikan rambutnya, menghela napas, lalu berdiri saat ia melihat seseorang berjalan mendekatinya.
"Pak Nugraha," sapa Cyntia sambil mengangguk dan tersenyum. Sama sekali ia tak menyangka redakturnya yang dikenal kalem itu sampai menjumpainya di taman belakang kantor tempat dirinya biasa bersantai dengan para satpam dan petugas kebersihan.
"Cyntia, sudah dihabiskan kopinya?" sapa Nugraha singkat. Sikapnya memang dikenal sigap, tak suka basa basi, dan memperhatikan detil.
Setelah sempat berbalik dan melihat gelas kopinya yang terjatuh di meja aluminium berbentuk lingkaran itu, Cyntia kembali menatap atasannya. "Sudah, Pak."
"Bagus. Tolong kamu baca ini. Nanti kasih aku pandanganmu. Seseorang ditemukan meninggal di rumahnya pagi ini."
Terheran, Cyntia protes. "Maaf, pak. Tapi, bukannya pembunuhan itu urusannya...."
"Redaksi kriminal. Tapi apa yang diduga motifnya bisa jadi bahan materi berita sekaligus pelajaran buat redaksi kita. Bersiap-siaplah." Nugraha lalu berlalu.
Di tangan Cyntia kini, terpegang bundel berbentuk map berisi beberapa kertas. Di sampul map itu terdapat gambar Kepulauan Nusantara. Merasa mendapatkan angin segar setelah idenya buntu selama dua jam terakhir. Cyntia duduk lalu membuka map itu. Apa yang tertulis di berkas-berkas itu membuatnya terkejut. Air mukanya berubah suram.
Map itu berisi beberapa berita kematian misterius yang terjadi di satu sektor Jakarta Selatan selama tujuh tahun terakhir. Cyntia membuka halaman demi halaman, mencermati foto-foto korban satu per satu.
Ini tokoh politik yang terkenal itu. "Ditemukan tewas di dalam sumur dengan posisi kepala di bawah." Ia berbisik kepada diri sendiri.
"Anabelle, 25. Pengusaha emas asal Singkawang. Tewas dengan bekas luka senjata tajam di tiga bagian tubuhnya." Yang ini anak kecil lima tahun. Apa hubungannya?
Kebingungan dengan apa yang baru saja dibacanya, ia lalu bergegas merapikan kembali map itu. Tapi baru saja ia mau menutupnya, pandangannya menangkap simbol aneh di berupa anagram di pojok atas sebuah foto korban. Dalam foto itu, di samping kepala mayat korban, tergeletak sebuah buku bergambar Kepulauan Nusantara. Ia lalu membuka foto-foto lain. Di semua foto itu, terselip bayangan gambar sedikit bagian yang ia tahu adalah buku, sama dengan apa yang ada di foto yang lain. Ia membuka-buka lagi semua foto, meyakinkan dirinya, tangannya mulai gemetar. Lalu ia terjatuh di kursinya. Semua foto itu menampilkan buku tebal tua, bergambar sama pada sampulnya. Dan semua korbannya tewas secara tidak wajar.
Koridor lantai tiga Kantor Kompas Gramedia nampak lengang. Hari kerja di minggu selepas musim lebaran memang selalu seperti ini. Sebagian pegawai dan jurnalis yang berasal dari luar Jakarta belum kembali. Mereka terbawa suasana kehangatan keluarga dengan bermudik. Tradisi elok yang hanya dimiliki Kepulauan Nusantara sejak dulu. Cyntia sendiri harus melawan rasa melankolisnya dan mengejar logikanya yang senantianya menyadarkannya tentang dua hal yang paling dicintainya: pekerjaan sebagai jurnalis, dan hobi sebagai penjelajah Nusantara.
"Eh, Cyntia.... Kau sudah di sini rupanya." Suara itu menyadarkan Cyntia dari lamunannya. Ia sontak berdiri dari kursi tunggu di depan kantor redaktur. Nugraha berjalan keluar dan menyapanya. "Sudah mengerti maksud saya tadi? Hubungannya?"
"Sudah, Pak. Saya bertanya-tanya kenapa..."
"Iya saya mengerti. Ayo. Kita bicarakan di mobil."
"Kita mau kemana, Pak?"
"Ke TKP."
Di dalam mobil yang melaju membelah kota Jakarta itu, Cyntia lagi-lagi tenggelam dalam lamunannya. Ia membayangkan bagaimana bisa profil anak kecil masuk ke sebuah berkas korban pembunuhan yang tidak terungkap. Ia mengangkat alis, beberapa kali menyadarkan pikirannya sendiri. Ia lalu tersenyum.
"Karimun Jawa masih tenteram ya, Cyntia."
"Hm?"
"Karimun Jawa..." Nugraha berusaha membangun topik pembicaraan. Selama lima belas menit terakhir perjalanan mereka terjebak dalam diam. Nugraha memang dikenal sebagai orang yang bersimpati, meski ia seringkali menunjukkannya dengan caranya sendiri yang oleh banyak rekannya dianggap ortodoks. Di mata bawahannya, ia beberapa kali bahkan dicandai bahwa sebaiknya ia bekerja di London, karena gayanya yang khas para pejabat kelas tinggi di Eropa. Santun tapi tak bertele-tele, berbicara hanya untuk hal-hal yang penting, dan kata-katanya terpilih.
"Karimun Jawa masih eksotis, Pak. Selain masalah terumbu karang yang berkurang dan pekerjaan warga yang masih monoton, semuanya apik sebagai objek wisata." Cyntia berkomentar melayani sodoran topik yang ia tahu sebenarnya hanya untuk membangkitkan semangatnya.
Nugraha tersenyum.
"Sepertinya kau benar-benar tertarik dengan kasus ini ya, Cyntia."
Cyntia menatap atasannya itu dengan sigap. Benaknya pada nyatanya masih meraba-raba hal apa yang akan ditemuinya dengan awal perjalanan ini.
"Well, kurasa kita sudah sampai."
Mobil SUV berwarna gelap itu lalu diarahkan oleh petugas parkir berseragam rompi oranya dengan beberapa sempritannya. Nugraha turun dari mobil, diikuti Cyntia. Beberapa pedagang asongan langsung menghampiri mereka, menawaran minuman dingin.
"Es teh?" Nugraha menawarkan kepada Cyntia. Tapi Cyntia menggeleng sambil tersenyum.
Mereka lalu berjalan ke arah halaman sebuah rumah putih berpagar tinggi. Rumah itu bertingkat tiga dengan gaya lebih mirip istana kecil. Taman luasnya ditutupi rumput halus dan dihiasi sebuah kolam air mancur. Nugraha dan Cyntia butuh hampir setengah menit agar sampai di ambang pintunya. Di atas pintunya, tertulis "Puri Hargo".
Mereka memijakkan kaki di teras keramik rumah itu, menunduk melewati garis polisi, menyapa beberapa bripda yang berjaga, lalu masuk melalui pintu utama.
"Inilah rumah Profesor Cipto Hargowinoto. Profesor sejarah UI, pensiun, seorang filantropis."
"Ada apa, Cyntia?" tanya Nugraha saat melihat rekannya berhenti melangkah.
"Tidak apa-apa, Pak. Ini baru pertama kali saya ke TKP kriminal."
Nugraha tersenyum, lalu menggamat tangan Cyntia.
"Eh, Pak..."
"Sudah, tidak-apa-apa."
Ruang utama rumah itu ditata rapi. Furniturnya nampak klasik meski tak begitu padat. Hanya ada empat kursi panjang berbalut kain Turki, meja berkaki pendek, dan empat lukisan besar. Di tengah-tengah ruangan menghadap koridor belakang, berdiri tangga melingkar menuju lantai dua. Nugraha dan Cyntia berkeliling mengamati rumah itu sejenak. Beberapa petugas forensik memperhatikan mereka, meski tahu bahwa mereka adalah peliput. Kamera Nikon dengan lensa berukuran sedang tergantung di leher Cyntia, dan kartu identitas PERS-nya pun masih kelihatan jelas meski terhimpit di antara ujung bawah kaos dan bagian paha celana jins-nya.
"Ha... Pak Nugraha!"
Seorang berseragam polisi menyambut mereka berdua. Orang ini masih kelihatan tinggi sebagaimana Nugraha mengingatnya, perut agak tambun, dengan senyuman nampak ramah dengan kumis tebal terbelah.
"Pak Susno," balas Nugraha sambil menyambut tangan inspektur.
"Apa kabar Kompas?"
"Baik, Pak. Kok sudah jarang main ke kantor?"
"Ya... Saya cuma datang ke kantor media karena dua hal: diundang wawancara, atau kalian ada kasus." balas inspektur dengan nada bercanda.
Nugraha tertawa, sementara Cyntia hanya tersenyum.
"Oh iya, Pak. Kenalkan ini jurnalis yang saya bawa. Cyntia, ini..."
"Inspektur Susno, bareskrim Polri. Pensiun tahun 2013 mendatang kan Pak?"
Inspektur dan Nugraha terkejut mendengar tebakan Cyntia itu.
"Baik. Kalau begitu... Pak, Bisa di mana kita bisa wawancara?" tanya Nugraha kepada inspektur mengembalikan fokus.
"O, sini mari. Silakan. Maaf karena forensik baru saja membawa mayat. TKP masih tertutup."
Mereka bertiga lalu menuju sebuah ruangan di bagian belakang, melewati tangga melengkung, berjalan menembus koridor ke arah dapur.
"Jadi dugaan sementara bunuh diri ya," tanya Nugraha saat mereka sudah duduk bersama di sebuah meja dapur.
"Iya, tidak ada tanda-tanda penganiayaan, bunuh diri," jawab inspektur Susno sambil mengeluarkan tiga air mineral berkemasan gelas dan menaruhnya di meja.
"Bagaimana dengan buku itu, Pak? Disita juga?"
"Hahaha.... Pak Nugraha. Anda ini jurnalis jelajah sih ya, jadi kurang mengerti. Saya mafhum." Nada bicara inspektur mendadak berubah agak menyindir. Nugraha membalasnya dengan tersenyum, sementara Cyntia menahan tawanya.
"Istilah 'disita' hanya jika berhubungan dengan tersangka. Kita belum ada tersangka. Bukunya dibawa untuk investigasi saja."
"Tapi sempat difoto kan, Pak? Bukunya?"
"Em... itu. Coba saya tanyakan." Inspektur Susno lalu memanggil salah satu petugasnya, yang kemudian datang membawa kamara hitam berukuran sedang, mirip dengan yang dibawa Cyntia.
"Nah, ini dia... foto korban."
Nugraha berdiri lalu mencondongkan badannya, melihat layar kamera yang ditunjukkan oleh inspektur. Cyntia ikut memeriksa.
"Ini.... Mirip dengan foto-foto itu," komentar Cyntia sambil melihat ke arah Nugraha.
"Memang, posisinya sama. Tapi kita belum bisa menyimpulkan ada kaitannya atau tidak dengan kasus Lorem Ipsum." jawab inspektur.
"Lorem Ipsum?" Cyntia bertanya balik.
Inspektur menatapnya serius. "Jadi mbak ini belum tahu ya? Nugraha, Anda belum cerita?"
Nugraha berdecak. "Saya baru mau ceritakan."
"Mbak penjelajah Nusantara kan? Sudah dapat penghargaan baru-baru ini dari Kementerian Pariwisata?" tanya inspektur dengan nada ragu.
"I.. iya, Pak."
"Nah! Kalau begitu kasus ini cocok. Polisi butuh pandangan rasional juga, meskipun tidak tersistem dalam BAP ataupun berkas hukum nantinya. Sebagaimana kalian ketahui. Dia ini adalah korban kedelapan. Dan pak tua ini satu-satunya korban bunuh diri yang sidik jarinya ditemukan di buku yang tergeletak di sampingnya.
"Berarti semua korban sebelumnya, buku-buku yang tergeletak di samping kepala mereka, ada di kepolisian?"
"Ya, bukunya ada tujuh. Dengan ini berarti delapan. Semuanya sama. Bersampul tebal, bergambar Kepulauan Nusantara. Isinya berisi catatan-catatan perjalanan di setidaknya dua puluh provinsi dan belasan pulau perbatasan." inspektur menjelaskan.
"Tapi dengan ditemukannya mayat kedelapan ini, kasusnya jadi makin panjang. Padahal kasus ini sudah kami tutup satu bulan yang lalu."
Cyntia menatap layar monitor di kamera itu sekali lagi. Gambar yang dilihatnya itu, seorang kakek berpakaian tertutup dengan rompi terbuat dari wol yang nampak bersih. Tidak ada tanda-tanda kekerasan. Buku itu, tergeletak di atas sebuah meja kayu.
"Maaf, pak. Korban bunuh dirinya dengan cara apa?" Cyntia bertanya, memotong pembicaraan ringan antara Nugraha dan inspektur. "Gantung diri," jawab inspektur singkat.
"Sayang sekali profesor sekaya beliau tinggal tidak bersama kaluarganya. Menyedihkan mati tanpa seorang keluargapun mendampingi." Nugraha berkomentar ringan.
Saat mereka meninggalkan rumah itu, Cyntia kembali tenggelam dalam pikirannya.
Jelajah Nusantara, Buku catatan perjalanan, Lorem Ipsum, bunuh diri berantai. Apa hubungannya?
(bersambung...)
*Ilustrasi: teddy-o-ted.com.
Tentang Penulis
sip om
ReplyDelete