- Beranda »
- CERITA BERSAMBUNG »
- Lorem Ipsum 2
Ditulis oleh: Unknown
Friday, August 5, 2011
"Maaf aku belum sempat memberitahumu tentang kata itu." kata Nugraha sambil menarik kursi plastik di depannya.
Suasana kafe pinggir jalan seperti ini memang selalu didambakan insan profesional untuk menyegarkan pikiran mereka. Melepaskans sejenak roh yang panas dan mengalirkan darah segar ke otak. Kafe Mutia di sudut persimpangan Jenderal Sudirman itu selalu memanjakan orang-orang di Jakarta. Bukan cuma karena posisinya yang strategis, tapi juga suasana romansanya yang sarat dedaunan rimbun merambat dan suara lonceng bambu yang menenangkan. Nugraha mengambil posisi duduknya, berhadapan dengan Cyntia yang duduk di sisi lainnya.
"Kata?" komentar Cyntia sambil menyeruput jus melonnya melalui sedotan melengkung.
"'Lorem Ipsum'. Inspektur Susno menamakan kasusnya dengan itu. Ketujuh buku, delapan sama yang barusan, berciri sama, meski isinya berbeda-beda dalam penyajian tulisan. Semua tentang jurnal perjalanan keliling Indonesia yang pernah melalui banyak daerah. Di dalam tujuh buku yang pernah aku baca atas izin inspektur, ada beberapa nama yang sepertinya adalah warga kampung setempat, daerah-daerah yang pernah didatangi oleh penulisnya."
"Siapa penulis buku-buku itu?" tanya Cyntia sambil melipat lengannya di atas meja.
"Entahlah, Cyn," jawab Nugraha sambil menghela napas. "Yang jelas, meninggalnya delapan orang ini pasti ada kaitannya dengan buku itu. Meski polisi menetapkan belum ada tersangka, tapi tetap saja aku merasa ada yang ganjil."
"Sebentar...," Cyntia menginterupsi sambil mengangkat telunjuknya. "Dari berkas yang kubaca tadi, ada satu korban yang jelas-jelas dibunuh. Meninggal dengan luka sobek bekas senjata tajam."
"Anabelle? Pedagang emas asal Singkawang itu?"
Cyntia mengangguk.
"Itupun polisi belum tahu tersangkanya. Tentu saja di depan wartawan media kriminal mereka mengaku sudah mengetahui dan sedang dalam pengejaran tersangka. Tapi pengakuan pribadi inspektur Susno kepadaku, mereka belum sejauh itu."
"Jadi semuanya tetap misteri ya...." Cyntia kembali jatuh dalam pikirannya.
"Anyway, Cyntia. Bukan seharusnya ini menjadi urusanmu, masalah kriminal ini. Kau santai dulu sejenak. Nikmati suasana di sini. Lagipula, aku senang kau bisa enjoy berangkat bersamaku dan tidak terlalu kaku."
Cyntia melirik Nugraha penuh selidik.
"Cyntia, ayolah. Kita berteman sudah lama. Jadi kalau di luar begini, jangan kau terlalu sering panggil aku dengan 'pak'. Itu memberi kesan aku jauh lebih tua," timpalnya sambil tersenyum.
Cyntia balas tersenyum.
"Justru aku yang berterima kasih karena sudah dilibatkan secara profesional dan personal dalam hal ini, Nugraha. Tenang saja. Di luar sini, aku bahkan berani memiinta kamu membayar makanan dan minuman."
"Hahaha.... itu juga boleh." Nugraha menggerak-gerakkan telunjuknya.
Suasana cair sejenak, dan mereka menyantap kentang goreng dan beberapa kerupuk di meja itu. Cyntia nampak lebih rileks sementara Nugraha tetap tenang seperti biasanya. Ia tahu betul bahwa tanggung jawabnyalah untuk menjaga suasana tetap nyaman agar rekan kerjanya bisa berpikir lebih jernih.
"Ngomong-ngomong, Lorem Ipsum itu.... aku sering ketemu kata itu di internet." Cyntia mengungkapkan pikirannya kembali.
"Iya. Itu kata yang tidak berasal dari induk bahasa manapun. Sebagian kalangan dunia mengatakan bahwa lorem ipsum berasal dari Bahasa Latin, tapi sebetulnya asal muasal kata itu sendiri tidak begitu jelas. Satu sumber mengatakan bahwa seorang profesor Bahasa Latin dari Hampden-Sydney College di Virginia pernah mendapatkan sumber yang dianggapnya akurat saat berusaha mencari makna dari sebuah kata latin yang paling tidak dikenal, yaitu "concectetur". Nah, Profesor ini berusaha bertahun-tahun hingga akhirnya menemukan kata itu tertuang di dalam naskah de Finibus bonorum et Malorum atau yang dikenal dengan "Sisi Ekstrem dari Kebaikan dan Kejahatan", karya sastrawan terkenal, Cicero dari tahun 45 Masehi. Baris pertama dari Lorem Ipsum, yang bunyinya :"Lorem Ipsum dolor sit amet", berasal dari salah satu bagian naskah yang disebut sebagai 1.10.32. Selanjutnya hingga 200 tahun setelahnya, lorem ipsum dipakai sebagai penanda model penempatan kalimat pada sebuh halaman tulis, yang sekarang banyak dipakai di desain-desain program web dan blog."
Cyntia menyimak setiap uraian Nugraha. Ia tak bergeming sedikitpun.
"Dari mana kamu tahu semua itu?" komentarnya kemudian.
"Well, masih banyak yang perlu kamu tahu tentang aku, Cyntia." Nugraha mengedipkan satu matanya.
"Lalu, apa rencana kita setelah ini?"
"Yang jelas, kamu aku tugaskan membuat reportase lengkap tentang semua ini. Seharusnya ini bisa jadi berita feature, tapi entah siapa sumber nyata yang bisa kita liput. Untuk sementara kita biarkan teman-teman dari Redaksi Kriminal mengasah beritanya sambil kita belajar dari sana. Tujuan utama kita hanya buku-buku misterius itu."
"Yang jelas itu tentang Indonesia," komentar Cyntia.
"Bisa iya, bisa juga tentang Nusantara purba."
Cyntia menghela napas. "Jadi, kalau begitu aku juga ditugaskan membaca tulisan-tulisan tentang James Richardson Logan?"
"Kalau perlu, tapi aku yakin kamu bisa melakukan ini. Cyntia, dengarkan ini." Nugraha mendekatkan dirinya ke Cyntia.
"Ini akan menjadi berita perjalanan jelajah Nusantara terbaik. Media-media lain bersaing untuk mendapatkan informasi. Syukurnya kita punya inspektur yang bisa membantu kita dengan buku-buku itu. Manfaatkan sebaik-baiknya. Mengerti?" Tiba-tiba pandangannya berubah tajam. Cyntia diam sejenak.
"Saya mengerti, Pak."
Melihat reaksi rekannya itu, Nugraha tersenyum.
***
Dalam perjalanan pulang sore itu Cyntia berusaha menenangkan diri. Radio yang memutar lagu Starlight karya Muse membuatnya bisa sedikit bersenandung dan menggerak-gerakkan kepala. Kemacetan dan suhu ekstrem membuatnya sedikit gerah. Beberapa kali ia harus meneguk cairan ion dalam kemasan botol itu untuk menyegarkan pikirannya. Lalu saat berhenti di tengah antrean kendaraan, ia dikejutkan oleh selebaran yang tiba-tiba ditempelkan di kaca depan mobilnya. Ia memperhatikan isi selebaran yang terpasang menghadap pengemudi itu.
Lagi-lagi kata itu. Ada apa denganku hari ini?
Tulisan di selebaran berwarna merah hasil fotokopian itu berbunyi Lorem Ipsum. Pertunjukan di teater utama Fakultas Seni dan Budaya UI. Waktunya tertanggal hari ini, tepatnya malam ini.
Cyntia lalu meraih selebaran itu dengan tangannya melalui pintu. Sejenak ia mencari tahu siapa penyebar informasi itu, hingga ia melihat beberapa mahasiswa berkeliling membagikan selebarn informasi teater mahasiswa itu.
"Diangkat dari kisah nyata, jurnal perjalanan Nusantara yang tersembunyi...." kata-katanya mengikuti apa yang tertulis di selebaran itu.
Cyntia bergegas pulang, namun kemacetan belum berakhir. Ia memilih menghabiskan waktu dengan musik. Selebaran itu terlipat rapi di dasbornya.
***
"Halo...? Nugraha? Bisa keluar malam ini?"
Cyntia sudah berdandan rapi sebagaimana layaknya pemudi penggemar teater. Kemampuannya menyesuaikan gaya memang selalu dipuji. Kali ini setelan celana jins ketat dipadu dengan kaos dan rompi bergaya santai yang terbuat dari katun dan beberapa asesori di leher dan pergelangan tangannya membuat Cyntia nampak bak seorang siswi perguruan tinggi yang hedon. Ia mondar-mandir di halaman depan rumah kontrakannya.
Telepon ditutup. Cyntia lalu bersiap-siap, mengunci rumah, lalu berangkat dengan mobil Sirion andalannya.
Suasana malam kota Jakarta lebih lembab, meski udaranya masih hangat. Hujan lokal di beberapa daerah kota membuat jalanan nampak kontras basah dan sebagian lainnya kering. Mobil itu melaju membelah jalan-jalan poros yang tak pernah sepi, mewakili urat-urat nadi kota metropolitan yang terus bernapas.
Perjalanan hampir satu jam itu kemudian membawanya menembus gerbang masuk Fakultas Seni UI. Di kawasan parkir, setelah turun dari mobil dan mengambil tiket dari petugas parkir, ia merogoh telepon genggamnya yang bergetar.
"Halo? Nugraha? Oo... gitu. Ya. Tidak apa-apa. Biar saya laporkan lagi besok. Bye."
Cyntia berjalan memasuki auditorium. Setelah membeli satu tiket, ia mendapatkan tempat duduk di barisan tengah, sehingga dari posisinya ia dapat melihat jelas panggung berukuran dua kali panjang lapangan bulutangkis itu.
Pertunjukan dimulai.
Adegan menunjukkan seorang pria paruh baya yang mendarat di sebuah kampung yang ditata mirip Nias, lengkap dengan batu loncatnya.
"Halo, kampung Nias orang pemegang adat." kata tokoh berambut pirang itu.
Lalu beberapa tokoh lain menghampiri dan menunduk di depannya.
"Di mana hadiah untuk saya?" kata tokoh pirang itu lagi. Gayanya yang nampak berkuasa membuat tokoh-tokoh lain mengikut kemanapun ia melangkah. "Negeri ini akan dibangun oleh orang-orang luar dengan bantuan kalian. "Beritahu kami rahasia tempat ini...."
Cyntia memperhatikan adegan demi adehan. Beberapa kali ia mencatat poin-poin yang dikiranya penting. Di buku tulis mininya yang bergambar kartun gadis peselancar itu, ia menulis beberapa kata, seperti:
"Logan", "Nias", "Dayak", "Bugis", "Tiongkok", "Karimunjawa", dan "Rahasia di balik nama".
Adegan-adegan berikutnya tak begitu menarik perhatian Cyntia. Ia beberapa kali menguap dan nyaris jatuh dalam tidur. Tapi ia melewati malam itu dengan beberapa hal yang ditangkapnya.
"Lalu penyampaian pesan akan dilewatkan atas buku-buku dan nama-nama!" Tokoh itu kembali berteriak. Efek cahaya, suara, dan sedikit asap menandai klimaks pertunjukan ini.
Cyntia lagi-lagi mencatat.
Dua jam kemudian, ia sudah kembali di dalam mobilnya.
***
Cyntia terbangun dari tidurnya. Matanya sayup-sayup melihat kain jendelanya yang berkibar ditiup angin pagi dari lubang-lubang di sampingnya. Hari Minggu terkadang menjadi kesempatan baginya untuk bersantai, namun telepon ia harus terbangun lebih cepat. Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Ia meraihnya dengan malas.
"Cyntia! Syukurlah kamu sudah bangun." kata suara di seberang sana.
"Ya iya lah aku sudah bangun. Pagi-pagi sekali. Ini hari minggu. Ada apa?"
"Cyntia, ada pemuda yang menghubungi nomor teleponku dini hari tadi. Ia mengaku sebagai anak dari Profesor itu."
Cyntia terkejut. Ia lalu bangkit dan duduk di kasurnya.
"Anaknya? Maksudmu Prof. Cipto? Almarhum?"
"Iya. Datang ya. Jam sembilan. Aku tunggu di ruangan redaksi."
"Jam berapa? Halo?" Telepon terputus.
Pagi itu Cyntia bergegas. Kembali ia memacu mobilnya membelah jalan-jalan kota menuju kantornya di kawasan Palmerah Selatan. Setelah melewati dua lantai yang lengang, ia menaiki tangga menuju lantai tiga. Saat berjalan melewati koridor berpendingin ruangan itu, ia berpapasan dengan seorang pemuda.
"Mbak Cyntia Megasari ya?" sapa pemuda itu.
Cyntia mengangkat wajah lalu mendapati sosok itu, pemuda jangkung dengan pakaian tak begitu rapi. Dari penampilannya itu Cyntia bisa menebak ia masih mahasiswa atau pekerja lapangan. Pemuda itu mengenakan kemeja merah bermotif kotak dengan lengan panjangnya yang digulung hingga ke siku serta kancing-kancingnya tidak saling terkait menampilkan langusn kaos bergambar aneh yang dipakai di dalamnya. Pandangannya melirik ke bawah, lalu melihat penampilan santai pemuda itu dengan celana sobek di bagian lutut bertopang sneaker bertali.
Pandangannya kembali menatap wajah pemuda itu yang tirus dengan tulang-tulang pipi menonjol dan senyuman ramah cenderung polos.
"Iya, betul. Siapa ya?" sambut Cyntia sambil membalas jabat tangan pemuda itu.
"Saya Hendrik, anaknya Pak Hargo."
"O... Hendrik. Saya Cyntia. Turut berduka ya. Sabar dan tabah," hibur Cyntia sambil tersenyum.
Mereka lalu duduk berdua di bangku panjang di depan ruang redaksi. Tak lama kemudian, Nugraha keluar dari ruangan itu.
"Eh, sudah sampai. Terlalu cepat, datangnya Cyntia," komentarnya. "Maaf semalam saya tidak bisa datang." "Tidak apa-apa. Saya tadi tidak dengar persis disuruh datang jam berapa, Pak. Jadi segera saja saya ke sini." "Mari, kita langsung ngobrol di dalam saja." Nugraha mempersilakan masuk.
Cyntia lalu bangkit dari kursinya, lalu sesaat ia menangkap momen menyadari tingkah laku serta perhatian aneh yang diberikan Hendrik, pemuda yang baru memperkenalkan diri kepadanya. Hendrik begitu memberi ruang bagi Cyntia. Ia memperhatikan Cyntia bangkit dari kursi, lalu mengikuti dari belakang. Melihat itu, Nugraha yang sudah mafhum dengan sikap seksual anak muda sejank bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran Hendrik.
"Bisa tolong rahasiakan pertemuan ini?" pinta Hendrik tiba-tiba saat mereka baru hendak duduk di sisi sebuah meja pertemuan.
"Tentu," kata Nugraha.
"Saya mohon, tolong kembalikan buku-buku ayah saya. Biar saya yang menyimpannya. Itu adalah karya-karya ayah yang pertama berdasarkan pengalaman sendiri." Kini nada suaranya sungguh memohon.
"Maksudmu, buku-buku apa? Yang ada di kepolisian?"
"Ya. Tujuh buku bergambar Nusantara itu ditulis oleh Ayah saya. Profesor dulu orang yang kolot meski kecerdasannya tak tertandingi di fakultas. Tapi kecerdasan membuatnya jarang bersosialisasi. Perjalannya selama dua bulan ke 26 provinsi yang diulang beberapa kali dalam sepuluh tahun terakhir membuatnya sungguh mencintai buku-buku itu."
"Lalu buku kedelapan?" tanya Cyntia tiba-tiba. Kini mereka bertiga sudah duduk mengelilingi meja berkaki rendah.
"Buku kedelapan? Saya tidak pernah mendengar ada buku kedelapan," kata Hendrik terkejut.
"Almarhum Profesor ditemukan dengan satu buku yang sama dengan ketujuh buku di kepolisian. Jadi semua ada delapan buku."
"Tidak mungkin." protes Hendrik. "Saya yang mengurus penulisan serta penjilidan buku-buku ayah. Bukunya hanya ada tujuh, dan itu adalah sumber harta...." kata-katanya terputus.
"Harta?" potong Nugraha dengan pandangan menyelidik.
"Itu...." Hendrik tertunduk. Tangannya saling meremas. "Itu bagian dari rahasia keluarga kami. Maaf."
Nugraha mengangguk. Cyntia melirik kedua orang di depannya bergantian. Di benaknya, semua masalah ini bertambah kompleks. Kini seorang pemuda yang mengaku sebagai anak dari salah satu korban, datang membawa fakta yang mengejutkan.
Mengapa ada delapan buku kalau anak ini mengaku hanya menyaksikan tujuh? Apakah sebelumnya profesor pernah menulis buku yang sama?
(bersambung....)
Tentang Penulis