Malam ini sudah sebelas hari puasa terlewati dengan serangkaian aktivitasnya. Aku berpendapat bahwa kemenangan sebetulnya sudah diperoleh sebagian kita bahkan sebelum lebaran tiba. Apa yang kulihat malam ini, menegaskan hal itu.
Saat tarawih di salah satu masjid yang tidak terlalu besar di pinggir jalan, sempat buyar konsentrasiku di sela-sela rakaat. Suara anak-anak itu tak ayal menyamarkan suara imam dengan lantunan ayat-ayatnya. Jengkel rasanya hatiku saat itu. Buyar konsentrasiku, entahlah kalau khusyu' sempat kucecap dan kucapai atau tidak, hanya Dia yang tahu. Tapi mereka ini....
Pikiranku melayang ke masa kecilku ketika aku menjadi anak pendiam dan menurut saja apa kata orangtua di masjid. Naik turun menyembah, berdiri duduk rukuk dan sujud. Tak ada kembang api, tak ada petasan, tak ada makanan atau minuman manis. Salat ya salat. Itu juga karena memang naluriku tak meminta banyak meski kusadari aku masih kanak-kanak.
Malam ini, setelah salat bubar, aku menatap anak-anak ini dengan lurus. Mereka saling colek dan saling senggol saat Imam mengomandoi rakaat tarawih. Mereka berteriak seakan masjid adalah taman bermain mereka. Tak ditegur, tak juga dipuji. Mereka enjoy saja.
Setelah melangkah keluar, kaget aku melihat apa yang tertata di pinggir teras itu.
Sandal-sandal jamaah teratur rapi, berbaris sesuai pasangannya, dan sudah menghadap ke jalan, siap disusupi sepasang kaki pembawanya. Sempat batinku sangsi tapi logika meyakinkanku bahwa anak-anak inilah yang menyusunnya. Mana mungkin jamaah dewasa selesai salat langsung mengatur sandal-sandal?
Inilah yang kusebut dengan mereka yang menang, ketimbang aku. Untuk kesekian kalinya, aku berada di pihak kalah. Kubu yang terlalu memaksakan logika untuk menyamarkan Kekuasaan Tuhan mengatur semuanya sedemikian rapihnya hingga tak ada sesuatu halpun yang sia-sia.
Anak-anak ini, mengajarkanku hal penting, bahwa berbuat lebih bisa menyeimbangkan kebebasan mulutmu berteriak.
Tentang Penulis