Tidak jelas dari mana datangnya, sajadah itu tiba-tiba terhampar di lantai, beberapa senti dari kakiku. Padahal, aku baru mencari-cari satu dari tiga sajadah yang terlipat entah di mana di ruangan itu. Kejadian subuh hari ini (29/8/2011) benar-benar membuatku berpikir tentang kekuasaan Allah sebagai Tuhanku. Sejenak kuberpikir saat itu, "Apakah benar sajadah itu terhampar dengan sendirinya agar aku segera berdiri di atasnya untuk salat?"
Sudah dua minggu asrama kutinggali sendiri. Meski beberapa teman kadang datang bertamu hingga sehabis tarawih, waktu sahur dan subuh hari selalu kunikmati sendirian di ruang tamu itu, berbaring di depan tivi menunggu waktu subuh atau ketiduran. Setelah mengambil air wudhu, kucari-carilah sajadah berwarna biru yang biasa kupakai. Tentu saja aku mengingatnya malam sebelumnya sajadah itu terlipat rapi bersama dua sajadah lain.
Saat mengarah ke bufet tempat biasanya terlipat, tidak kuemukan satupun sajadah. Lalu ketika berbalik belakang dan baru melangkah satu kali, kagetnya aku karena di atas lantai sajadah berwarna merah sudah terhampar lurus mengarah ke kiblat. Tak kuberpikir panjang dan menerima saja keanehan itu. Pikirku, memang Tuhan seringkali menunjukkan kehadirannya dengan cara-cara yang sedikit tegas agar hambanya sadar.
Bagiku, keanehan kecil ini adalah peringatan bahwa Allah masih memberikan satu kesempatan terakhir di Ramadan 1432 H untuk beribadah, mengingat kegiatan ibadah ramadanku kurang berjalan optimal. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Dan jika memang Allah-lah yang menegurku dengan selembar sajadah, maka akan kuikuti, agar semoga aku lebih baik.
Satu lagi. Meski aku tinggal dan berlebaran sendirian, aku harus yakin bahwa Allah menemaniku untuk menunjukkan banyak kemeriahan yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang berlebaran dalam kedekatan keluarga.
Catatan akhir Ramadan 1432 H.
Tentang Penulis