Ada banyak kejadian berkesan saat merayakan takbiran 1432 H dua hari yang lalu. Pengalaman hari sebelumnya sudah kutuliskan di sini. Yang lainnya, adalah ketika bertakbir bersama jamaah Masjid Nusantara Seturan selepas salat Maghrib. Saat itu, dalam nada-nada takbir yang kukumandangkan mengikuti arahan imam, ada sesuatu yang akhirnya kusadar, yaitu bahwa suara takbirku adalah suara bapakku. Mengapa?
Tentu saja karena kusadari betapa mirip suaraku dengan suara bapak. Dari ketinggian nada yang bisa kucapai saat bersuara rendah dan lirih, dari batasan pekikan ketika kuberteriak, atau suara saat kupaksakan berbicara dengan nada bass. Penurunan genetik adalah rahasia Penciptaan yang hingga saat ini diungkapkan baru sebagian kecilnya saja.
Masih banyak keajaiban-keajaiban yang merunut pada petunjuk betapa satu manusia dengan yang lainnya adalah keluarga.
Bapak adalah seorang yang kalem, sama sepertiku di saat-saat tertentu. Saat memoriku melompat jauh ke tujuh sebelas tahun lalu, saat malam tarawih itu aku masih dibonceng sepeda oleh Bapak ke masjid taqwa, masjid terbesar di kampung, aku lebih banyak melihat mulut bapak bergerak-gerak mengikuti suara takbir. Kubaca gerakan bibir bapak yang sayup-sayup waktu itu. Akhirnya takbir itu bisa aku hapal.
Sekarang, di tempat yang jauh dari bapak, kurasakan semangatnya di suaraku, bahwa meskipun aku akan jauh berbeda dengannya kelak, kalaupun begitu, aku tetap akan menjadi dia di satu bagian kecil raga dan jiwaku. Dan entah saat ini bapak sudah menyadarinya atau belum, tapi aku beranjak dewasa dan semakin mirip dengannya, meski aku sudah mendeklarasikan akan mencari banyak jalan yang belum pernah ditemuinya saat seusiaku dulu.
Aku banyak belajar dari bapak, tapi cukup tulisan ini kusudahi sejenak. Akan banyak tercipta buku jika harus kutuliskan sifat-sifat bapak yang menginspirasi kehidupanku 21 tahun terakhir ini.
Tentang Penulis
Salam buat Sang Ayah yang kalem...
ReplyDeletebaiklah akan disampaikan. trims, Armand untuk mapir2-nya. newbie.. :D
ReplyDeletesalam buat bapak ya Kakak....
ReplyDeleteselalu saja bermakna kl baca tulisan kak Fandi, whoalahh masi 21 taun tohh...pantes brondong :lohhhh
"biar tulisan2ku yg mengajariku" ;)
ReplyDeletetrims komentar dan cengengesnya, Dek Chacha...
ini aku dmana2 dibilang brondong mau tak beliin popcorn aja smua biar diem.. :D