Ditulis oleh: Unknown
Sunday, September 4, 2011
Hidup ini adalah jalan. Hidup ini adalah terowongan. Hidup ini adalah tangga. Hidup ini adalah sungai. Hidup ini adalah bangunan tinggi. Hidup ini adalah sangkar. Hidup ini adalah arena pertandingan. Hirdup ini adalah halaman-halaman buku. Terlalu banyak analogi dan definisi untuk menggambarkan hidup. Sampai kapanpun analogi itu akan terus berkembang tergantung seberapa cerdasnya manusia menerjemahkan jalan hidupnya sendiri, bukan jalan hidup semua orang. Begitu pula ketika kutuliskan sesuatu tentang hidup di sini, adalah definisiku sendiri. Sepanjang waktu, kehidupan akan berjalan sampai batas akhirnya. Waktuku tak banyak, tapi terkadang kata-kata itu jadi absurd karena sejatinya tak pernah kutahu sampai kapan waktuku.
Lalu kudapatkan sedikit jawabannya hari ini. Cinta.
Dalam perjalanan hidupku selama 21 tahun terakhir, tentu saja ada banyak cinta yang kurasakan, meski mengantarkan pesan dengan banyak cara, pahit dan manis. Lalu saat kufokuskan melihat waktu sekarang (present), merasa bersalah sendiri, kepada diri sendiri. Bagaimana tidak, rasanya setiap hari tak banyak yang berubah, tak banyak yang mengalami kemajuan. Memang ada beberapa hal yang membanggakan dan membuat tersenyum, tapi the masterplan belum tersentuh banyak. Jalan itu belum benar-benar kutapaki, sehingga kusadari pada akhirnya bahwa memang betul "Waktu tidak menunggu siapa-siapa".
Ungkapan "Mengejar Waktu" itu sudah tidak ada artinya sekarang. Buatku, sampai kapanpun waktu tidak akan pernah terkejar. Jiwa kita diciptakan membentuk gerak tubuh selalu mengejar waktu dan hanya mengejar, selalu di belakang waktu. Jika waktu terkejar, maka setiap orang bisa menebak hari kematiannya sendiri, tapi nyatanya tidak. Waktu selalu selangkah di depan kita. Lalu apa yang semua dilakukan untuk mengoptimalkan waktu itu, yang membuat kita berada pada jarak terdekat yang bisa kita raih mendekati waktu. Saat waktunya tiba nanti, kita sudah menutup mata.
Hanya satu yang menghibur kita dalam perjalanan di terowongan mengejar waktu. Ada aroma cinta di sana. Aroma cinta ini, bisa kita rasakan, bisa tidak. Saat merasakan, aroma cinta itu berwarna cerah indah, mungkin merah muda atau hijau atau biru laut, melayang-layang di sekeliling tubuh saat kita berlari mengejar waktu. Jika kita merasakannya, semakin nampak jelas ia, merasuk hangat hingga tersedot ke dalam setiap lubang sirkulasi tubuh kita, lalu akhirnya kita tersenyum. Namun, terkadang kabut itu tipis sekali, tipis sehingga sulit terlihat, dan tidak memancarkan aroma apa-apa. Hambar.... Itulah bagaimana kita melihat cinta yang menemani perjalanan kita dalam waktu.
Saat berani kuakui kelemahan jiwa lalu pelahan kubuktikan kekuatan kayakinan, aku ingin cinta ada di sana, menemaniku berlari atau merangkak dalam terowongan waktu yang tak ada orang lain selain aku di dalamnya. Aku ingin cinta masuk ke lubang hidung, lubang telinga, dan menghiasi penglihatanku saat aku mulai bisa merasakan jarak terdekatku dengan waktu. Memang benar kata pepatah dalam banyak filsuf, "yang terpenting adalah masa sekarang, bukan masa lalu atau masa depanmu." Hidup akan menjadi seimbang, rendah diri, dan yakin. Lalu saat kuputuskan untuk berubah, beberapa masa silam, meski sampai saat ini jaraknya belum begitu dekat, aku akan selalu mengejar waktu. Meski berkali-kali aku mengandalkan Tuhan dalam menghembuskan cintanya ke sekelilingku.
*Sumber gambar: blog.rsvp.com.
Ungkapan "Mengejar Waktu" itu sudah tidak ada artinya sekarang. Buatku, sampai kapanpun waktu tidak akan pernah terkejar. Jiwa kita diciptakan membentuk gerak tubuh selalu mengejar waktu dan hanya mengejar, selalu di belakang waktu. Jika waktu terkejar, maka setiap orang bisa menebak hari kematiannya sendiri, tapi nyatanya tidak. Waktu selalu selangkah di depan kita. Lalu apa yang semua dilakukan untuk mengoptimalkan waktu itu, yang membuat kita berada pada jarak terdekat yang bisa kita raih mendekati waktu. Saat waktunya tiba nanti, kita sudah menutup mata.
Hanya satu yang menghibur kita dalam perjalanan di terowongan mengejar waktu. Ada aroma cinta di sana. Aroma cinta ini, bisa kita rasakan, bisa tidak. Saat merasakan, aroma cinta itu berwarna cerah indah, mungkin merah muda atau hijau atau biru laut, melayang-layang di sekeliling tubuh saat kita berlari mengejar waktu. Jika kita merasakannya, semakin nampak jelas ia, merasuk hangat hingga tersedot ke dalam setiap lubang sirkulasi tubuh kita, lalu akhirnya kita tersenyum. Namun, terkadang kabut itu tipis sekali, tipis sehingga sulit terlihat, dan tidak memancarkan aroma apa-apa. Hambar.... Itulah bagaimana kita melihat cinta yang menemani perjalanan kita dalam waktu.
Saat berani kuakui kelemahan jiwa lalu pelahan kubuktikan kekuatan kayakinan, aku ingin cinta ada di sana, menemaniku berlari atau merangkak dalam terowongan waktu yang tak ada orang lain selain aku di dalamnya. Aku ingin cinta masuk ke lubang hidung, lubang telinga, dan menghiasi penglihatanku saat aku mulai bisa merasakan jarak terdekatku dengan waktu. Memang benar kata pepatah dalam banyak filsuf, "yang terpenting adalah masa sekarang, bukan masa lalu atau masa depanmu." Hidup akan menjadi seimbang, rendah diri, dan yakin. Lalu saat kuputuskan untuk berubah, beberapa masa silam, meski sampai saat ini jaraknya belum begitu dekat, aku akan selalu mengejar waktu. Meski berkali-kali aku mengandalkan Tuhan dalam menghembuskan cintanya ke sekelilingku.
*Sumber gambar: blog.rsvp.com.
Tentang Penulis
waktu tak usah d'kejar cinta, tp dlewati:)
ReplyDelete