Ditulis oleh: Unknown Wednesday, January 18, 2012


(Episode sebelumnya....)

Tak banyak yang dilakukan Cyntia di ruangan kantornya sepanjang hari itu. Ia hanya membolak-balik bacaannya tentang para korban. Belum ada secuilpun petunjuk yang mencuat. Jarinya beberapa kali mengelus kening yang terasa licin meski tak berkeringat. Di dalam benaknya berputar-putar banyak pikiran serta bayangan yang seakan samar namun berwarna sama. Pemuda itu, Hendrik, bersikeras bahwa hanya ada tujuh buku milik ayahnya. Tak percaya dengan adanya buku kedelapan. Adalah wajar bagi seorang pemuda yang ditinggalkan ayahnya dengan cara seperti itu untuk meminta jaminan kerahasiaan semua informasi yang disampaikannya. Namun bagi Cyntia, itu saja tidak memberi petunjuk apa-apa. Semuanya semakin rumit, dan menggeliat dengan liarnya bahwa kasus-kasus kriminal ini saling berkaitan. Nugraha sedang menghadiri rapat yang sempat terhenti setelah sesi pertama. Kepercayaan tetaplah kepercayaan, dan gadis muda bawahannya dianggap cukup untuk itu.

Dua jam yang lalu mereka bertiga masih berdiskusi di ruang tunggu. Hendrik, pemuda yang mengaku anak Profesor Hargo, serius melindungi sang mendiang dari sorotan publik. Tentu saja masuk akal. Reputasi sang profesor di dunia akademik dan pergaulan populer tak pantas ditutupi dengan aib kematian yang belum tentu kejelasannya. Mendengar seorang filantropis terkenal melakukan aksi bunuh diri bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Hendrik, dengan sorotan mata tajamnya, meyakinkan kedua jurnalis itu bahwa dia akan menuntut balas kepada semua pihak yang menyebabkan ayahnya mati.

"Maaf, mas Hendrik. Tapi kalau boleh saya tanya. Menurut Anda ada kaitan kematian ayah Anda dengan kasus-kasus kematian lainnya yang sama-sama meninggalkan eksemplar buku di TKP?"

Pemuda itu terdiam. Matanya langsung terlempar ke arah jari-jari tangannya yang saling menggelayut satu sama lain. Lututnya merapat. Gestur seperti ini berkebalikan dengan penampilannya dua menit sebelumnya. Dari sikapnya yang mendadak itu, Nugraha merasakan ada sesuatu yang menghinggapi pikiran anak itu.

"Aku tidak tahu. Pokoknya, aku tidak mau peduli dengan semua hal lain, hanya kematian ayah."
"Tapi bisa jadi kematian ayah Anda tidak seperti kelihatannya." Cyntia menyela dengan sigap. "Apakah menurut Anda tidak aneh jika tujuh kasus bunuh diri di banyak tempat yang berbeda namun memiliki kesamaan kesan di TKP, adalah sebuah kebetulan? Bagaimana bisa Anda tidak memperhatikan buku-buku di dalam foto para korban?" Gadis itu semakin bersemangat.
Hendrik mengangkat wajahnya. Matanya menyorot tajam mata Cyntia, seakan-akan menghunus pedang menangkis serangan dan siap menyerang balik.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang Ayah. Kalian tidak tahu apa-apa!" Pandangan pemuda itu beredar di antara Cyntia dan Nugraha.
Hendrik mendorong lututnya hingga ia berdiri. Tangannya menggamat tas yang langsung naik ke pundaknya.

"Tidak ada gunanya aku membahas ini dengan kalian. Permisi." Pemuda itu bergegas keluar ruangan.
Nugraha mengangguk yang langsung memberi isyarat kepada Cyntia untuk mengejarnya.
"Hendrik, tunggu!"
Namun langkah anak itu semakin cepat. Tak terkejar.
"Kenapa kau mau menceritakan ini kepada kami? Kenapa tidak ke polisi?" Cyntia memanfaatkan logika berpikirnya yang terus berbicara dengan tanya selama beberapa saat sejak pemuda itu melangkah ke dalam ruangan tadi.
Hendrik berhenti di ujung koridor.

"Kau terlanjur menumpahkan risiko. Sebagian dari cerita tentang kematian ayahmu sudah kau beritahukan kepada kami, tapi tidak ke polisi. Pasti ada sebabnya, bukan?"

Pemuda itu kembali melangkah, kini semakin cepat. Ia menghilang di sudut koridor, meninggalkan Cyntia yang mematung beberapa meter di belakangnya. Bagi gadis itu, pada akhirnya tak ada gunanya menuntut sesuatu dari seseorang yang di awal-awal justru menawarkan. Cepat atau lambat, pemuda itu akan kembali, pikiranya.

***

Tujuh buku untuk tujuh korban. Satu buku kedelapan. dan Seorang pemuda anak sang profesor. Semuanya adalah bingkai. Dan suatu ketika bingkai-bingkai itu akan menyatu menunjukkan gambar yang sebenarnya terpampang.


Dalam kelelahan dan derai hujan yang terhempas oleh penyeka air di kaca mobilnya, gadis itu menelepon seseorang untuk ketemu. Atasannya memberi waktu lebih untuk berfokus pada masalah hari ini, sekaligus menyiapkan diri untuk tur terbesar dalam karirnya. Tur jurnalistik keliling Nusantara yang bertujuan menguak misteri terbesar dari satu hal yang paling sederhana.

Lorem Ipsum


Kata di dalam buku-buku itu tetaplah sama. Misteri di belakangnya adalah kunci untuk misteri selanjutnya.
Menjelang sore hari, ia sudah menunggu di sebuah kafe pinggir jalan dengan payung cokelat bergaya Skandinavia. Seorang pemuda mengenakan jaket kain lengkap dengan penutup kepala berjalan mendekat. Cyntia melambaikan tangan kemudian memanggil. Dua coklat panas sudah dipesan.
"Ada apa kau memanggilku? Tidak biasanya...," tanya pemuda itu segera setelah duduk.
"Aku ada kasus."
Tapi pemuda itu tersenyum meremehkan.
"Kau memang selalu ada kasus kan."
"Tapi yang ini beda, Noe."
Pemuda itu menggosok-gosok dagunya, pertanda penasaran sekaligus curiga.
"Oke, anggap saja aku tertarik. Ada apa?"
Cyntia lalu merogoh kertas keluar dari tasnya. Kertas bergambar lengkap dengan tulisan ilustrasi itu kini tergelar lebar di atas meja. Gelas-gelas sejenak dipinggirkan.
"Menurutmu  ini apa?"
Noe menegakkan badan agar matanya lebih dekat ke kertas berwarna kekuningan itu. Seketika keningnya mengkerut dan tangannya pindah ke kepala. Pandangannya berubah tajam, lalu tiba-tiba lunglai. Ia tersenyum.
Kertas itu bergambar beberapa hasil scan foto mayat korban "bunuh diri" beserta satu korban kedelapan yang menampilkan buku-buku yang mirip. Ada coretan di sana-sini yang berisi peta pemikiran orang yang berusaha memecahkannya, dan setidaknya ada lima tulisan tebal dengan kata aneh yang muncul sejak awal. Dua kata aneh itu yang paling menarik perhatian Noe.
"Cyntia... Cyntia...." pemuda itu lalu menggeleng.
"Kau selalu terlibat dalam kasus besar. Apa tidak kau sadari tujuan dari kasus ini?"
Cyntia menggeleng.
Noe lalu menunjuk sesuatu di kertas itu.
"Yang ini," katanya kemudian. "Adalah Kalimantan." Jari telunjuknya berada tepat di atas foto wanita setengah baya sang pedagang emas asal Singkawang. Darah bersimbah di sekeliling kepala dan perutnya.
"Perhatikan. Posisi mayatnya dengan kedua tangan terkulai ke samping dan telapak di samping kepala menunjukkan utara. Utara, perhatikan. Dan di mana buku itu berada? Lihat ini." Noe menunjuk gambar itu, tepat di bagian telunjuk korban. Di ujung jauh jari telunjuk yan gmenghadap ke atas itu, tertuju sebuah suku kata dari serangkaian frasa aneh yang muncul sejak awal.

"sum"

Bagian itu adalah akhir dari frasa.
Telunjuk Noe lalu berpindah ke sebuah foto anak kecil yang mati dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya tergantung lurus di bawah seutas tali akar.
"Ini anak yang terbunuh di Medan. Medan berada di Sumatera."
Di bawah ibu jari kaki anak itu, buku tebal sampul hitam itu tergeletak. Sebuah suku kata tertunjuk lurus.

"lor", bagian awal dari frasa.


Cyntia terkejut. Ditatapnya mata Noe dengan takjub.
"Astaga! Aku tidak menyadarinya sedikitpun!"
"Santai dulu. Kita harus mengurai ini satu demi satu." Noe lalu meneguk coklat cairnya yang mulai mendingin. Hujan turun semakin deras.

"Yang ini pasti Jawa." Cyntia menebak. Noe membalasnya dengan anggukan.
"Ujung jari adalah petunjuk dari korban selanjutnya yang berada, kemungkinan besar, di sebuah pulau yang berbeda dengan tempat korban terkini dibunuh. Setiap suku kata mewakili sebuah pulau. Yang jika disatukan..."

Cyntia mengutak-atik gambar itu dengan cepat. Pikirannya bekerja sekejap untuk memaksakan segala logikanya keluar membaca gambar demi gambar, beserta letak ujung jari dari setiap korban. Noe hanya bisa melihatnya sambil mengunyah kentang goreng yang ia comot dari piring di sudut meja. Baginya, bermitra dengan wanita seperti Cyntia adalah setengah kemudahan. Ia hanya harus menelurkan pikiran dan ide pemantik untuk kemudian membiarkan gadis itu menemukan kembali jalan pikirannya. Bagaimanapun ia belum memikirkan untuk terlibat dalam masalah ini lebih dalam.

"Aku harus keliling Indonesia!" Cyntia menyampaikan kesimpulannya dengan tergesa-gesa.

"Ya, kalau memang harus seperti itu. Aku yakin kematian sang profesor adalah bagian dari petunjuk."

(bersambung... )

Ilustrasi: teddy-o-ted.com.

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -