Ditulis oleh: Unknown Saturday, March 31, 2012



Tampaknya sudah dimulai era "kebingungan lirik" dalam industri lagu Indonesia. Mengapa begitu? Karena lagu-lagu yang hadir dalam dekade ini didominasi lirik-lirik yang jauh lebih lugas, begitu jujur, dan nyaris tak mengenal batasan. Aturan bahasa tak lagi penting, setidaknya bagi sebagian pencipta lagu. Kebingungan penggunaan kata "kau" ataukah "kamu" marak nampak telanjang dalam lagu-lagu yang justru populer.

Sepintas, memang lagu-lagu yang disusun dengan diksi "kau" terkesan lebih puitis dan cerdas dibandingkan lagu-lagu yang ditulis dengan "kamu". Sepintas pula, komposer-komposer dengan lagu yang liriknya memuat "kau" terkesan menyisipkan unsur-unsur sastra dalam bentuk puisi ke dalam lagunya. Coba perhatikan sepenggal bait lagu Sandy Sandoro "Tak Pernah Padam" berikut:


Kini tak ada terdengar kabar dari dirimu. Kini kau telah menghilang jauh dari diriku.Semua tinggal cerita antara kau dan aku.Namun satu yang perlu engkau tahu ....Api cintaku padamu ... tak pernah padam.



Meskipun pada baris keempat bait di atas terdapat sisipan "padamu", tapi penekanan puisi dalam lagu ini tetaplah berhasil ditunjukkan Sandy. Apalagi, terdapat kata "kau" dalam tiga kalimat sebelumnya. Tentu saja butuh pemikiran yang jeli untuk merangkai kalimat itu. 


Atau lagu Dewi Lestari "Malaikat Juga Tahu"
Karena kau tak lihat
terkadang malaikat ... tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan.
Namun kasih ini silakan kau adu.
Malaikat juga tahu ...
Meskipun Dewi berusaha menunjukkan sedikit sisa kekanakan yang melankolis lewat tema lagu ini, kesan berat dan gagahnya tetap kena. Pemilihan kata "kau" daripada "kamu" membuat lagu ini menjadi alat penegasan betapa seorang Dee mempercayai keindahan sastra, tidak terkecuali dalam lirik lagu.
Nah, sekarang. Bandingkan dengan lirik lagu Ello berikut:
Enggak  kayak mantanmu.
Yang selalu menyakitimu.
Enggak pernah ngurusin kamu.
Bohongin kamu.
Curangin kamu.
Enggak peduli perasaanmu.
Interlude:
Mengapa kau masih terbayang olehnyaSampai kapan aku menunggumu?
Lagu Ello cukup menarik karena gaya bahasanya sangat bebas, lebih banyak dijumpai dalam bahasa lisan. Ello tidak sendiri. Lagu-lagu kelompok band maupun penyanyi solo hari ini banyak yang menggunakan gaya bahasa sama. Bahkan, ada yang dengan bebasnya mencampuradukkan bahasa Indonesia, bahasa lisan yang fleksibel, dengan bahasa asing.


Nah, apa yang menarik dari lirik Ello di atas?
Perhatikan inkonsistensi diksi yang terjadi, bisa dilihat dari bagian reff dan interlude yang saya kutip di atas.
Sepintas, bait lagu di atas menyiratkan gaya Ello yang --seperti banyak pencipta lagu lain-- mengadopsi gaya  asonansi puisi dalam menciptakan lirik. Huruf vokal dari keenam baris dalam satu bait reff ia tekankan pada bunyi "u". Bait reff ini juga memilih "kamu" sebagai penunjuk objek pesannya. Hanya saja, setelah masuk ke bagian pasca-reff yang biasanya berupa interlude, Ello terpeleset dengan memasukkan kata "kau". Bagian dicetak tebal saya sengaja tonjolkan. Kata "kau" masih cocok dilanjutkan dengan kata pengganti -mu, seperti halnya "kamu". Tapi akhirnya terjadi juga inkonsistensi di dua bagian lirik ini.


Mengapa Ello bisa seceroboh itu? Kesengajaan? Bisa iya bisa juga tidak.


Menurut saya, "kau" yang dipilih Ello kemudian adalah bentuk kebingungan dalam membuat lirik karena dibatasi ketukan dan panjang nada. Kata "kamu" terdiri dari dua suku kata: ka-mu yang pasti akan menimbulkan kesulitan jika harus merangkai nada dan ketukan pada bagian lirik mengapa kau (ka-mu) masih terbayang olehnya?
Inilah bentuk kebingungan "kau" dan "kamu" yang saya maksudkan sebagaimana tertulis dalam judul ulasan ini. Ada banyak alasan psikologis dan teknis yang tidak bisa dielakkan mungkin dalam pembuatan lagu. Tentu saja studi sastra kekinian ikut andil dalam hal ini. Kurangnya studi dan pemaparan ihwal sastra dalam lirik lagu saat ini seperti meruntuhkan tembok kerja para komposer dalam menulis lagu. Akibatnya, sebagian penulis lagu, terlepas dari memenuhi peluang bisnis, membuat tembok kelaziman sendiri dalam menciptakan lirik dan menggunakan diksi bahasa dalam lagu-lagu mereka.


Tak banyak penelitian tentang diksi dalam lagu-lagu populer akhir-akhir ini. Terakhir, pada 2006 Universitas Sumatera Utara merilis sebuah ulasan mengenai diksi dalam lirik lagu. Mungkin banyak yang lebih baru, tapi tak terdengar gaungnya. Padahal, yang diperlukan di sini adalah ketegasan klasifikasi bagi lagu. Apakah lagu termasuk ragam bahasa tulis ataukah bahasa lisan, belum ada aturan jelas. Penelitian-penelitian terdahulu yang saya temukan pernah menganalisis lagu-lagu Padi dan lagu-lagu Ungu. Tentu saja, akhir-akhir ini dengan pertumbuhan jumlah lagu terbit dan penyanyi baru yang lebih masif, terdapat kesulitan sendiri  untuk menyelenggarakan penelitian-penelitian serupa. Karena itu pula analisis berupa artikel ulasan seperti ini dianggap lebih efektif.


Tak terkecuali permasalahan diksi "kau" dan "kamu", masalah-masalah dalam lirik lagu komposer baru akhir-akhir ini tak begitu pusing dengan sastra. Seperti terjadi begitu saja, lagu diciptakan bisa dalam waktu satu atau dua hari, bahkan dalam hitungan jam. Tak banyak kontemplasi, apatah lagi studi bahasa dan diksi. Fungsi lagu untuk menyampaikan perasaan diartikan lebih prematur, tapi siap. Definisi "Lagu adalah berbagai irama yang meliputi suara instrumen dan bernyanyi dan sebagainya, nyanyian, tingkah laku, cara, lagak," sebagaimana ditulis dalam KBBI dianggap sudah cukup untuk melakukan penyusunan lirik dengan jiwa kebebasan berkespresi.

Salut saya untuk para komposer lagu yang masih setia memasukkan pertimbangan sastra dalam penyusunan liriknya. Sandy sepaham dengan Padi, Peterpan, Ipang, Glenn Fredly, dan banyak pencipta lagu lain yang konsisten menggunakan "kau" dalam lagu-lagunya. Meski beberapa band dan penyanyi yang seangkatan akhirnya melepas idealisme seni bagian ini, sebut saja Ahmad Dhani dan Ada Band. Kiranya kita belum perlu sampai seperti aksi pemerintah Vietnam yang pada 2006 lalu mengeluarkan aturan bagi para pencipta lagu untuk tidak menggunakan bahasa "gaul" dalam lirik-liriknya.


Tentu butuh lebih banyak waktu, lebih tajam dalam pikiran, dan lebih peka dalam perasaan. Tapi hasilnya akan sepadan, dibandingkan menyusun lagu yang sesuai keinginan pasar yang justru mengalami masa kebingungannya sendiri. 

===========

Referensi:


[catatan bahasa 1]
Ilustrasi: azirishmusic.com.   

6 Komentar
Tweet
Komentar FB

6 comments | Baca dan Komentari

  1. waduh...

    kalau saya dengerin lagu asal aja tuh Bang FS ;)
    yang penting gonjreng-gonjreng
    wkwkwkwkwkwkw

    ga tahunya ada artinya juga.

    *pagi*

    ReplyDelete
  2. Pagi, Bang CH.

    iya sebetulnya banyak lagu enak. Tapi bagus juga kan kalau enak sekaligus berkualitas, berkelas. Saya rindu masa-masa lagu Padi, Dewa 19, Peterpan, puitis banget. Makanya bikin tulisan ini.

    Makasih ya.

    wkwkwkwk....

    ReplyDelete
  3. Iya mas. Kalau dengerin lagu puitis itu lebih kerasa dalem. Lebih enak dan nyenengin dengerinnya. Apalagi kalau lagunya dinyanyiin gitu sama ...

    #oke deh komen ini udah mulai terdengar seperti curhat..

    *mlipir*

    ReplyDelete
  4. Bagaimana dengan 'Kaulah Kamuku' dari Fatin? :)

    ReplyDelete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -