Ditulis oleh: Unknown
Sunday, November 4, 2012
Untuk seorang penulis amatir seperti saya dan sebagian dari kalian, ide yang datang tiba-tiba seperti buah matang yang jatuh bersamaan. Saat tangan kita hanya dua dan buahnya banyak, sepertinya kita harus menyimpan yang dua dulu --yang muat di tangan-- kemudian baru mengambil tiga atau empat biji lainnya.
Mendapat empat sampai lima ide dalam sehari sebagai awal cerita dengan tema berbeda itu tentunya manis. Untuk dibayangkan, untuk dipesonakan secara imajinaitf. "Wah, bagus ini kayaknya kalau dibuatkan cerpen atau puisi. Nanti lah kubikin."
Sering kali, kalau kita cekatan dan situasinya tepat di semua aspek (waktu, ide alur dan logistik makanan ringan, biasanya) tulisan langsung jadi dalam waktu setengah atau satu jam. Karena pada saat menulis pikiran bekerja terus, memori jangka pendek kita akan terevaluasi sedemikian rupa sehingga apes lah kalau tidak membuat catatan kecil tentang mangga-mangga ide yang tadi disimpan.
Catatan ide (biasanya berupa kertas kecil, menampung satu-dua judul atau sekalian karton lebar seluas dinding memuat setiap ide yang melintas) adalah instrumen wajib penulis, amatir dan profesional. Itu bukan rahasia lagi dan nyaris jadi sesuatu yang mutlak. Catatan ide-ide itu akan tersimpan jadi tulisan-tulisan masa depan, kalau saya masih berniat menjadikannya tulisan. Karena kadang kala, dalam fase "penyimpanan" ini, ide ibarat dipeti-eskan. Ditampung di dalam sebuah kontainer dengan suhu yang tepat agar keasliannya terjaga dan atau tidak terkontaminasi apapun.
Ide dalam peti es penyimpanan setiap penulis bisa tiba-tiba hilan, kalau, penulis memutuskan membuangnya. Atau, kalau cara menyimpannya kurang pas, akan menguap begitu saja dan membalik proses kimia dari membeku ke menyublim. Lenyap seperti gas.
Peti Es soal Keputusan Prioritas
Tidak ada salahnya menghapus ide. Peti es ide di sini adalah penyimpanan hingga waktu yang tidak ditentukan. Dan tentu kapasitasnya terbatas. Saat sudah menyadari kesalahan karena tidak segera menyusun tulisan dari remah-remah ide, biasanya saya memutuskan membuang beberapa ide. Apa boleh buat, setelah dievaluasi dan dipikirkan, prioritasnya jauh daru mencukupi. Sering kali begini. Saat mendapatkan ide, kita tidak melihat ide itu secara keseluruhan dan lebih menikmati sensasi sesaat ketika otak tiba-tiba terasa bekerja setelah beberapa jam dalam posisi nyaris delta. Ide yang muncul tiba-tiba itu seperti pemantik untuk alur berpikir ide yang lebih besar, meski pada akhirnya yang kita hasilkan bukanlah buah ide pemantik tadi.
Ide-ide yang sekiranya setelah dievaluasi belum perlu diangkat menjadi sebuah tulisan, bahkan setelah melalui proses penyimpanan (bukan pengendapan yang konotasinya kurang apresiatif) biasanya karena dikaitkan dengan berbagai sudut pandang. Ide cerita sosial misalnya, tentang bentrokan dua kelompok warga. Menarik idenya karena tentang seorang anak perempuan yang tak lagi gadis berkonflik dengan batinnya sendiri dan menyalahkan seseorang karena dirinya telah dianggap sebagai penyebab dua kampung bentrok, tak selalu bisa mulus jadi jalan cerita. Di samping karena penyajiannya harus hati-hati, kadang kali saya harus membatalkan ceritanya karena isu seperti ini biasanya sensitif.
Dalam penjelasan saya beberapa waktu lalu tentang fiksi tragedi, kurang etis membuat tulisan fiksi atas tragedi yang masih berlangsung, apalagi orang-orang yang berkaitan langsung dengannnya masih hidup dan sedang dalam proses pemulihan diri. Pada akhirnya, ide-ide yang pada kedatangan awalnya dianggap sangat menarik bahkan belum pernah ada sebelumnya, tetap bisa kembali ke dalam peti es untuk diuapkan kemudian. Terkoreksi secara naluri.
Yang terpenting dari semuanya adalah, tahu mau sampai kapan peti es itu dibiarkan di sana.
***
Saya kira ada alasan mengapa buku Habis Gelap Terbitlah Terang masih diperdebatkan, karena penulis surat-surat yang dijadikan isi utama buku itu, R.A. Kartini belum tentu pernah memutuskan untuk memublikasikan tulisan-tulisannya, meski saat ini buku itu dianggap sebagai salah satu karya tulis terbaik dari zaman prakemerdekaan. Kasus lain misalnya seorang wartawan The Washington Post yang pada 1991 lalu membatalkan sebuah tulisan reportase yang membuatnya dipecat. Jurnalis yang tak disebutkan namanya itu memutuskan untuk "menghilangkan" tulisannya di saat-saat terakhir karena berempati kepada perempuan muda pekerja seks komersial yang ia anggap tidak patut diberitakan secara eksposif.
Oh, paragraf terakhir ini adalah ringkasan ide untuk sebuah tulisan berikutnya. :)
Tentang Penulis