Ditulis oleh: Unknown Tuesday, May 21, 2013



Sudah memasuki bulan kedua ketika saya mencari beberapa bahan untuk merampungkan tulisan bertema aviasi. Cerpen "Penerbangan 152" yang seharusnya masih akan bersambung hingga saat ini belum saya tayangkan kelanjutannya. Bukan apa-apa, tetapi beberapa hal yang saya dalihkan sebagai "perkara administrasi" membuat saya urung menampilkan lanjutan ceritanya. 

Pihak maskapai yang saya pakai merek dan nama panggilnya masih belum mengonfirmasi apakah saya boleh menggunakan semua keperluan penulisan itu. Saya tanya ke beberapa penulis profesional, dan tiga dari empat mereka menyarankan agar saya tunggu beberapa saat lagi sebelum mengambil keputusan. Sebagai bagian dari status quo, saya tetap mengevaluasi beberapa bagian naskah saya itu. Meratapi, tapi belum sesedih itu, sih.

Bahan tulisan yang urung rampung ditayangkan atau malah terhalang keberlanjutannya sering kali "memanggil-manggil", mestinya. Ini tidak terbatas pada tulisan fiksi, lo. Di memori komputer saya saat ini ada juga dua-tiga naskah tulisan nonfiksi yang urung terbit. Sebagiannya karena kontennya masih perlu saya kaji lagi, sebagiannya lagi karena memang masalah-masalah teknis: waktu, lupa, dan sebagainya.

Menumpuklah, bukan?

Sebetulnya, untuk mengaji ulang tulisan yang urung jadi output tidaklah serumit itu. Memang terkadang saya merasa ada tulisan yang akhirnya lebih baik di-peti-eskan, akan tetapi secara umum memang perlu alokasi waktu khusus ketika tulisan-tulisan yang idenya kuat, hanya prosesnya terkendala hal-hal teknis.

Sepengalaman saya ada beberapa teknik yang bisa dilakukan guna membangkitkan kembali tulisan/bahan tulisan yang nyaris mati.

Pertama, baca. Memahami alur dari tulisan lama (fiksi/nonfiksi) bisa membantu saya mengigat kembali tujuan tulisan dan alasan mengapa saya menuliskannya waktu itu. Kalau alur tulisan belum rampung alias naskah masih di bagian awal sekali, ada beberapa bagian yang mestinya bisa mengingatkan pada tujuan akhir tersebut. Akan tetapi kalau tulisan memang belum ada gambaran dan ingatan tentang tujuannya sama sekali tidak tergambar lagi, maka lebih baik hapus saja. 

Kedua, buat daftar tulisan "sekarat". Ini akan mengumpulkan beberapa judul, file .docx atau apapun bentuk fisik dari ketersediaan naskah yang belum jadi itu. Dengan membuat folder khusus (misalnya) atau catatan tangan yang mengumpulkan ide-ide yang belum terselesaikan, saya bisa memahami seserakah apa pikiran saja dari awal ide-ide itu muncul sampai akhirnya terbengkalai. Evaluasi teknis biasanya dimulai dari tahap ini, dan semua tahapan  yang dibutuhkan --termasuk untuk menghapus permanen naskah-- bisa dirunut kembali.

Ketiga, kemajuan tulisan bisa diukur dari keutuhan idenya. Begitu ide sudah menggantung dengan dua latar dan dua tokoh, misalnya untuk fiksi dan separuh ide tertuang --jika itu nonfiksi-- keberlanjutannya bisa dibuat ulang di kertas catatan baru yang dijadikan tenggat baru. Semua hal yang masih jadi "harta terpendam" bisa digabungkan lagi. 
Di tahap ini saya bisa mengevaluasi, mengukur target baru, sekaligus melakukan improvisasi yang dibutuhkan agar kerugian ide bisa diminimalisir. Termasuk, menakar kemungkinan-kemungkinan alternatif seperti mis. penggabungan dua-tiga naskah jadi satu ide tulisan/cerita.

Tidak masalah meratapi tulisan. Saya sering kali merasa "bergetar" setiap kali di dalam bus yang berjalan di tengah kota dan tetiba melihat sesuatu yang mengingatkan pada ide yang teronggok di komputer. Biasanya, sesampai di rumah saya buka lagi naskah-naskah itu. Mencegahnya mati.

--------------------------------

Apa pendapatmu?

Berlangganan Tulisan | Berlangganan Komentar

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -