Ditulis oleh: Unknown Saturday, June 8, 2013



Tuan Limba Tagana mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas bidang meja dari kayu yang mengkilap. Di sekeliling meja oval itu, tujuh pria lain dan satu wanita masih menunggu apa yang akan keluar dari mulut pemimpin rapat itu. Jendela semua tertutup dan tirai-tirainya menggantung. Cahaya agak redup sengaja dibiarkan agar ruangan terasa hangat. Ini bukanlah pertemuan biasa. Pertemuan para pemimpin perusahaan tidak pernah selarut ini. 

Tuan Badar, yang duduk paling jauh, mulai berdeham-deham. Sepertinya ia sudah lama menahan kencingnya dan atau kehausan atau bosan. Sementara satu-satunya wanita di ruangan itu, Nona Prisia, tak banyak bergerak. Meskipun tangannya sendiri sudah gatal untuk merogoh ponsel yang terus berpendar-pendar di dalam tas di bawah meja. Deru kendaraan terdengar sangat jauh. Itu masuk akal karena mereka sedang berada tiga puluh meter dari permukaan tanah, di lantai 17 Gedung Puri Kumala. 

Pemimpin rapat akhirnya menarik punggungnya dari sandaran. 
"Aku sudah tahu kalian tidak pernah setuju denganku. Aku bahkan tahu kalau Pak Doni sudah lama menyewa pembunuh untuk menghabisiku. Betul begitu kan?"

Semua yang diruangan itu, kecuali pembicara, tentunya, terperanjat. Yang disebut sebagai Pak Doni ini, pria kurus dengan kacamata bundar menggantung di kepalanya yang botak, menunduk kemudian perlahan mengangkat wajahnya yang menyeringai. 
"Bapak ... Bapak bicara apa? Aduh, mana saya punya keberanian untuk berniat seperti itu, Pak." Tangannya saling memijat di atas meja.

"Anda tidak perlu berniat terlalu lama. Hanya butuh sedetik momen kan, untuk kemudian berpikir bahwa aku bukanlah orang yang terlalu menyenangkan. Meski aku minta maaf atas pembatalan promosimu enam bulan lalu itu, aku tak yakin kau akan memberiku kesempatan hidup lebih lama."

Beberapa dari mereka saling berbisik. Doni kembali menunduk,  yang merupakan isyarat jelas bahwa apa yang barusan didengarnya hampir benar. Hatinya berkecamuk tapi ia tak ingin meluapkannya begitu ceroboh.

Pemimpin rapat berdeham kesekian kali. "Lalu Andrew, direktur termuda di perusahaan ini," ujarnya. Pandangannya yang seperti burung hantu dari balik kacamata kotak yang bahkan untuk menutupi cekungan matanya saja tidak cukup itu menohok dengan jelas bagi siapapun yang menatap. Orang ini tak perlu berkata banyak untuk menunjukkan kekuasaannya. Di tengah-tengah situasi krisis yang seperti ini, mau tidak mau ia harus memberikan kepercayaan kepada tujuh orang yang masih bertanggung jawab menjalankan roda bisnis. Ia sendiri punya rencana, tapi itu tak mendesak dan bisa dilakukan lain kali saat semua hal sudah lebih baik. 

Sementara untuk Andrew, pemuda berkulit putih itu, Limba merangkai kalimatnya dengan hati-hati. Anak ini adalah ahli waris dari mendiang rekan bisnisnya. Dan ia merasa masih berutang budi. Meski di dalam situasi ini ia tahu semua yang di ruangan itu harus duduk sama tinggi.
"Ayahmu adalah penggerak yang efektif bagi perusahaan. Efisien, disiplin dan sangat hati-hati. Kurasa sedikit banyak bakat bisnis dan manajemennya diturunkan kepadamu."

Anak muda itu mengangguk hormat.

"Hanya saja," lanjut Limba. "Buah yang datang dari pohon yang kuat, belum tentu semanis yang dikira. Ada ulat, ada cuaca, dan ada hal-hal tak terduga yang bisa membuatnya justru jadi benalu bagi pohon itu. Lebih baik jatuh ke tanah dan membusuk."

Andrew menatap Limba dengan sengit. Ia berpikir orang tua ini sudah mengendus rencana yang ia susun tiga bulan terakhir agar posisinya pindah dari Direktur Pemeliharaan Aset ke Direktur Keuangan, jabatan yang diidamkannya sejak mendengar nama perusahaan ini. Anak ini segera menduga bahwa satu dari enam orang yang membantunya melancarkan aksi kudeta ini mungkin membocorkan sesuatu. Kalau tidak, mana mungkin Direktur Utama bisa berkata sedemikian menohok?

"Dan Pak Mulya, Prisia dan Pak Lubis, aku tak tahu apa yang kalian sedang susun di ruang pelatihan selama seminggu terakhir. Tapi aku punya perasaan kurang mengenakkan dengan banyaknya kertas fotokopi rencana pengeluaran dan hasil audit aset kita selama lima tahun terakhir. Aku juga tak suka menerima panggilan-panggilan telepon dari wartawan yang menanyakan hal-hal yang sama sekali tak pernah, dan tak ingin kudengar. Sepertinya seseorang dari gedung ini akan digiring ke balik jeruji, aku mengendus bau yang kurang mengenakkan. Aku tak tahu apa yang kalian rencanakan, tapi kupikir semua orang di ruangan ini sedang memegang belati di balik baju masing-masing."

Keheningan menyeruak ke ruangan itu. Turun dari langit-langit dan membuat dada mereka sesak.

"O, ini permainan Tuhan untuk menguji kesetiaan kita pada satu dan yang lainnya. Permainan, ini, bapak-bapak. Akan mengeluarkan para iblis dari hati kita, dan perebutannya jadi lebih seru. Pemenangnya adalah yang berhasil mencapai bilik yang memenjarakan sang malaikat dan melepaskannya dari sana."

Tiba-tiba seseorang dari mereka, direktur ketujuh, Dorma Simanungkalit, bersuara. Pelan, namun tegas. 

"Saya rasa ... konsensus ini tak bisa dimulai dengan kecurigaan-kecurigaan, Pak Limba. Maaf, bapak-bapak, nona. Tapi menurut saya apa yang jadi pertarungan kita pada momen ini bukanlah melihat apa yang sedang terjadi kemarin-kemarin atau menerka-nerka apa yang akan menimpa kita besok. Kita perlu menyadari kondisi krisis perusahaan ini. Untuk nasib lima belas ribu karyawan, rasanya pertarungan kita adalah soal melawan ego. Bukan menyiapkan dendam."

"Kurasa Pak Dorma betul," kata direktur yang lain. "Saya sendiri, terus terang, punya misi pribadi sejak menjabat perusahaan ini. Saya sejak awal ingin menduduki posisi Pak Andrew dan belajar marketing secara rahasia dengan Pak Limba, yang sayangnya tak berlangsung lama karena Pak Limba menghentikan program mentoringnya tiba-tiba. Saya kira Bu Prisia dan Pak  Yogi pun punya motif yang sama. Siapa yang tahu, tak ada yang benar-benar bisa menerka jalan pikiran seseorang. Hanya bergurau, bahwa semua setia pada satu tujuan. Maka, kalau kita ingin menjauhkan semua misi pribadi itu sejenak, kita bisa berbuat lebih untuk para karyawan, buruh, dan siapapun yang keberlangsungan hidupnya terancam jika perusahaan ini ditutup. Maaf, saya bicara terlalu banyak, sejak tadi tertahan."

Limba menggaruk jenggotnya. Tak bisa menyembunyikan persetujuannya untuk dua pernyataan barusan. Meski ia sendiri masih mengelus jenggot dengan harapan sebuah kunci bisa ia temukan tentang siapa pengkhianat sebenarnya, ia masih berpikir logis.

"Kita butuh konsensus ini untuk membeli waktu kita, Pak." Prisia menambahkan singkat.

Keheningan kembali menggantung. Limba mengedarkan pandangannya saat tiba-tiba pintu diketuk. Sebuah surat baru saja diantarkan masuk oleh penjaga dan diterima oleh sang direktur utama. Ia meletakkan surat itu kemudian maju melipat dua lengannya di meja.

"Aku tahu kehidupan bisnis tak pernah mudah. Penuh intrik dan politik. Kita sendirilah yang jarang menyadari. Aku mungkin saja mati besok atau salah satu dari kalian akan pulang dengan rasa malu setelah rapat ini berakhir. Aku sendiri pasti akan melepaskan jabatan ini. Dan ... aku kira malam ini kita bisa mencapai mufakat yang melegakan. Keuangan akan dirampingkan, mau tidak mau sebagian karyawan tingkat menengah akan dirumahkan. Dan kalau bapak-bapak tidak keberatan, tolong tunda dulu semua niat buruk kita sampai minimal tiga tahun ke depan."

Semua orang di ruangan itu terkekeh, perbincangan menjadi lebih cair. Mereka saling pandanga dengan bangga bahwa permasalahan bisa diselesaikan secara cerdas dan perasaan bisa saling dipertemukan secara dewasa.

Pada akhirnya saat rapat itu ditutup dan perusahaan itu siap melanjutkan hidupnya kembali, sang direktur utama membuka surat yang baru saja tiba. Ruangan itu sudah sepi dan hanya tersisa dua orang pembantu yang lalu lalang membereskan sisa pertemuan.

Surat itu tanpa kepala dan nama pengirim. Kalimat yang paling jelas tertera di badan pesan itu hanyalah Untuk tahun-tahun kepemimpinan yang membunuh ratusan jiwa kebebasan. Salam hormat, DK.

Saat mencicipi kue berminyak penutup hari, direktur utama itu meninggal dunia dengan mulut berbusa.

Di tujuh mobil berbeda, ketujuh orang direktur saling menelepon dan melakukan "rapat lanjutan" mereka jelang pagi itu.

Bibir-bibir itu saling berbisik dan tersenyum. 

"Mufakat telah dilaksanakan. Dewan Kebebasan merampungkan tugasnya."

Ketujuh mobil itu melaju ke arah yang berbeda-beda. Tapi mereka berhasil melaksanakan hasil keputusan bersama.

*
----------------------------
Ilustrasi: DevianArt.


4 Komentar
Tweet
Komentar FB

4 comments | Baca dan Komentari

  1. masih penasaran sama dewan kebebasannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. (Dan kalau bapak-bapak tidak keberatan, tolong tunda dulu semua niat buruk kita sampai minimal tiga tahun ke depan). ini kalimat juaranya, sy membayangkan sy salah satu dari orang22 yg ingin merebut kursi direktur utama, serasa ditampar dengan kata22 direkturnya.

      oia DK nya kemungkinan besar Prisia?,,hehehe

      Delete
    2. tuduhan menarik.
      Tapi saya tidak berpikir ke arah sana. :D

      Delete

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -