Ditulis oleh: Unknown Sunday, July 21, 2013




Saya mengikuti perkembangan tulisan di buku-bukunya Raditya Dika. Yang saya simpulkan sejauh ini adalah, sang penulis Kambing Jantan dan terbaru Manusia Setengah Salmon ini konsisten dengan gaya tulisnya yang sama dengan gaya tutur. Gaya bahasa elo gue khas metro Jakarta melekat sampai ke barisan-barisan paragrafnya di dalam buku. Pun di industri perfilman yang kemudian dirintisnya kemudian hari. Konsistensi seperti itu yang meningkatkan nilai jual, di samping konsistensi-konsistensi lain yang menguatkan sebuah karya.

Apa yang membuat bahasa tutur harus sama atau berbeda dengan bahasa tulis?

Saya ingat pernah membaca buku sastrawan Ernest Hemingway yang begitu jujur, dengan gaya bertutur seperti menulis diari, dan tertuang di dalam buku-bukunya. A Moveable Feast berisi cerita-ceritanya ketika masih tinggal di Perancis, dan itu satu contoh betapa tulisan keseharian, dengan gaya tulis yang sama dengan gaya tutur, bisa menaklukkan minat pembaca. Memang agak berbeda (sedikit mendayu-dayu) dalam The Sun Also Rises, tapi esensi gaya tuturnya sama. 

Ini berbeda dengan gaya fantastis ala J.K. Rowling atau romantisnya Marissa Mayer , apalagi sensualitas diksi yang dipaparkan E.L. James lewat trilogi dewasa Fifty Shades. Bagi kebanyakan penulis fantasi, bahasa tutur keseharian di dunia nyata akan sulit jadi diksi dalam cerita-cerita yang harus disajikan di dalam buku. Kemudian mereka menciptakan bahasa-bahasa imajinatif yang cenderung eksposif, bombastis, dan baru. Keselarasan terjadi hanya di dialog-dialog minor yang biasanya mengikuti aksen sosial tertentu.

Bahasa tulis penuh aturan dan norma yang cenderung kaku. Bahasa tutur, dengan segala macam kebebasannya, terasa lebih fleksibel, spontan, dan mudah disesuaikan. Besarnya pengaruh informasi masif yang kita terima setiap hari sedikit banyak mengubah cara kita berbicara dari waktu ke waktu. Ketika seorang Betawi cetok yang sehari-hari bertutur gaya anak muda kampus elo-gue memutuskan menulis cerita fantasi yang penuh pesan-pesan kebijaksanaan, ia perlu membaca banyak buku dan latihan banyak aksen.

Pemisahan bahasa tutur dengan bahasa tulis sifatnya kontekstual, tergantung seperti apa sebuah karya tulis ingin dibentuk. Ketika bahasa tulis bisa sedikit menyerap gaya bebas bahasa tutur, justru di situ warna karya akan terlihat. Itu menurut saya. Ini tidak mendiskreditkan kebebasan penuh bahasa tulis yang sama persis gaya bahasa tutur. Ada banyak karya tulis yang justru memerlukan kesamaan itu. 

Yang jelas, seorang penulis naskah cerita harus paham bagaimana ia mengendalikan kekuatan bahasa tuturnya sebagai bekal untuk kajian bahasa tulis. Mau tidak mau, pengalaman bertutur akan memengaruhi kualitas tulisan. Semakin bijak seseorang dalam bertutur lisan di dunia nyata, akan semakin terkendali tulisannya. Apapun jenisnya itu.

------------------------------------------
Ilustrasi: dictionary/alllanguages.com.

*



2 Komentar
Tweet
Komentar FB

2 comments | Baca dan Komentari

Baca juga:

Memuat ...

Lingkar baca

Linikala

- Copyright © BUKU FANDY - Hak cipta dilindungi Undang-undang. - Desain Blogger oleh Johanes Djogan -