- Beranda »
- CERITA PENDEK »
- Perjanjian
Ditulis oleh: Unknown
Monday, October 29, 2012
Ada satu hari yang dipilih untuk sebuah perjanjian.
Saat jendela-jendela ditutup dan cahaya dibiarkan terkurung di atas meja, kata-kata dikembalikan seperti semula. Seorang laki-laki paruh baya berdoa dengan melipat lututnya. Membiarkan dingin lantai menyeka bokongnya dan keringat menetes di dekat matanya. Ia duduk dan menyesali masa lalunya. Dengan doa ia kira akan melunasi utangnya.
Ini adalah perjanjian lama. Laki-laki itu meremas tangannya sendiri lalu mulai merasakan lututnya bergetar. Seakan-akan tanah ingin mengisapnya. Api di puncak lilin bergerak-gerak, dan itu bukan pertanda baik.
Ada kejadian tujuhbelas tahun lalu, saat seorang laki-laki merasa dirinya paling benar.
*
"Tunggu di dalam, sayang. Aku ingin melunasi utang dulu."
"Jangan pergi."
"Cuma sebentar. Setengah jam lagi aku kemari."
"Berjanjilah?"
"Aku janji."
Kemudian berlalulah laki-laki itu ke jalan berdebu. Sedetik yang lalu ia masih merasakan genggaman jemari istrinya yang berkeringat, dan kini mereka terpisah di koridor rumah sakit. Perempuan itu meringis dan dibawa ke ruang bersaling, sementara laki-lakinya menghilang ke dalam keramaian jalan. Empat jam kemudian, seorang bayi lahir ke dunia, tapi sang ibu meregang nyawa.
Utang terbayar dan janji pada rentenir terlunasi. Laki-laki itu kembali ke rumah sakit dan semua orang seperti ingin membunuhnya, meski ia sendiri menangis dan bertumpu lutut dengan semua rasa bersalahnya. Ia menggenggam tangan mendiang istrinya dan kini tanpa kehangatan sama sekali.
Anaknya tumbuh dewasa dan menemukan jalannya.
Sementara ayah itu, selama belasan tahun hidupnya, merasa telah melanggar sebuah janji pada istrinya. Janji yang tak mungkin terlunasi.
*
Di atas pertumpuan lututnya malam ini, laki-laki itu sudah siap. Ia tengadahkan kepalanya ke arah langit-langit. Tempat seutas tali menggantung dengan lingkaran penjerat di ujung terbawahnya.
Aku harus menemuimu, untuk melunasi janjiku. Laki-laki itu merapal doa kemudian perlahan melangkah ke atas meja yang memang hanya setinggi lututnya.
Tangannya tetap saling bertaut, bibirnya tetap merapal doa. Kini ia tegak dan membiarkan kening dan bibirnya menyentuh lingkaran tali. Kepala itu masuk dengan sendirinya seperti sudah tahu akan ke mana.
Satu ... dua ... tiga. Ia menghela napas.
Lalu tepat saat jam pukul empat berdentang dan ayam mulai berkokok, tubuh itu tergantung lemas. Bibir laki-laki itu seperti masih sedang membaca doa, dan matanya seperti terus memandangi langit.
Satu ... dua ... tiga jam berlalu.
Kemudian saat fajar tiba, ruangan itu berhasil didobrak dan seorang laki-laki tua masuk. Membungkuk kemudian memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan doa-doa dan permintaan maafnya kepada semua penghuni alam. Anaknya telah bunuh diri.
Dan laki-laki tua itu sama sekali tak menyangka, bahwa anak itu merasa bersalah atas sebuah janjinya kepada seorang perempuan muda.
Surat permohonan maaf kepada gadis itu dititipkan kepada sang ayah. Bahwa anak itu merasa bersalah telah mengingkari janjinya kepada kekasihnya, dan ia memilih mati daripada melihat gadisnya menikahi orang lain.
Ayah itu menangis dengan suara yang tersembunyi. Ini soal janji. Pengalaman dan pelajaran yang berusaha ia penuhi selama belasan tahun. Dan anaknya yang dulu lahir sebagai saksi pengingkarannya terhadap janji, kini pergi untuk alasan dan dosa yang sama.
Ayah itu bingung harus mengadu janji ke mana. Saat bahkan istri dan anaknya tak bisa lagi mendengar.
*
*
Tentang Penulis
wow, merinding bacanya...
ReplyDeleteKeren!
Conni, temanku yang baik :)
Deleteterima kasih ya. Semangat selalu!